PART 9

245 37 1
                                    

Pagi yang cerah, dengan kicau burung dan matahari yang terlihat berkilau yang melengkapi. Tapi tak sayang, gadis bermata hazel itu tak sekalipun bisa menikmatinya. Gadis itu hanya memandang hamparan rumput halaman yang terlihat rapi dengan beberapa bunga dan pohon rindang yang tertata apik dengan pandagan kosong.

Mungkin raganya saja yang disini tapi pikirannya entah sedang berkelana kemana. Prilly mengeluarkan benda persegi panjang berlayar hitam itu, mendesah kasar. Benda pipih itu sudah mati entah sejak kapan tapi tak ada niatan untuk memberikan daya agar benda itu hidup.

"Nduk, ayo sarapan. Budhe masak urap, tahu, tempa, telur kesukaanmu, ayo." Prilly cukup terkejut, dia memasukan benda pipih itu ke dalam saku celana tidurnya dan berjalan cepat ke sumber suara.

"Hm, wangi banget budhe. Prilly kangen lho masakan budhe yang paling top ini." Ucapnya berusaha terdengar ceria.

"Ya iyalah Mbak, masakan Ibunya Gilang memang paling top pokonya." Seorang laki-laki muda berseragam putih abu-abu itu nampak duduk di salah satu bangku kayu. "Pak besok ada rapat di sekolah."

Gilang nampak berujar serius pada sosok laki-laki paruh baya yang sedang mengesap kopi hitamnya dengan khitmat. "Besok kalo bapak tak ada acara pasti bapak datang Lang. Kalo tiba-tiba ada rapat dadakan biar ibumu yang mewakilkan."

Pakdhe Eko, seorang PNS di kantor kedinasan kabupaten. Beliau memang sosok yang hangat dan bertanggungjawab. Terbukti dengan anak kepertama Mbak Ida seorang perawat di Surabaya dan Mas Pram seorang arsitektur muda yang kompeten, yang terakhir tentu saja Gilang yang masih SMA.

"Prilly, kamu libur kerja?" Pakdhe seakan menyadarkan Prilly yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa minat. Sebenarnya bukan hanya Pakdhe Eko saja yang penasaran karena dibalik keterdiaman Budhe Yanti menyimpan banyak pertanyaan kenapa Prilly tiba-tiba datang dengan raut wajah sendu serta tak seceria biasanya.

"Libur Pakdhe, makanya Prilly pingin liburan di sini. Lagi pula-." Prilly terlihat berfikir sejenak.

"Kenapa Nduk?" kali ini suara lembut dari arah dapur itu menyahutnya.

"Prilly resign Budhe." Dia tersenyum walau tak sampai mata. Yanti menggenggam erat tangan gadis itu. Seperti memberikan kekuatan.

Seakan tau jika pembicaraan mengarah ke hal yang belum saatnya Gilang dengar, ia memutuskan untuk pamit tak lupa bersalaman dengan ketiga orang dewasa disana.

"Prill, jika ada masalah sebaiknya diselesaikan. Bukannya Pakdhe melarang kamu kesini, tapi alangkah baiknya kamu menyelesaikannya dengan kepala dingin jangan malah kabur." Eko mengesap teh hangatnya pelan meresapi. "Pakdhe tidak akan ikut campur nak tapi alangkah baiknya jika kamu bicarakan semua masalah dengan baik-baik.

"Pakdhe tau?" cicitnya pelan.

"Pakdhe ndak tau masalah yang kamu alami nduk tapi dilihat dari gelagat kamu." Pakdhe Eko tersenyum hangat. Tak salah jika dulu Eko merupakan lulusan psikologi yang entah bagaimana bisa bekerja sebagai staf di kantor kedinasan daerah.

"Nduk, budhe sama pakdhe mengelmu nggak cuma beberapa bulan tapi dari kamu kecil sampai sekarang walaupun kita sudah tak begitu sering bertemu tapi Budhe tau Lyli itu gadis tangguh dan ceria."

Gadis itu berhambur memeluk tubuh Yanti yang sedikit berisi. "Terimakasih budhe, pakdhe. Tapi Prilly mohon jangan bilang siapapun jika Prilly disini termasuk Papa atau Bunda Reni. Prilly hanya ingin menenangkan fikiran."

.

Alexa mengeram kesal, selalu bunyi operator yang menyapanya. Kemana sih sahabatnya itu. Tiba-tiba hilang tanpa kabar apapun dan sekarang tak masuk kantor. Padahal Prilly bukan typikal gadis yang hobi bolos walaupun sedang sakit.

"Muka lo kenapa Lex surem amat!" seorang laki-laki bernama Nino menyerahkan sebuah map berwarna hijau pada Alexa.

"Nggak usah bikin gue tambah jengkel ya!" ia menarik map itu dengan sedikit kasar.

"Ya elah PMS? Eh ngomong-ngomong Prilly kemana?" Nino celingukan mencari keberadaan gadis mungil itu.

Itu dia yang menjadi alasan kenapa Alexa sedaritadi jengkel dan terlihat khawatir. Sejak Ali secara tak sengaja menghubunginya, perasaan Alexa sudah tak enak. Sebenarnya dia akan langsung menghubungi Prilly kala itu tapi hal tersebut terhalang oleh panggilan telpon dari kekasihnya. Menyesal, kali ini ia menyesal kenapa malah meladeni kekasihnya bukan mendahulukan perasaan khawatirnya pada Prilly.

"Gue nggak tau." Ia mendesah menyesal.

"Paling itu anak kecil bolos." Ucapan Nino terhenti kala sebuah map biru memukul kepalanya. Ia mengaduh kesakitan, melotot pada Alexa yang berada di depannya masih dengan posisi duduk dan memberikan kode lewat matanya 'Bukan gue' .

"Jangan bergosip di kantor saya." Datar, nada yang digunakan orang yang memukul Nino amat sangat datar tanpa penekanan apapun. Tapi mampu membuat seorang Nino yang sedikit slengean itu terdiam takut.

"Ma-maaf bos, ahk Lex gue balik ntar kalo ada yang kurang ato gimana bilang ya."

"Ada urusan apa bos?" Alexa terlihat acuh. Memandang sang pemilik perusahaan dengan mata menyalang tanpa takut. Bisa dilihat jika bosnya yang terkenal selalu rapi tanpa celah itu terlihat sedikit berantakan, bahkan mata elang yang selalu bisa mendominasi siapa saja sekarang lebih sayu kurang tidur.

"Temui saya sekarang." Punggung tegap itu perlahan menjauh tanpa menoleh lagi.

"Lho dipanggil Bos besar Lex? Gila! Baru kali ini gue lihat itu bos besar mau ke divisi kita hanya untuk meminta lo – jangan-jangan lo sama bos besar punya main!" Rekan kerja satu timnya terlihat saling bertukar pandang. Karena mereka tau jika Alexa tak pernah sekalipun berurusan dengan Bos besar dan dia juga sudah memiliki kekasih yang cukup tampan dan terlihat tak kalah kaya.

"Ngaco aja lo! Enggak lah gue masih waras!" Tanpa mau repot-repot menjelaskan Alexa langsung melesat menuju ruang bertuliskan Direktur Utama tersebut.

.

"Budhe, mau masak apa? Belanjanya banyak banget." Prilly terlihat sedikit kesusahan membawa tas belanja dari plastic daur ulang yang sudah menyembulkan beberapa bahan karena tak muat.

"Besok budhe ada arisan jadi sekalian saja belanjanya. Besok pokoknya bantuin Budhe ya." Budhe Yanti masih saja memilih sayuran hijau didepannya.

Mata hazelnya menelusuri setiap sudut pasar yang sangat tradisional itu. Banyak sekali pedagang yang menjajakan sayuran hijau dan buah-buahan segar. Dengan keranjang-keranjang berjejer rapi dan beberapa ibu-ibu penjual masih menggunakan pakaian tradisional dan kerudung yang dililitkan dikepala. Hal tersebut tak pernah ditemukannya di kota.

"Ayo pulang." Budhe Yanti membawa satu ikat sawi hijau berukuran besar dalam gendongannya. Karena tak mungkin menjejalkannya pada tas yang dibawa Prilly. "Kita mampir dulu ya Prill ke warung soto langganan."

Ia mengangguk, teringat sebuah warung soto tenda yang sangat ramai dan tentu saja enak.

Bau khas soto memenuhi hidungnya, terlihat begitu lezat walau belum dirasakan. Soto ayam kesukaannya dengan sate telur puyuh.

"Dimakan nduk, mumpung masih panas nanti keburu dingin nggak enak." Budhe terlihat menyantap soto ayam tersebut dengan lahap. Prilly pun melakukan hal yang sama.

Just You, Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang