PART 8

222 37 1
                                    

Kedua insan yang sedang berpelukan, lebih tepatnya perempuan cantik yang memeluk erat tubuh Ali tersentak kaget kala melihat sosok perempuan diapartment milik sahabatnya itu. Ali melepaskan pelukan Amanda, Ali terlihat menyesal saat melihat reaksi kaget dan terluka gadisnya itu.

"A-maaf kalo saya mengganggu." Entah mendapatkan keberanian dari mana Prilly memandang keduanya dengan tatapan datar berusaha menyembunyikan lukanya.

"Dia siapa Li?" Amanda menghapus sudut matanya yang berair. Kali ini dia penasaran siapa gadis di depannya itu. Pasalnya Ali tak pernah sekalipun punya teman wanita sedari dulu, hanya dirinya teman wanita laki-laki dingin itu.

"Manda sebenarnya aku-"

"Saya sepupunya Kak Ali. Kakak calon kak Ali ya?" Prilly memotong ucapan Ali yang dibalas dengan sorot mata tajam dari Ali. Dia tak suka.

"Pril!" geram Ali marah. Dia benar-benar tak suka jika harus berbohong seperti ini. Prilly terbelalak bagaimana Ali memanggilnya Pril? Prilly? Gadis itu kaget.

"Sepertinya saya harus pulang. Maaf ya kak, kalo ganggu." Prilly mengambil handphone yang ada di meja ruang tamu tersebut. Berjalan tergesa, tak mengindahkan suara Ali yang memanggil namanya itu.

.

Prilly menangis sendirian di sebuah halte bus yang cukup jauh dari apartment Ali, entah kenapa kaki kecilnya yang berlari tak tentu arah itu memilih berhenti di sebuah halte yang tentunya berlawanan arah dengan arah jalan pulangnya. Prilly tak perduli dengan tampangnya yang sudah benar-benar berantakan itu. Air matanya tumpah tak terbendung kala dia mendengar jika man- ahk wanita itu meminta Ali bertanggungjawab atas bayinya.

Walau Prilly tau jika bukan Ali ayah kandung dari bayi yang dikandung wanita itu. Prilly tak mau egois dirinya tau jika Ali masih mencintai Manda, terbukti Ali tak pernah sekalipun mengatakan cinta padanya.

'Kau adalah rumahku Ay'

Prilly tersenyum miris kala kata-kata yang belum ada sehari itu diucapkan nyatanya hanya fatamorgana. Ilusi tak nyata. Walaupun sudah berusaha untuk ikhlas jauh-jauh hari nyatanya semua tak ada gunanya. Buktinya dia masih menangis tanpa henti sedari tadi walaupun tanpa suara.

Hampir setengah jam berlalu dirinya lelah. Tapi air matanya tak mau berhenti walaupun sorot matanya kosong.

"Lily?" prilly mendongak kala suara yang dia kenal itu memanggilnya. Jika biasanya dia akan menampakan wajah kesal tapi kali ini Prilly sedang tak ingin berfikir hal apapun. Dia hanya ingin menenangkan diri. Seakan tau suasana dan kondisi Ibra melepaskan jaketnya dan menarik Prilly menaiki motornya.

Bagai kerbau dicocok hidungnya, Prilly hanya menurut tak berkata apapun. Dia lelah semuanya. Ibra tak berkata apapun. Dia hanya diam. Walaupun tak tau kejadian sebenarnya. Jika melihat bagaimana kondisi Prilly yang dia tau pasti Prilly tak baik-baik saja. Ibra juga melajukan motornya pelan berputar-putar entak kemana, yang pasti selama Prilly tak memintanya berhenti atau pulang Ibra tak akan membiarkan gadis kecil ini sendirian.

"Bawa aku pulang Ibra, tapi aku tak ingin pulang kerumahku. Kemana saja asal kau tak membawaku pulang malam ini." Prilly memang tak ingin pulang kerumahnya apalagi kemungkinan Ali pasti disana. Dia tersenyum miris, tak mungkin Ali menunggunya untuk apa. Lagi pula Prilly rencananya besok Prilly akan pulang ke Semarang ke rumah Ibunya. Setelah itu dia akan memikirkan semuanya.

.

Ali mendesah frustasi, setelah mencari Prilly sepanjang jalan dan tak menemukannya. Ali menelpone Alexa yang ternyata Alexa tak berada di apartment kekasihnya. Bolehkan Ali menganggap Prilly kekasihnya setelah hal ini. Boleh dan harus pikirnya. Prilly hanya salah paham. Semua tak seperti kelihatannya, Ali belum menjawab apapun. Dan dia berakhir menunggu tunangannya itu di depan pintu apartmentnya. Ali memang tak tau kode apartment Prilly karena Prilly tinggal bersama Alexa dan dia tak ingin membuat kegaduhan jika hal-hal tak diinginkan terjadi.

"Ay kamu dimana?" Ali terduduk, menjambak rambut cepaknya yang biasanya rapi kini kusut tak berbentuk.

.

"Sorry ya, aku bingung Ly bawa kamu kemana jadi em- aku bawa kamu ke rumah aku." Ibra sedikit bingung menjelaskan. Dia bingung sebenarnya, karena baru kali ini membawa seorang wanita selain ibunya ke rumah kecilnya ini.

"Gue yang minta maaf. Lebih baik gue cari taksi pulang. Maaf ngrepotin"

"Jangan! Tak baik seorang gadis malam-malam naik taksi bahaya. Aku nggak ngapa-ngapain kok lagi pula ada kamar tamu juga kamu bisa istirahat disitu." Jawab Ibra kikuk. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "La-lagi pula aku nggak mungkin berbuat macam-macam sama gadis galak macam singa."

"Dasar cowok nyebelin!" Prilly memukul lengan Ibra,

"Eh-udah Ly! Jangan keras-keras nanti dikirinya aku ngapa-ngapain kamu." Ibra menutup mulut Prilly yang dibalas dengan delikan tajam. "Udah kamu istirahat di kamar itu."

Prilly menghentakan kakinya sebelum menggerutu menuju kamar yang dimaksud cowok setan itu. Ibra terkekeh "Lebih baik kamu mukul aku Ly, daripada liat kamu kaya tadi." Ibra berujar pelan lebih untuk dirinya sendiri.

.

Bau harum masakan membuat tidur pagi laki-laki berkulit putih itu terusik. Beranjak dari kasurnya dengan muka bantal dan mata yang sedikit terbuka. "Ma, Ibra kan udah bilang mamah jangan kesini pagi kasian mama." Ujarnya tanpa mau repot-repot membuka mata.

"Aduh sakit Ma- lho kok kamu disini Ly?" Ibra membuka matanya lebar kala sebuah pukulan dari kepala sendok berhasil mendarat epic di kepalanya.

"Lo amnesia? Apa jangan-jangan lo punya penyakit alzaimer?" Ibra bergidik ngeri membayangkannya

"Ye, amit-amit. Eh iya tadi malem kan kamu nginep disini." Prilly diam sebenarnya belum siap menanggapi pernyataan Ibra. "Kalo belum mau cerita nggak papa kok, kalo kamu mau cerita aku siap mendengarkan."

Prilly tersenyum samar, Ibra memang penuh dengan kejutan. "Ngomong-ngomong kok Lo bisa lewat jalan itu malem-malem?"

"Ya kan gue lagi gabut cari makan kebetulan nyampe sana. Awalnya gue kira lo itu hantu malam-malam sendirian dibawah lampu halte, rambut digerai kedepan kan kaya mbak mbak itu eh tapi gue mikir berasa kenal. Aduh Ly! Kamu ini memang jelmaan singa ya suka nerkam." Prilly menjulurkan lidahnya

"Salah sendiri nyebelin kaya setan! Udah sana siap-siap Lo ngantorkan? Nih gue udah masakin omelet."

"Emang kamu nggak kerja?! Kantor aja sama masak kamu enak-enakan." Ujar Ibra sambil menyendokan potongan omelet ke mulutnya. "Enak, aku kira kamu nggak bisa masak bisanya marah-marah. Eh tapi ini kan mudah, gampang tinggal telur di dadar kasih bumbu."

"Eh kamu meragukan kemampuan memasakku!" sungut Prilly kesal tau begini tadi pagi-pagi dirinya pergi saja tanpa harus repot-repot menyiapkan sarapan. Salahkan juga laki-laki menyebalkan itu yang hanya mempunyai beberapa butir telur, wortel, dan juga daun bawang itu.

"Coba saja lain kali masak yang susah, ntar aku bakalan percaya." Ibra hanya menggoda, dia mengakui omelet buatan Prilly memang enak bahkan omelet yang biasa dia nikmati di restoran terkenalpun kalan dengan buatan Prilly. "Aku mau siap-siap."

"Apa katanya tadi telur dadar berbumbu? Tapi habis nggak bersisa!"

.

"Ayo aku antar pulang nanti kita ke kantor bareng, masih keburu kok asal jangan lama-lama kalo mandi apalagi dandan!"

"Nggak usah repot-repot, hari ini gue ijin cuti. Udah bilang sama HRD." Prilly terpaksa berbohong. Dia bahkan belum sama sekali berani mengaktifkan ponselnya. Dia akan membolos untuk beberapa hari, tak perduli dia mendapatkan SP1 bahkan jika dipecat.

Ibra mengangguk-anggukan kepalanya enggan bertanya lebih, "Ahk aku ikut sampai halte depan kompleks ya."

"Kamu mau kemana Ly?" Ibra penasaran.

"Aku ingin jalan-jalan menenangkan diri." Prilly tersenyum. Dia memang butuh tempat untuk menenangkan pikiran dan memilih rumah ibunya di Semarang sebagai tempat.

Just You, Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang