PART 7

209 35 1
                                    

Pada akhirnya semua yang terlihat indah hanyalah fatamorgana yang menyesakan.

Gadis itu memejamkan mata, menghirup dalam-dalam bau air dan tanah yang menyatu. Terasa hangat dan menyejukan fikiran. Semua terasa lepas, bebas.

"Indah kan?" Ali tersenyum tulus kala melihat Prilly yang menikmati semua ini. Sama seperti dirinya kala itu yang baru pertama kali tau tempat ini. Kala pertama kali dirinya amat sangat penat dengan segala kegiatan dan juga urusan asmara yang kusut seperti benang layangan kala itu.

"Hm, ini bagus banget Li." Ali menarik tubuh Prilly lebih dekat. Menarik atensi gadis bermata hazel itu sepenuhnya. Tak ingin berbagi walau hanya dengan alam sekitar.

"Kita sudah lama berhubungan, Ay. Tapi sampai sekarang kau bahkan masih memanggilku Ali disaat aku memanggilmu dengan panggilan kesayangan." Prilly terhipnotis masuk kedalam palung mata hitam itu. Seakan tersadar Prilly langsung berusaha sedikit menjauh agar bisa bernafas dengan normal, tapi tak bisa. Kungkungan tangan besar Ali terlalu kuat dan mendominasi.

"Tap-tapi panggilan Ay merupakan panggilan kesayangan Mama padaku Li. Jadi-" Ali menajamkan pandangannya yang membuat gadis disebelahnya menciut.

"Ay, kau adalah tunanganku terlepas bagaimana kita dijodohkan tapi paling tidak dengan panggilan sayang bunda akan semakin bahagia." Seperti di siram es dari atas langit. Prilly mencoba lebih berusaha melepaskan diri dari Ali dan berhasil. Gadis itu terssenyum miris. Semua karena bunda bukan inisiatif Ali sendiri. Mungkin dirinya yang terlalu berharap.

"Baiklah kamu ingin panggilan kesayangan apa?" putusnya. Hanya panggilan dan tak lebih semua untuk bunda. Kali ini Prilly mensugestikan kalimat itu pada otaknya agar tak begitu jauh berharap. Dirinya tau, jika nantinya cepat atau lambat semua kebahagiaan ini akan musnah.

"Abang? Mas? Em- bagaimana kalau Kak Ali? Umur kita terpaut 2 tahun kan?" Ali tersenyum senang kala gadisnya itu mengangguk menyetujui tanpa perdebatan atau tawar-menawar. "Coba aku mau denger kamu panggil aku."

"A- Kak Ali." Ali tersenyum bahagia sedangkan wajah Prilly memanas. Tak mau melambungkan hati terlalu dalam Prilly lebih memilih duduk di pinggir danau seraya melihat sekitar.

Danau itu begitu indah dan jauh dari hiruk pikuk kebisingan. Warnanya masih alami apalagi batang pohon yang melintang itu membuatnya semakin bernilai. Sebuah tangan melingkari punggungnya dan kepalanya juga terasa berat. Ali memeluknya dengan bersandar pada kepala Prilly mengingat tinggi badan mereka yang berbeda.

"Jika aku lelah aku pasti kesini Ay. Disini tempat favoritku." Sama dengannya, Ali juga menikamati keindahan danau tersebut. Ingin rasanya Prilly bertanya bagaimana Ali bisa menemukan danau tersebut. Tapi dia urung melihat Ali memejamkan matanya dengan nyamannya.

Prilly mengusap lembut tangan Ali yang bebas, menggenggamnya erat seakan takut jika dilepaskan akan hilang. Prilly memandang jauh ke depan. Meresapi semua ciptaan Tuhan yang begitu indahnya. Damai. Tenang.

Tanpa disadarinya sedaritadi Ali sudah memandang wajahnya dengan tatapan sulit diartikan.

"Eh." Tiba-tiba saja gadis itu berdiri dan sedikit berlari menuju danau. Ali merasa kehilangan saat tubuh Prilly yang tiba-tiba menjauh darinya.

Ali tersenyum hangat kala Prilly berjongkok dan melepaskan plastik putih yang terlihat menjerat kaki seekor burung kecil. "Ya ampun, kamu kasian banget sih." Prilly mengelus lembut bulu berwarna coklat itu dan membuka tangannya setelah memastikan plastik tadi sudah terlepas sempurna.

"Kok dilepasin?" Ali memeluk erat tubuh mungil itu dari belakang menghirup wangi rambut Prilly yang sangat dia suka Vanilla.

"Kalo dia tak dilepaskan, dia tak akan pernah kembali kerumahnya." Ali mencium pucuk kepala Prilly. "Semua hal pada akhirnya akan kembali ke rumah kak. Insting tak pernah berkhianat."

Entah Ali yang merasa jika pernyataan Prilly menyimpan suatu makna yang jujur saja membuatnya sedikit terganggu. Tapi semua itu ia tepis karena bagaimanapun akhirnya mereka akan tetap menikah kan. Karena Ali tau Prilly mencintainya dan tak akan pernah meninggalkannya. "Dan kau adalah rumahku Ay."

Jika itu didengar beberapa menit yang lalu mungkin Prilly akan bahagia, tapi entah mengapa dia meragu. Ali seperti burung tadi yang meminta pertolongan, kala pertolongan datang dan selesai maka dia akan terbang jauh ke awan tanpa menoleh ke belakang.

"Ayo kak pulang, aku lapar." Prilly melepaskan tangan Ali yang melingkari perutnya. Sebenarnya dirinya tak lapar hanya dirinya tak ingin jauh sekali berharap. Hari ini Ali memang bersikap sangat manis. Bahkan kelewat manis. Dia hanya takut jika semua hal manis hari ini akan menjadikan hatinya kembali berharap dengan sesuatu yang bukan miliknya sedari awal.

"Padahal aku masih betah lho disini." Ali cemberut. Prilly tersenyum sambil merengek agar Ali mau menuruti permintaanya.

"Ayo kak, aku laper." Rajuknya. Mau tak mau Ali beranjak dan menggenggam tangan Prilly erat. Menyatukan jemari mereka berdua.

.

"Lho kok kita ke apartmenmu Kak?" Prilly heran pasalnya Ali tak memberhentikan mobilnya di basement apartmen Ali.

"Tadi katanya laper, Ay."

"Tapi apa hubungannya coba?" tanya Prilly bingung.

"Aku masih kesel sama kamu yang minta pulang tiba-tiba jadi kamu harus masakin aku!" ujar Ali manja. Prilly terkekeh geli melihat ekspresi Ali yang jika dilihat orang di kantor akan menjadi berita hot news yang menggemparkan. Bos galak dan dingin ternyata bisa cemberut seperti anak PAUD minta pipis. Prilly terkekeh membayangkannya.

"Kok malah ketawa! Nggak lucu Ay." Prilly mencium pipi Ali reflex yang membuat keduanya membeku tiba-tiba. Ali diam tanpa ekspresi sedangkan Prilly menggigit bibirnya takut.

"Ma-maaf Kak aku-"

Ali menyentuh bibir Prilly yang sedikit berdarah itu, kebiasaan Prilly jika merasa bersalah atau gugup. "Jangan gigit bibir kamu, Ay! Jangan lukain diri kamu, nggak boleh."

"Maaf Kak tadi aku reflex." Bibir Ali berkedut.

"Memang seharusnya kamu minta maaf!" Prilly menatap Ali berkaca-kaca apa Ali tak suka jika dia menciumnya.

Ali terkekeh geli melihat ekspresi lucu gadisnya itu, "Kenapa sih Ay kalo cium nggak bilang-bilang aku kan kaget belum persiapan lagian kalo cium nanggung harusnya disini." Ali menempelkan jarinya di bibir tebalnya yang dihadiahi Prilly dengan cubitan di pinggang laki-laki itu.

"Nyebelin! Kamu nyebelin banget si Ali Mahendra!" Prilly keluar dari mobil dengan langkah lebar menutup kedua pipinya yang sudah memerah sempurna.

"Ay, dosa lho manggil calon kaya gitu!" Ali terkekeh, senang rasanya membuat Prilly memerah malu seperti itu.

.

"Daripada kamu mandangin aku kaya gitu mending ngegame aja deh." Ujarnya salah tingkah.

"Katanya suruh bantuin? Ya kan aku udah bantuin kamu ngeliatin hasil kerja kamu." Ujar Ali sok polos. Tadinya Prilly memang meminta Ali untuk membantunya tapi bukan membantu sedari tadi Ali hanya menatapnya dengan bertopang dagu. Kan Prilly nggak tahan.

"Udah sana pergi-pergi, nanti nggak jadi-jadi lho nasi gorengnya." Prilly bersungut-sungut ingin rasanya melemparkan wajan ini di wajah tampan Ali sekarang juga. Eh tapi kan kasian nanti wajah tampan Ali jadi ternoda.

"Ya udah, awas kalo kangen." Ali berlalu menuju ruang sofa yang berada di ruang tamu sekaligus ruang bersantai itu. Prilly menggelengkan kepalanya, mana ada kangen mereka aja ada di dalam satu ruangan walau terpisah beberapa meter saja.

Dulu dapur apartment Ali tak selengkap ini, dulu Ali hanya mengisi apartmentnya hanya dengan barang-barang besar yang memang biasa dia gunakan saja bahkan kulkas dua pintu itu hanya berisi air putih dan beberapa buah segar. Tapi semenjak bertunangan, apartment Ali yang kosong melompong kini terisi barang-barang yang cukup membuat penuh. Apalagi bagian dapur terdapat peralatan lengkap dan tak lupa kulkas yang selalu terisi penuh dengan berbagai bahan.

"Kak, nasi gorengnya sudah ma-tang." Prilly terkejut melihat sosok yang ada didepannya. 

Just You, Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang