Hujan turun deras mengguyur tanah dan bangunan. Diselingi oleh angin yang bertiup kencang, membuat malam makin terasa dingin membekukan tulang. Di jalanan, kendaraan yang berlalu lalang memercikan air ke sudut-sudut trotoar dan membasahi warung-warung pinggir jalan dengan air kotor yang berasal dari kubangan. Sebuah apartemen berdiri megah di antara rumah-rumah penduduk, air hujan seakan sedang mencuci temboknya.
Dara Ayu menatap suasana malam di depannya dengan perasaan menyesal karena tidak membawa payung. Padahal, apartemenya berada tepat di depan mata. Ia mendesah kesal dengan sebatang rokok terselip di bibir yang terpoles lipstik merah. Matanya menerawang pada lampu-lampu yang menyala redup di antara curah hujan, dengan aroma tanah basah bercampur bau apak dari ruko tempatnya bernaung terasa menyengat.
Ia mengutuk dalam hati, karena tidak menolak saat sahabatnya menurunkan di pinggir jalan. Dengan alasan ada masalah penting, Melinda tidak mau repot-repot menurunkannya di lobi. Ia setuju tanpa banyak kata, tidak menyangka akan turun hujan. Kini, ia terjebak sendirian di depan sebuah ruko yang sudah tutup.
Sebuah angkot berhenti di depan ruko. Lalu, turun seorang laki-laki tanpa payung. Laki-laki itu menutupi kepala dengan tangan dan berlari ke samping Dara Ayu. Keduanya tidak bicara, sementara Dara Ayu hanya melirik sambil mengisap rokoknya, sang laki-laki yang ternyata masih muda sibuk mengelap rambut dan badannya yang basah.
Mereka berdiri berdampingan dan saling berdiam diri cukup lama. Mendadak terdengar gemuruh petir dan kilat menyambar ke arah mereka. Tanpa diduga, pemuda di sampingnya berjengit kaget dan memeluk pundaknya.
“Takut petir, Boy?” tegur Dara Ayu pelan.
Teguran Dara Ayu membuat laki-laki muda itu secara otomatis melepaskan peganganya dan bergumam lirih. “Maaf.”
“Santai aja, banyak kok orang takut petir.”
Dara Ayu melirik pemuda di sampingnya yang berdiri kaku menatap jalan raya.
“Kamu tinggal di apartemen itu juga?” tanyanya basa-basi.
“Iya.”
“Kamu bisa lari ke sana biar lebih cepat sampai. Aku nggak mungkin karena pakai sepatu hak tinggi.”
Seakan ingin menegaskan perkataan Dara Ayu, pemuda itu melirik kakinya. Tanpa bercakap-cakap, keduanya berdiri berdampingan dengan gemuruh hujan menyelimuti mereka. Aroma tembakau menguar di udara bersamaan dengan setiap isapan rokok Dara Ayu. Tiba-tiba, guruh kembali terdengar, kali ini lebih keras dan memekakkan telinga dengan kilat menyambar di dinding ruko. Dara Ayu hampir kehilangan keseimbangan saat laki-laki muda di sampingnya memeluk pundaknya tanpa permisi. Sementara bunyi alarm mobil kini bersahut-sahutan dari tempat parkir apartemen.
“Mau sampai kapan kamu meluk aku?” tanya Dara Ayu selang beberapa saat berlalu.
“Maaf.” Laki-laki itu melepaskan pegangannya dengan malu.
“Belum lebaran, jangan minta maaf terus.” Dara Ayu merogoh tas dan mengeluarkan beberapa lembar tisu. “Ini, kamu lap wajahmu. Basah begitu, entah karena hujan atau karena keringat dingin ketakutan.”
Laki-laki itu menerima tisu yang diulurkan tanpa kata. Dara Ayu mematikan rokok dan membuang putung rokok di tempat sampah depan ruko. Ia mengelap jas dan roknya yang basah dengan tisu lalu berbalik menghadapi pemuda di sampingnya.
Ditaksir, usia laki-laki muda di depannya menginjak angka dua puluh tahunan. Dilihat dari penampilannya dengan kemeja lengan pendek dan tas ransel di belakang punggung, sepertinya dia mahasiswa.
“Kamu kuliah?” tanyanya memastikan.
“Iy-ya, Kak.” Laki-laki itu menjawab gugup.
“Nggak pernah ngomong sama cewek sebelumnya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
BRONDONG KAMAR SEBELAH
RomanceKisah cinta penuh ke-uwuaan antara Dara Ayu dan Reza Hangkera, brondong yang tinggal di kamar sebelah.