Bab 3b

15.7K 562 28
                                    

Banyaknya kue yang diberikan Melinda, membuat Dara Ayu kebingungan akan membagi pada siapa. Ia berinisiatif memberikan pada Reza. Sudah beberapa hari mereka tidak bertemu, dengan kotak kue di tangan ia memencet bel unit sebelah. Ia nyaris putus asa dan bersiap pergi karena beberapa kali membunyikan bel tidak ada yang membuka pintu, saat pintu terbuka dan sosok Reza muncul dalam keadaan pucat pasi.
“Kak, ada apa?”
Dara Ayu mengernyit. “Kamu sakit?”
Reza mengangguk kecil. “Demam, flu.” Tak lama suara bersin memenuhi ruangan. Pemuda itu tidak memakai atasan, tubuhnya yang berotot tampak kontras dengan wajah yang imut.
“Sudah ke dokter?”
“Nggak, cuma minum obat. Mau masuk, Kak?”
Reza membuka pintu lebih lebar dan membiarkan Dara Ayu memasuki unitnya.
“Maaf, berantakan.”
Dengan kikuk Reza merapikan bajunya yang bertebaran di sofa ruang tamu dan memasukkannya dalam keranjang plastik di depan kamar mandi.  Lalu menghilang ke dalam kamar.
Dara Ayu mengamati seantero ruangan. Ada satu sofa kulit hitam di depan televisi dipisahkan oleh meja kaca bulat. Dua rak berisi buku-buku berjajar di dekat jendela kaca. Hanya itu, tidak ada perabot lain. Ia menoleh dan melihat dapur kecil yang terlihat seperti tidak pernah disentuh. Peralatan masak hanya berupa panci kecil dan penggorengan yang tergantung di rak. Sebuah lemari pendingin hitam, berfungsi sebagai pemisah ruang tamu dan dapur.
“Kak, mau minum sesuatu?” Reza muncul, sudah memakai kaos putih.
“Nggak usah. Kamu sudah makan?” tanya Dara Ayu.
Reza menggeleng kecil. “Belum, mungkin nanti pesan bubur di bawah.”
“Oh, kalau gitu kamu duduk saja makan ini.” Dara Ayu menyodorkan kotak berisi kue pada Reza. “aku buatin kamu makan malam.”
“Eh, tapi Kak. Kamu baru pulang kerja.”
“Santai, aku juga lapar.”
Dara Ayu pamit pulang. Setelah mengganti setelan kerja dengan daster motif bunga, ia mulai berkutat di dapur. Karena sebelumnya tidak terpikir untuk memasak, terpaksa ia menggunakan bahan yang ada di kulkas. Satu jam kemudian, ia mengetuk pintu unit Reza dan membawa  beberapa jenis hasil masakan.
“Wah, banyak amat, Kak?” ucap Reza takjub saat mangkok berisi sayur dan lauk diletakkan di atas meja kaca. Ia tidak punya meja makan, terpaksa mereka makan di sofa ruang tamu.
“Nggak, ini dikit aja. Bubur ayam, tumis baby buncis, dan telur ceplok. Aku sendiri belum ke supermarket buat belanja. Jadi masak yang ada aja.”
“Ini enak banget, sumpah,” puji Reza mencecap bubur dalam mangkoknya.
“Sengaja bikin bubur buat kamu. Ada persediaan obat?”
“Ada, sudah beli.”
“Kalau sampai besok belum sembuh, jangan lupa ke dokter.”
“Iya, Kak.”
Mereka makan sambil mengobrol. Bisa jadi karena ada yang menemani, tanpa sadar Reza menandaskan dua mangkuk bubur. Bahkan telur ceplok dan tumis sayur pun ia makan sampai habis. Setelahnya, ia membiarkan Dara Ayu mencuci peralatan makan karena saat ia menawarkan diri melakukannya, ditolak oleh wanita itu.
Ia duduk di sofa dan menatap tidak enak hati, saat Dara Ayu membantunya membersihkan ruangan. Dari mulai menyapu dan mengepel.
“Kamu ngepel tapi kurang bersih. Lihat pojokan masih berdebu,” omel Dara Ayu saat mendengar protesnya.
Akhirnya, ia putuskan untuk tidak menbantah perkataan wanita itu. Setelah minum obat, matanya terrasa berat. Tanpa sadar, ia tertidur di atas sofa.
Dara Ayu menatap pemuda yang tergeletak pulas dengan senyum tersungging. Ia berniat istirahat sebentar sebelum kembali ke unitnya dengan mengenyakkan diri di samping Reza. Tangannya meraih satu novel di kolong meja dan mulai membacanya. Bisa jadi karena kelelahan, tanpa sadar ia pun tertidur.
Sebuah sentuhan hangat ia rasakan di pundak, lalu turun ke pinggang. Dara Ayu menggeliat dalam tidurnya. Ia mengerang, saat tangan-tangan kuat itu kini membelai bagian belakang tubuhnya. Dengan mata masih terpejam, ia mengulurkan tangan dan mengalungkan di leher seseorang. Ia seperti mengawang-awang dalam dunia mimpi, antara sadar dan tidak  saat bibirnya bertautan dengan bibir yang dingin. Kecupan-kecupan ringan dan berubah jadi intens saat mereka saling melumat.
Ia membuka mata, sadar jika bukan berada di dalam mimpi saat sebuah tangan yang kuat meremas dadanya dari atas daster yang dipakai. Sosok Reza menindih tubuhnya dan kepala pemuda itu berada di pangkal lehernya.
“Reza, kamu ngapain?” tanyanya serak.
“Nggak, mau belajar bermesraan.” Pemuda itu menjawab sambil terus melancarkan kecupan di pundak dan leher Dara Ayu. “Kak, boleh aku buka kancing dastermu?”
Pertanyaaan kurang ajar tapi diucapkan dengan sopan membuat Dara Ayu tidak bisa menahan kikik. Ia meraih kepala Reza dan mereka berpandangan dalam keremangan.
“Mau mau ngapain?” tanyanya lembut.
“Lihat saja.”
“Hanya lihat?”
“Eh, sentuh kalau boleh,” jawa Reza kikuk.
“Kenapa pingin sentuh?”
Reza menurunkan kepala di ceruk leher Dara Ayu. Menghirup aroma tubuh wanita itu dan merasakan gelenyar yang tidak ia mengerti.
“Entah kenapa, saat melihatmu aku seperti ada keinginan untuk menyentuh dan membelai.”
“Hanya itu?” desah Dara Ayu.
“Dan, menciummu.”
Kali ini, Reza membuktikan perkataannya. Ia menurunkan mengangkat kepala dan melancarkan ciuman di bibir Dara Ayu. Meski dengan sedikit rasa canggung, ia melumat bibir wanita itu dan bersemangat saat mendengar desahan.
Suara kecupan, desah napas tak beraturan, dan juga bunyi-bunyi ciuman, memenuhi ruangan yang temaram. Dara Ayu mengarahkan kepala Reza ke arah dadanya dan membiarkan pemuda itu melepas kancing dasternya. Ia bisa merasakan tangan pemuda itu gemetar. Harusnya, ia pun tidak menuruti permintaan Reza, namun entah kenapa ada hal gila yang terpikir di otaknya. Tentang rasa sentuhan dari laki-laki yang telah lama tidak ia rasakan.
“Kak, dadamu indah,” bisik Reza dengan takjub. Dengan lembut ia meremas dada yang bulat menawan di depannya. Tidak bisa menahan diri, ia meremas lembut dan mendengar Dara Ayu mengerang. “Aku berimajinasi meremas dada ini, saat kamu datang memakai daster. Meski tidak menyentuhnya, tapi aku tahu kamu tidak memakai bra.”
“Iyakah?”
“Iya, dan aku ingin mengecupnya.”
Desakan gairah seperti mendesak keluar dari dalam diri Dara Ayu saat merasakan mulut Reza mengulum puncak dadanya. Ia mendesah, mengerang, dan menginginkan lebih dari sekadar sentuhan.

BRONDONG KAMAR SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang