Bab 5a

14.4K 512 15
                                    

Ia diburu waktu, saat harus ke kampus sang papa menelepon dan memintanya datang ke kantor. Jujur saja, ia enggan untuk menemui orang tuanya. Ada perasaan tidak enak saat harus bertemu. Terlebih di kantor, tempat yang ia tidak terlalu sukai.
Melangkah terlalu buru-buru membuatnya tidak memperhatikan jalan. Hampir saja di pintu lobi ia menabrak seorang gadis yang hendak masuk. Untung saja ia bergerak sigap dan menghindar. Namun naas, barang-barang yang dibawa gadis itu berjatuhan di karpet.
“Aduh, sorry. Aku nggak lihat.” Ia menunduk dan memunguti buku-buku yang bertebaran.
“Nggak masalah, aku juga yang salah. Terlalu buru-buru,” ucap gadis itu.
Selesai memunguti, Reza meneggakkan tubuh dan menyerahkan buku pada gadis di depannya. “Aku yang minta maaf. Kamu nggak luka,’kan?”
Mereka bertatapan dan seulas senyum merekah dari bibir gadis itu. “Nggak, cuma kaget aja.”
Keduanya berdiri berhadapan sambil bertukar senyum malu. Karena berdiri di depan pintu, menghalangi orang-orang yang hendak keluar masuk. Mereka berpisah setelah seorang petugas keamanan menegur.
“Eh, boleh tahu namamu?” tanya si gadis pada Reza yang hendak melangkah.
“Reza, itu namaku.”
“Nama kita mirip, aku Riri!”
Reza hanya melambaikan tangan. Melangkah tergesa dan tidak menoleh lagi. Tidak memperhatikan wajah Riri yang berbinar saat melihatnya.
Membalikkan tubuh dan tidak lagi menengok kebelakang, Reza tidak sadar dirinya membuat seorang gadis terpesona. Gadis itu menatap kepergiaannya dengan senyum terkulum.
Reza melihat jam di pergelangan tangan, lalu mengernyit kesal ke arah pintu yang tertutup di hadapannya. Sudah hampir 30 menit, ia menunggu dan sang papa sama sekali belum memanggilnya. Jika bukan karena hal penting yang ingin dikatakan sang papa, ia tidak ingin datang ke kantor ini. Harusnya, sore ini ia mengerjakan tugas dari dosen pembimbing. Ada beberapa bagian dari skripsinya yang harus direvisi. Karena panggilang dadakan, terpaksa membuatnya menunda keinginan.
Pintu terbuka, dari dalam keluar seorang wanita awal tiga puluhan dengan seragam hitam. Wanita itu tersenyum ke arah Reza dan berucap sopan.
“Kak Reza, sudah ditunggu Bapak di dalam.”
Reza bangkit dari kursi dan mengangguk. “Makasih, Kak Tina.”
“Sama-sama, silakan.”
Ia melewati Tina yang merupakan sekretaris sang papa dan mendengar pintu menutup di belakangnya. Mengedarkan pandangan, matanya tertumbuk pada tumpukan dokumen di atas meja dengan sang papa terlihat serius menatap layar komputer.
“Kamu sidang hari ini?” Haribawa bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.
“Iya, sidang kedua.” Reza mengenyakkan diri di depan papanya.
“Lalu?”
“Ada beberapa bagian yang harus direvisi.”
Haribawa mengalihkan tatapannya ke arah anak laki-lakinya. Mencopot kacamata, ia mengamati Reza yang duduk di hadapannya.
“Kamu betah magang di pabrik?”
Reza mengangguk. “Betah, sejauh ini aku banyak belajar, Pa.”
“Nggak mau pindah ke kantor?”
“Nggak, aku lebih suka di lapangan. Berekperimen sama bahan-bahan. Mungkin nanti suatu saat akan pindah ke kantor.”
Haribawa mengangguk kecil, menutup dokumen di depannya. “Kamu nggak minat untuk bekerja di tempat lain? Jadi PNS atau kuliah s2 ke luar negeri? Biasanya anak-anak muda punya mimpi seperti itu.”
“Nggak, Pa. Aku ingin kerja di pabrik.”
“Kenapa?” tanya Haribawa tajam. “kamu benar berniat dengan pabrik atau ada hal lain, Reza?”
Menelengkan kepala, Reza menatap papanya sambil tersenyum tipis. “Maksud Papa apa?”
“Kamu jangan pura-pura nggak ngerti dengan perkataan papa.” Haribawa mengetuk meja. “Kamu pikir papa nggak tahu niatmu?”
“Coba jelaskan, apa niatku, Pa? Sepertinya aku kurang paham di sini.”
Keduanya bertukar pandang dengan aroma permusuhan terlintas samar di antara napas yang berembus. Reza tidak berkedip menatap sang papa. Ia tahu, dirinya sedang diuji dan tidak akan gentar karenanya.
“Kamu jangan pura-pura bodoh! Kamu sengaja datang bekerja di sini bukan karena kamu suka! Tapi kamu ingin ngrecokin aku!”
Reza mengangkat sebelah alis. “Ngercokin itu bagaimana, Papa. Setahuku, pabrik kaca ini adalah milik kelaurga almarhumah Mama. Dan, beliau sebelum meninggal menitipkan amanat agar aku kerja di sini. Jadi, apa itu ngrecokin?”
Tanpa disangka, Heribawa menggebrak meja. Matanya melotot tidak suka dan menuding anak laki-laki sulungnya.
“Mana ada bukti kalau mamamu yang meminta itu?”
“Oh, jelas Papa nggak tahu masalah itu. Karena saat Mama sakit-sakitan dan sekarat, Papa sedang sibuk dengan istri muda!”
“Kamu, be-beraninya kurang ajar sama orang tua?” tuding Heribawa dengan wajah merah padam karena amarah.
“Jangan emosi, Pa. Santai saja, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Papa sudah bahagia dengan istri muda dan dua anak Papa yang lain. Tapi, Papa harus ingat kalau ini adalah perusahaan mamaku. Dan, aku berhak bekerja di sini!”
“Kamu nggak percaya kalau papa bisa mengelola pabrik dengan baik? Bisa dibuktikan jika keuntungan menjadi berkali-kali lipat daripada dulu dipegang mamamu.”
“Wah, aku kurang tahu itu.” Reza berucap sambil mengangkat bahu. “Selama magang di pabrik, aku baru mempelajari masalah produk, dan bahan baku. Tapi, untuk laporan penjualan dan lainnya, aku akan belajar segera setelah aku sarjana.”
“Kamu benar-benar anak tak tahu diuntung!”
“Terima kasih, aku anggap itu pujian. Demi almarhumah Mama.”
“Brengsek! Kurang Ajar! Jangan datang lagi kemari. Aku nggak sudi lihat kamu!”
Keduanya berpisah dengan masing-masing memendam kemarahan. Reza bahkan merasa dadanya sesak karena emosi. Bukan hanya rasa kecewa pada sang papa tapi juga rasa sedih. Ia ingat betul, bagaimana saat mamanya sakit sang papa malah asyik dengan istri muda. Dengan alasan mengurus perusahaan, Heribawa jarang menjenguk istrinya. Bahkan saat sang istri tua meninggal, dengan enteng mentitipkan Reza pada mertuanya. Di bawah asuhan sang nenek, Reza tumbuh menjadi pemuda tampan dan tangguh. Kini, sudah saatnya untuk mengambil alih apa yang menjadi miliknya.

**
Sudah tersedia di google play book

BRONDONG KAMAR SEBELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang