Dua puluh sembilan

1K 135 16
                                    

Kurang lebih satu jam Nana habiskan untuk berbincang-bincang dengan ibu Dina. Bu Dina banyak bercerita tentang hal-hal yang terjadi di rumah selama Nana pergi. Rasanya menyenangkan dan menghibur. Membuat dia semakin merindukan waktu yang dia habiskan di rumah itu. Waktu yang tidak untuk dapat dia ulang kembali.

Kini dia sudah berada di studio milik Yugi. Berbeda dengan beberapa hari lalu yang terlihat berantakan, sekarang terlihat lebih rapi. Nana berdiri di depan pagar, dia ragu untuk melangkah masuk. Dia masih mempersiapkan perasaanya untuk kemungkinan terburuk.

"Perlu kakak temenin?" tanya Whean yang mulai gemas sendiri melihat Nana hanya berdiri diam.

"Tidak usah kak, Kak Whean tunggu di mobil saja!"

"Oke! Kalau laki-laki itu nyakitin kamu jangan ragu panggil kakak. Biar kakak hajar dia!" ujar Whean semangat.

Nana tertawa dengan tingkat kakaknya. "Masalah baku hantam aja semangat!"

"Udah sana masuk!"

Nana melangkahkan kakinya ke dalam studio tempat yang dua bulan lebih tidak dia kunjungi. Meski tidak banyak berubah, namun tetap terasa lagi. Mungkin karena tidak ada lagi suara tawa dan rayuan-rayuan kuno dari Yugi. Semuanya terasa sunyi. Sudut bibirnya terangkat saat melihat sosok yang dirindukannya sedang duduk di meja kerjanya, fokus pada layar komputer tak lupa kaca mata yang dia kenakan membuat Yugi terlihat sangat menawan.

Satu menit, dua menit Nana masih sibuk mengamati Yugi, tanpa berniat bersuara. Yugi sepertinya juga tak menyadari kehadirannya. Dia terlalu fokus pada apa yang sedang dia kerjakan. Hingga beberapa saat kemudian, Yugi mulai sadar. Dia mengerjapkap matanya berulang kali, dia takut jika dia sedang berhalusinasi karena merindukan gadis itu.

"Hai, apa kabar?" sapa Nana.

Yugi bangkit dari kursinya, dia masih sulit percaya jika sosok di depannya nyata. Ingin rasanya dia memeluk erat gadis itu, tapi mengingat semuanya membuat dia enggan untuk bergerak. Hatinya terasa begitu sakit.

"Tidak baik, kamu pasti tahu itu!" jawab Yugi jujur.

Jawaban Yugi yang terkesan dingin, membuat hati Nana terasa sakit. Air matanya mulai menetes tanpa bisa dia kendalikan.

"Kamu datang hanya untuk menangis di depanku?" tanya Yugi sambil berjalan menghampiri Nana. "Jangan menangis, itu menyakitiku Na." Yugi menghapus air mata yang mengalir di pipi Nana.

"Maaf," ucap Nana, hanya itu yang bisa dia katakan.

"Tidak sepenuhnya salah kamu. Aku juga salah, karena dengan mudahnya tergoda olehmu. Jadi jangan terlalu merasa bersalah, karena itu tidak mengubah apa pun. Aku senang bisa melihatmu untuk terakhir kali, karena aku harap setelah ini kita tidak pernah bertemu lagi. Karena jika kita tetap bertemu, sulit untuk aku melupakan semuanya."

Nana terdiam mendengar kata-kata Yugi. Dia membenarkan kata-kata itu, lebih baik mereka tidak pernah bertemu lagi, dan untuk bayi dalam kandungannya Nana sudah memutuskan, itu akan menjadi rahasia yang akan dia kubur selamanya. Dia tidak ingin mengikat Yugi tetap bersama dan membuat dia tersiksa karena bayi yang dikandungnya.

Nana tersenyum. "Saya pikir juga begitu, mari kita tidak bertemu lagi. Selamat tinggal dan terima kasih untuk semua yang kamu lakukan untuk saya."

Dia kemudian melangkah untuk pergi, dia tidak sanggup berdiri di sana lebih lama lagi. Sementara Yugi hanya mampu menatap punggung Nana, hingga gadis itu menghilang di balik pintu. Semuanya sulit untuknya, termasuk melepas Nana. Namun akan lebih sulit untuknya jika dia harus melihat Nana lagi. Sulit untuk melupakan gadis itu.

Saat Nana kembali ke mobil dengan wajah murung, Whean bisa menebak jika semuanya tidak berjalan dengan baik.

"Dia tidak mau tanggung jawab?" tanya Whean.

Bougenville Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang