Segaris senyum terukir di wajah Nana setelah melihat sebuah pesan masuk. Namun beberapa saat kemudian senyumnya luntur. Dia sudah sampai di depan rumah orang tua Yugi dengan selamat. Sebenarnya ada rasa tidak enak, karena ini adalah hari pertama dia bekerja. Mau bagaimana lagi, tubuhnya terasa lemas. Nana tidak menyangka jika mengingat masa lalunya masih sama menyakitkannya. Meski bukan pertama dia bertemu laki-laki itu lagi, namun dia merasa berkali lipat lebih cemas, saat ada laki-laki itu di sekitar dia dan Yugi.
“Kok sudah pulang? Yugi mana?” tanya Bu Dina yang sedang merawat taman mini di depan rumahnya.
“Tadi saya sedikit nggak enak badan, jadi Pak Yugi minta saya untuk pulang lebih dulu,” jelasnya.
“Ah benar, wajah kamu pucet banget, kita ke dokter, ya?”
“Tidak perlu Bu, saya istirahat sebentar juga sembuh!” tolak Nana, dia hanya sedikit pusing karena terkejut.
“Ya udah kalau begitu, kamu istirahat. Nanti ibu minta Bi Isah untuk buatin kami teh hangat.”
“Terima kasih, Bu.”
Nana pergi ke kamarnya. Tubuhnya mulai manja, padahal biasanya jarang sakit. Atau mungkin memang ini adalah batas ketahanan tubuhnya, selama ini dia terlalu memaksakan diri melakukan banyak hal, hingga saat seperti ini tubuhnya drop.
“Bi, tolong buatin teh hangat buat Nana, ya!” pinta Bu Dina.
“Bukannya Neng Nana ikut Mas Yugi kerja?”
“Iya, tapi dia pulang duluan katanya nggak enak badan! Wajahnya juga pucet banget!” jelas Bu Dina.
“Jangan-jangan ....” Bu Isah menggantung kata-katanya.
“Jangan-jangan apa?”
“Neng Nana hamil, makanya Mas Yugi ngajak dia tinggal di rumah ini!”
“Ih ngawurr kamu Bi!”
“Ya mungkin aja, Bu. Mas Yugi bawa anak gadis buat tinggal di sini, kalau cuma asisten kan bisa carikan kontrakan!”
Bu Dina merenungi kata-kata asisten rumah tangganya itu. Sebenarnya tidak masuk akal, tapi ada benarnya juga. Jika Nana hanya asisten biasa, tidak mungkin Yugi membawanya pulang. Namun Bu Dina segera mengenyahkan pemikiran gila itu, dia tidak ingin berburuk sangka pada putranya sendiri. Apa lagi Bu Dina mengenal Yugi dengan baik, anak bungsunya itu tidak mungkin melakukan hal seperti itu.
“Dari pada makin ngelantur, buatin teh sana. Terus antar ke kamarnya Nana!”
“Baik, Bu.
Nana sampai di depan pintu kamarnya, tepat saat Bagas baru saja keluar dari kamarnya. Dia sudah rapi untuk pergi kuliah.
“Na, kok kamu udah di rumah. Wajah kamu kok pucet?” tanya Bagas beruntun, dia menyentuh dahi Nana dan membandingkannya dengan dahinya, “kamu panas,” lanjutnya dia terlihat panik.
“Saya baik-baik saja, hanya sedikit nggak enak badan,” jawab Nana.
“Kita harus ke dokter!”
“Enggak usah! Saya akan baik-baik saja, setelah istirahat.”
“Ya udah kamu istirahat, aku ambilkan kamu obat sama makanan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bougenville
RomansaJika kamu mencari kisah semanis macaron atau rayuan renyah seperti roman picisan, maaf kamu datang ke tempat yang salah. Di sini tidak ada kisah seperti itu, yang ada hanya Ayundana, seorang gadis yang telah kehilangan semua mimpinya. Gadis yang te...