bab 1

1.3K 218 41
                                    

Barangkali keputusan Jiyeon untuk meninggalkan kota Busan adalah pilihan terbesar bagi hidupnya. Sebab, tetap bertahan juga terlalu sulit gadis itu, didera rasa kehilangan terus-menerus tidak akan memperbaiki keadaannya sekarang. Terlampau banyak kenangan yang ia lalui di kota kelahirannya ini bersama kedua orang tuanya. Selama 21 tahun hidupnya, Jiyeon harus di hadapkan masalah pelik yang tengah menimpanya. Kehilangan kedua orang yang paling ia cintai dan bertahan sendiri dalam rasa sakit yang luar biasa setelah ditinggal pergi oleh orangtuanya yang mengalami kecelakaan tragis dua minggu yang lalu.

Mata indahnya menatap nanar pada sebuah mobil yang terparkir di pekarangan rumah milik orangtuanya. Sementara pemilik mobil tersebut tengah membantu mengemasi beberapa pakaian Jiyeon ke dalam dua koper besar di kamarnya. Jiyeon mengamati kakak perempuan dari sang ayah yang begitu peduli terhadapnya. Mendapat kabar jika adik satu-satunya mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia, Park Sinhye langsung meninggalkan Seoul dan membantu Jiyeon mengurusi upacara pemakaman kedua orangtuanya. Dan kini sang bibi berniat membawa Jiyeon ke Seoul untuk tinggal bersamanya dengan suami dan putra semata wayangnya.

Garis bibir Jiyeon sedikit tertarik kala itu, dengan kalimat penuh semangat, bibinya berharap Jiyeon mau untuk tinggal bersama keluarga kecilnya. Karena wanita paruh baya itu tidak tenang jika membiarkan putri kesayangan adik laki-lakinya ini hidup sendiri di kota yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Setidaknya dengan membawa Jiyeon tinggal bersama, Sinhye bisa mengawasi dan memperhatikan kehidupan gadis cantik itu kendati pekerjaannya sering kali membuat wanita itu pulang larut malam bahkan nyaris tidak menginjakan kaki di rumah selama berhari-hari.

Tapi ia tidak perlu mencemaskannya, hal itu hanyalah masalah kecil lantaran ada anak laki-lakinya yang bisa ia andalkan untuk menjaga Jiyeon selagi Sinhye tidak berada di rumah. Usia Jiyeon dan anak laki-lakinya yang tidak terpaut terlalu jauh membuat Sinhye berpikir jika keduanya akan saling memahami dan beradaptasi dengan cepat. Putranya pasti bisa menjadi kakak laki-laki yang baik untuk gadis 21 tahun tersebut.

Kini dengan penuh kelembutan, Sinhye menghampiri keponakannya yang duduk di tepi ranjang dengan sepasang netra yang memandang keluar jendela. Ia tahu jika Jiyeon masih terpuruk dalam duka yang begitu dalam, sedari awal kedatangan Sinhye dua minggu yang lalu, tidak sekalipun ia melihat binar yang biasanya terpancar dari mata tajam Jiyeon. Gadis itu murung dan berubah manjadi tertutup, sangat disayangkan sekali jika Jiyeon dibiarkan terlalu lama larut dalam kesedihannya. Sinhye pun sudah bertekad akan membuat Jiyeon ceria dan hangat seperti sebelumnya. Karena hanya ia keluarga satu-satunya yang tersisa bagi Jiyeon.

Tangannya naik, mengusap perlahan surai halus gadis muda itu. Hingga Jiyeon mengalihkan atensinya pada Sinhye, menyematkan senyuman yang terkesan dipaksakan. Kedua lengan Sinhye membawa tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Memberi afeksi nyaman agar keponakannya merasa tidak sendirian di dunia ini. Wanita paruh baya itu akan merawat dan menyayangi Jiyeon layaknya putri sendiri. Terlebih ia memang menginginkan seorang putri untuk menambah lengkap kebahagiaan keluarga kecilnya.

Masih memberi usapan nyaman pada garis punggung Jiyeon, Sinhye kembali mencoba memulai konversasi yang selalu saja minim tanggapan dari Jiyeon.

"Bibi akan mengurus kepindahanmu, juga kuliahmu nanti di Seoul."

Jiyeon diam, salah jika ia mendiamkan semua orang hanya karena perasaan kehilangan yang begitu besar. Tapi, hatinya masih tidak bisa diajak bekerja sama. Rasa sakit itu masih bersemayam hingga membuatnya enggan bersuara barang sedikit saja.

"Semua akan baik-baik saja, Sayang." Kembali ucapan menenangkan itu meluncur dari bibir Sinhye meski tidak mampu melucuti kesedihan Jiyeon.






•••






Selama perjalanan dari Busan menuju kota Seoul, Jiyeon tak banyak bicara, hanya menjawab seadanya jika Sinhye berusaha melontarkan tanya dan mencoba mengajak Jiyeon membangun konversasi ringan seperti hal-hal biasa yang Jiyeon lalui di tempat kuliahnya.

Tacenda✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang