Terhitung sudah satu minggu berlalu, Jiyeon masih berusaha menghindari, dan Jungkook yang mencoba mengerti. Meski sesekali rasa sepi dan ingin memulai konversasi merayap di sudut hati. Jiyeon tidak menampik kini rasa asing itu semakin membuat dadanya sesak. Belum bisa menyimpulkan apa yang hatinya mau, kendati ingin sekali menyapa sepupunya seperti yang seharusnya. Bukankah mereka sepakat untuk berdamai?
Diliriknya sang bibi yang tengah sibuk dengan sup kimchi yang ia masak untuk makan malam mereka. Ya... sudah dua hari bibi dan pamannya berada di rumah. Dan dua hari ini Jiyeon mau pun Jungkook bersikap ramah dan seperti saudara biasa di depan Sinhye dan Jungki.
"Apa selama bibi pergi, Jungkook juga sering pulang larut malam?" Sinhye memecah lamunan Jiyeon yang terpaku pada mug cokelat di tangannya.
Jiyeon menggeleng dan melempar senyuman senatural mungkin pada bibinya. "Mungkin kerjaan Jungkook mengharuskannya untuk lembur, Bi."
Sinhye mematikan kompor dan membawa hot pot ke tengah-tengah meja makan yang sudah ia tata dengan beberapa makanan pendamping lain untuk mereka. Jungki yang baru selesai membersihkan diri sepulang kerja pun langsung menyambangi meja makan.
"Selamat malam, Cantik," sapa pria itu ramah dan menarik kursi yang biasanya ia duduki.
"Malam, Paman," balas Jiyeon melempar senyumnya.
"Tidak menunggu Jungkook dulu, Bi?" tanya Jiyeon begitu bibinya sudah mengisi gelas dengan air putih. Bersiap untuk makan malam mereka.
"Kita makan terlebih dahulu, Sayang. Jungkook menghubungi bibi tadi, dia lembur."
Jiyeon hanya mengangguki tanpa menyahut lagi. Mereka makan dengan suasana hangat, sup kimchi dengan campuran daging dan tahu buatan bibinya memang luar biasa enak. Juga pedas sesuai seleranya. Jiyeon jadi teringat ketika bersama kedua orangtuanya, gadis itu tidak bisa memakan makanan pedas karena ibunya tidak memperbolehkan.
"Apa terlalu pedas?" tanya Sinhye khawatir melihat Jiyeon yang terdiam dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ti-tidak, Bibi. Aku hanya teringat ibu," lirihnya mengusap air mata yang baru saja keluar dengan cepat.
Sinhye menatap keponakan cantiknya yang masih saja berduka. Ia memaklumi, wajar jika Jiyeon mudah teringat orangtuanya jika melakukan sesuatu. Meletakan sumpitnya, tangan Sinhye terulur dan mengusap tangan Jiyeon yang di atas meja.
Tidak ada kata-kata menenangkan yang terucap dari wanita dewasa tersebut, ia tahu Jiyeon tidak butuh lagi ucapan seperti itu. Hanya bentuk afeksi dan cukup dengan menunjukan jika gadis itu tidak sendiri. Jiyeon memiliki satu keluarga yang menerimanya dengan tangan terbuka.
"Ya ampun, gadis kecil ini pintar sekali berbohong, ya? Sup buatanmu pedas sekali, Sayang. Pantas saja Jiyeon sampai menangis seperti itu," canda Jungki mencairkan suasana.
Sinhye mendelik dan memberi pukulan gemas pada lengan atas suaminya. Tawa Jungki langsung memenuhi meja makan, menular pada Jiyeon yang kini melukis senyuman. Ia beruntung berada di tengah-tengah keluarga ini. Benarkan?
Sehabis makan malam yang menyenangkan, Jiyeon kembali ke kamarnya sesudah memaksa untuk membantu bibinya membersihkan peralatan makanan.
Jiyeon makin kagum dengan kakak perempuan dari ayahnya ini. Sebenarnya bisa saja mereka meninggalkan piring bekas makanan di atas meja untuk dibersihkan pelayan esok paginya. Tapi sang bibi tidak keberatan melakukan hal sederhana seperti itu, selagi ia memiliki waktu kenapa tidak ia kerjakan, bukan?
Matanya berpendar ke jendela kamar yang terbuka, angin malam menyelinap masuk pada celah jendela yang tidak tertutup rapat. Menyebabkan tirai jendela mengayun ringan dengan sapuan udara dingin yang menyejukkan.