BAGIAN 2

285 16 0
                                    

Seorang laki-laki bertubuh sedang dengan rambutnya yang putih riap-riapan sepanjang punggung, duduk di atas sebuah kursi rotan berukuran besar. Bajunya berukuran besar, bercorak kembang-kembang warna biru dan hijau. Dasarnya berwarna merah. Pancaran matanya tampak berkilau tajam laksana elang mengintai mangsa. Wajahnya agak bersih, namun ada hawa mengiriskan bercampur kelicikan.
Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat sepanjang tiga jengkal yang ujungnya berwarna putih. Sepintas lalu, tongkat itu seperti mainan. Namun sesungguhnya di tangan laki-laki ini menjadi sebuah senjata yang hebat. Karena tongkatnya ini, maka dia dinamakan Tongkat Sihir Dewa Api. Sedangkan nama aslinya adalah, Netra Buana!
Di depan Tongkat Sihir Dewa Api duduk seenaknya empat sosok tubuh. Dua orang laki-laki dan dua orang wanita.
Yang berada di sebelah kiri adalah seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya cantik dengan tubuh menggiurkan. Rambutnya yang lebat sebatas pinggang, dibiarkan lepas begitu saja. Cara berpakaiannya amat seronok. Dia hanya menutupi bagian dada, dengan membiarkan bagian perut dan pangkal lengannya terbuka lebar. Bagian bawah perutnya ditutupi celana hitam pendek, yang berbayang jelas dari pakaian luarnya yang amat tipis. Di pinggangnya melilit sebuah selendang sutera tipis berwarna ungu. Orang-orang persilatan lebih mengenalnya sebagai Iblis Perayu Sukma, ketimbang nama aslinya Malini.
Di samping Iblis Perayu Sukma adalah seorang laki-laki gemuk pendek dengan perut besar. Wajahnya amat buruk. Orang ini bernama Ki Bangkong. Dan kaum rimba persilatan mengenalnya sebagai Raja Katak Hitam.
Di sebelah Raja Kata Hitam lagi adalah Nyi Pucuk Nyiur. Wanita berusia sekitar tujuh puluh tahun ini mulutnya selalu berkomat-kamit mengunyah sirih. Tubuhnya kurus dan bungkuk. Dia selalu membawa-bawa sapu lidi yang diberi tongkat kayu.
Sedangkan yang terakhir adalah laki-laki berambut keriting. Kelopak matanya cekung. Tubuhnya kurus. Di pangkuannya melingkar beberapa ekor ular berbisa dengan tenangnya. Orang ini bernama Ki Naga Pertala, Di rimba persilatan, dikenal sebagai si Setan Ular.
"Sobat-sobatku! Silakan dicicipi hidangan yang telah tersedia!" seru Ki Netra Buana.
"Hei, Netra Buana! Langsung saja utarakan, apa maksudmu mengundang kami berempat?" Tanya Ki Bangkong, seraya meraup serenceng anggur dan mengunyahnya dengan lahap.
"Apakah tidak sebaiknya kita bersantap dulu?"
"Sudahlah.... Tidak usah berbasa-basi. Katakan saja maksudmu!" timpal Nyi Pucuk Nyiur, segera mereguk cawan berisi arak yang berbau harum.
"Baiklah. Sebenarnya, aku memerlukan bantuan kalian berempat."
"Hm, bantuan apa? Tidak biasa-biasanya kau memerlukan bantuan kami," potong Ki Naga Pertala.
"Hihihi...! Amat menggelikan mendengar si Tongkat Sihir Dewa Api memerlukan bantuan. Apakah kau tengah mengalami persoalan yang amat rumit?" Tanya Iblis Perayu Sukma sambil tertawa genit.

"Bisa jadi begitu."
"Katakanlah! Kami adalah sahabat-sahabatmu. Kau sering menolong kami. Maka sudah sepantasnya kami pun menolongmu, jika kau mengalami kesulitan!" desah si Raja Katak Hitam alias Ki Bangkong, penasaran.
"Apakah kalian mendengar berita-berita santer belakangan ini?" Tanya Tongkat Sihir Dewa Api.
"Berita apa? Apakah ada jejaka tampan yang keluyuran mencari-cariku?" sahut Malini diiringi tawa cekikikan.
"Maksudku tentang sepak terjang si Pendekar Rajawali Sakti." Ki Netra Buana tidak mengindahkan kelakar wanita genit itu.
"Pendekar Rajawali Sakti? Hm, ya. Kudengar dia banyak membunuh tokoh golongan lurus. Apa hebatnya? Bukankah itu bagus?" kata Ki Naga Pertala.
"Kudengar dia yang membalaskan dendammu pada tokoh-tokoh yang pernah mengalahkanmu sebelas tahun lalu?" tanya Ki Bangkong.
"Hei, Netra Buana! Kenapa mesti repot-repot menggunakan Pendekar Rajawali Sakti untuk membalaskan dendammu pada mereka? Bukankah kau ataupun kami sudah lebih dari cukup?" timpal Nyi Pucuk Nyiur.
"Iya, betul! Bahkan kalau diinginkan, aku sendiri mampu menjatuhkan si Pendekar Rajawali Sakti!" timpal Malini.
Ki Netra Buana tersenyum. "Aku tidak meragukan kehebatan kalian. Juga tidak meragukan kesetiakawanan kalian," desah Tongkat Sihir Dewa Api.
"Lalu, kenapa kau harus menggunakan tangan si Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ki Bangkong.
"Ada beberapa alasan kenapa aku harus menggunakan tangannya. Pertama, dia mampu melakukan tugas itu karena kepandaiannya cukup hebat. Kedua, aku ingin merontokkan pamor Pendekar Rajawali Sakti. Dengan perbuatannya, tentu dia akan dikucilkan. Lalu diburu untuk dibunuh oleh orang-orang segolongannya sendiri," jelas Ki Netra Buana.
"Hm, cerdik juga kau! Lalu apa masalahnya? Bukankah kudengar dia telah mengerjakan perintahmu?" tanya Malini
"Benar. Sejauh ini, dia telah melakukannya. Dan itu membuatku senang. Tapi dua hari lalu, aku mendengar berita buruk," desah Ki Netra Buana lagi.
"Berita buruk apa?" Tanya Ki Bangkong.
"Saat mendatangi Ki Polong di padepokannya, ternyata di sana telah berkumpul lebih dari lima belas tokoh persilatan, dibantu murid-murid Padepokan Kalong Wetan. Mereka mengepung pemuda itu dan berhasil melumpuhkannya."
"Lalu?"
"Untukku, tidak menjadi persoalan kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tewas dalam kejadian itu. Namun pada saat yang gawat, ternyata seseorang telah menolong dan melarikannya dari tempat itu," lanjut Ki Netra Buana, menjelaskan lagi.
"He, apa rumitnya persoalan ini?" tanya Nyi Pucuk Nyiur.
"Ya. Di mana letak kesulitanmu mendengar berita ini?" timpal Ki Bangkong. "Pemuda goblok itu telah gagal. Tapi kau masih punya kami. Kalau kau memang ingin menghabisi mereka, serahkan saja pada kami!"
Ki Netra Buana tersenyum mendengar tanggapan kawan-kawannya itu. "Pendekar Rajawali Sakti lepas dari kendaliku. Dan aku tidak tahu, di mana dia sekarang berada. Bagaimanapun, dia akan menjadi batu sandungan buatku kelak."
"Bukankah kau telah mempengaruhinya dengan aji sirep Pelumpuh Sukma? Lalu, kenapa masih khawatir? Dia pasti akan kembali padamu," ujar Ki Naga Pertala.
"Benar! Selama ini setiap kali dia pulang, maka aku selalu mencekokinya dengan aji sirep Pelumpuh Sukma. Sehingga dia tidak bisa berpaling dariku. Tapi aji itu mempunyai batas keampuhan. Bila dalam dua hari dia tidak ku cekoki lagi, maka sejak itu pengaruhnya berangsur-angsur akan hilang. Dan kini telah dua hari sejak kejadian itu. Maka aku yakin, dia mulai sadar dari pengaruh yang memudar dalam dirinya," jelas Ki Netra Buana.
"Hm.... Jadi kau khawatir dia berbalik memusuhimu?" tebak Malini.
"Malini! Bocah itu tidak bisa dipandang enteng. Kepandaiannya hebat. Kalau saja tidak dicekoki aji sirep Pelumpuh Sukma, dia akan sangat berbahaya. Maka aku tidak bisa membiarkannya begitu saja."
"Lalu, apa yang kau inginkan sekarang darinya?"
"Aku ingin dia ditemukan. Bawa ke hadapanku. Dan kalau membangkang, bunuh saja! Untuk tugas ini, aku tidak bisa memberikannya pada anak buahku. Sebab tak ada seorang pun dari mereka yang bisa diandalkan untuk menangani Pendekar Rajawali Sakti."
"Aku mengerti. Serahkan saja urusan itu padaku. Ini pekerjaan mudah, sekaligus mengasyikkan!" seru Malini sambil tersenyum genit.
"Syukurlah kalau memang kau bersedia membantuku. Budimu tidak akan kulupakan, Malini," ucap Ki Netra Buana.
"Eit, tidak usah bicara budi segala! Bila bocah itu kudapatkan, maka dia harus memberi kesenangan padaku. Dan kau tidak boleh mengganggu. Kau mengerti maksudku?" kata Malini buru-buru.
"Hahaha! Malini.... Kelakuanmu selalu saja tidak berubah. Kenapa musti repot-repot kalau aku pun bisa memuaskanmu!" timpal Ki Bangkong disertai tawa lebar mendengar ucapan wanita berpakaian seronok itu.
"Cih! Apa yang bisa kudapatkan darimu? Memandang mukamu saja, aku sudah tidak berselera. Lagi pula, tenagamu sudah loyo setelah bermain beberapa kali!" dengus Malini tandas.
"Sial!" umpat Ki Bangkong kesal.
"Kenapa tidak kau alihkan perhatianmu dari si Malini, Bangkong? Aku toh dengan sukarela memenuhi keinginanmu," kata Nyi Pucuk Nyiur mengejek.
"Tutup mulutmu, Peot! Apa yang bisa kudapatkan dari kulit keriputmu itu!" desis Ki Bangkong.
"Hihihi..! Paling tidak, aku mengerti bagaimana caranya menyenangkanmu," sahut Nyi Pucuk Nyiur sambil tertawa nyaring.
"Lalu, apa yang kau harapkan dari kami, Ki Netra...?" tanya Ki Naga Pertala tanpa mempedulikan kawan-kawannya yang saling mengejek.
"Salah seorang anak buahku tertangkap, saat menyertai si Pendekar Rajawali Sakti di padepokan itu. Aku khawatir dia buka mulut. Sehingga mereka mengetahui tempatku ini. Aku ingin anak itu dibungkam."
"Hm, itu pekerjaan mudah. Biar kubereskan dia!"
"Baiklah! Tapi ingat. Bila dia tidak mengkhianatiku, tidak perlu kau bereskan. Dan kalau ternyata berkhianat, mereka tentu melindunginya dengan ketat."
"Bagaimana dengan kami?" tanya Nyi Pucuk Nyiur.
"Aku ingin agar mereka yang ada dalam penyerangan dibereskan. Tapi ini tidak mudah. Sebab yang paling sulit adalah ketiga tokoh utama yang menjadi musuh beratku. Siapa di antara kalian berdua yang sanggup membereskan mereka semua?"
"Hm.... Kau meremehkan kemampuan kami, Netra?" tanya Ki Bangkong, jumawa.
"Bukan begitu, Sobat! Aku justru bingung memilih di antara kalian berdua! Karena aku yakin, kalian pasti mampu. Nah, biarlah ku putuskan bahwa tugas ini menjadi bagian kalian berdua saja."
"Hm.... Tidak menjadi masalah," sahut Nyi Pucuk Nyiur enteng.
"Hehehe...! Sudah lama aku tidak menghirup darah segar. Ini akan menjadi pesta yang menggairahkan!" seru Ki Bangkong, seraya terkekeh-kekeh.
"Enak bagi kalian. Tapi membuatku tersinggung," kata Ki Naga Pertala tidak puas.
"Kenapa, Sobat?"
"Kau memberi tugas yang sesuai pada mereka. Sedangkan aku, kau beri bagian ringan. Apakah dengan begitu kau memandang rendah padaku?"
"Apakah kau tidak mengerti tugasmu?" tanya Ki Netra Buana heran sambil tersenyum.
"Apa maksudmu?"
"Tugas membereskan anak buahku jika dia berkhianat, bukanlah tugas mudah. Jika mereka putus asa untuk menemukan tempatku ini, maka akan memaksa anak buahku itu. Dan saat tahu kalau ada yang hendak membinasakan anak buahku, mereka pasti melindunginya mati-matian. Lalu bila ternyata anak buahku tidak berkhianat, maka kau kuberi tugas untuk membuat kekacauan dengan melenyapkan semua tokoh persilatan golongan putih, agar timbul kegemparan. Sehingga dengan begitu, perhatian mereka terpecah-pecah. Juga, kau boleh melakukan keduanya sekaligus. Nah, coba pikirkan. Apakah dengan demikian aku menganggap rendah padamu?" kata Ki Netra Buana menjelaskan.
"Hm, aku mengerti kini," sahut Ki Naga Pertala sambil mengangguk puas.
"Syukurlah. Kurasa mulai hari ini, kita sudah bisa melaksanakan tugas masing-masing!" lanjut Ki Netra Buana.
"Hihihi...! Kalau memang tidak ada lagi yang mau dibicarakan, aku akan melanjutkan kesenanganku!"
Malini bergegas bangkit sambil tertawa cekikikan. Dan manakala berjalan keluar, pinggulnya terlihat bergoyang genit membuat Ki Bangkong berdesah sambil menggelengkan kepala. Dan tiba-tiba, wanita menggiurkan itu berbalik.
"Apakah tidak ada lagi di antara budak-budakmu yang bertubuh kuat dan berwajah manis?" tanya Malini.
"Jangan khawatir, Malini. Mereka akan menyediakannya untukmu!"
"Hihihi...! Kau memang baik, Ki Netra. Silakan kalian lanjutkan obrolan tadi. Setelah selesai bersenang-senang, maka aku akan segera berangkat!" lanjut wanita itu sambil berlalu, tanpa menoleh lagi.
"Heh?! Kalau dia mendapat bagian, bagaimana mungkin kau bisa melupakanku, Sobat?" tanya Ki Bangkong sambil mesem-mesem.
"Tua bangka tak tahu malu! Perempuan akan pingsan melihat wajahmu sebelum kau mendapat kesenangan!" umpat Nyi Pucuk Nyiur.
"Hehehe...! Siapa peduli?!" sahut Ki Bangkong, terkekeh-kekeh.
"Jangan khawatir, Sobat. Anak buahku akan segera mengurusmu. Dan mereka akan menyediakan gadis-gadis cantik yang kau sukai!" ujar Ki Netra Buana.
"Hehehe...! Kau dengar itu, Nenek Peot! Kau boleh bergabung kalau suka. Tapi tidak denganku!"
Ki Bangkong segera keluar dari ruangan itu. Nyi Pucuk Nyiur hanya mencibir sinis. Kemudian diikutinya jejak kedua kawannya itu. Sedangkan Ki Naga Pertala yang tidak banyak bicara, menyusul terakhir. Ki Netra Buana menghela napas panjang, kemudian tersenyum seraya merebahkan punggungnya di kursi.

***

Pandan Wangi duduk termenung di depan gubuk ini. Pikirannya jauh menerawang entah ke mana. Dagunya bertumpu pada kedua lututnya yang ditekuk. Suasana di tepian Hutan Karangalas terasa sepi. Yang ada hanya suara desau angin yang sesekali bertiup dan mempermainkan ujung-ujung rambut gadis itu, dan nyanyian jangkrik serta unggas malam yang sesekali meningkahi. Sementara jauh di depan dan samping kiri dan kanan, yang terlihat hanya kegelapan.
"Hhh...."
Pandan Wangi menghela napas panjang tanpa merubah sikap duduknya. Beberapa kali dia bergumam pendek. Namun tidak jelas apa yang diucapkannya. Mendadak gadis itu dikagetkan oleh sesosok tubuh tua yang melangkah pelan mendekati. Pakaiannya kumal penuh tambal. Tubuhnya sedikit terbungkuk menahan beban tumpukan ranting kering di pundak.
"Eh, maaf. Mataku mungkin sudah lamur, sehingga aku tersesat," ujar sosok tua itu ketika Pandan Wangi memandang dengan mata tidak berkedip. Pandan Wangi merubah sikap duduknya.
"Orang tua, hendak ke mana tujuanmu?" Tanya Pandan Wangi dengan nada datar.
"Eh! Aku hendak pulang ke rumahku. Sepertinya, sebelah sini. Tapi ternyata aku kesasar. Maaf telah mengganggumu, Nisanak."
"Tidak apa," sahut Pandan Wangi tersenyum ramah.
Orang tua itu hendak berbalik, namun sepertinya dia teringat sesuatu. Kembali wajahnya dipalingkan pada gadis itu. "Seingatku tempat ini tadinya kosong. Penghuninya pindah. Apakah kau sanak saudara penghuni rumah ini, Nisanak? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya."
"Bukan. Aku hanya kebetulan lewat, dan kemalaman. Sehingga kuputuskan untuk berteduh di pondok ini."
"Seorang diri?"
"Eh, ya!" Pandan Wangi terpaksa berdusta. Dia tidak ingin memancing kecurigaan orang tua ini.
"Hm, sungguh berani. Seorang gadis berada seorang diri di tempat seperti ini. Apakah kau tidak merasa takut, Nisanak?" Tanya orang tua itu sambil menggeleng lemah.
"Aku sudah terbiasa, Kisanak,"
"Hm.... Ya, ya.... Baiklah. Kalau begitu, aku pamit dulu," lanjut orang tua itu seraya berbalik dan meninggalkan tempat itu dengan langkah terbungkuk-bungkuk.
Pandan Wangi mengamatinya sampai orang tua itu hilang dari pandangan. Lalu dihelanya napas panjang. Hatinya menyimpan curiga. Sebab meski bagaimanapun wajarnya sikap orang tua itu, keadaan mereka saat ini dalam keadaan terjepit. Semua kalangan mengejar si Pendekar Rajawali Sakti. Dan beberapa orang di antara mereka ada yang tahu kalau hubungannya dengan pendekar itu amat dekat. Bisa saja orang tua itu salah seorang mata-mata. Kalaupun bukan, dia bisa mengundang kecurigaan orang lain.
Si Kipas Maut bangkit lalu beranjak ke dalam. Begitu berada di dalam, sejenak diperhatikannya Rangga yang masih tertidur lelap. Keadaan pemuda itu sudah mulai membaik, meski tenaganya belum pulih betul. Seharian ini Rangga lebih banyak berdiam diri. Dan dia hanya menjawab sepatah kata atau dua patah kata bila Pandan Wangi bertanya atau sekadar mengajaknya ngobrol. Pandan Wangi menghela napas panjang. Kemudian dia kembali keluar untuk berjaga-jaga. Sudah beberapa malam ini matanya sulit dipejamkan. Meski beberapa kali menguap, namun kantuk sepertinya enggan datang.
"Heh?!"
Pandan Wangi tersentak kaget. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang mengendap-endap pelan di halaman depan. Mungkinkah si Kelelawar Buduk? Sejak pagi tadi, dia telah meninggalkan tempat ini. Dan katanya akan kembali esok hari. Tapi tidak mungkin. Dia tidak perlu mengendap-endap seperti ini. Atau..., pandangannya yang mungkin salah karena dibayangi letih?
Srak!
Pandan Wangi semakin yakin kalau saat ini pandangan serta firasatnya tidak salah, saat beberapa sosok tubuh melompat ringan dan menghilang di semak-semak halaman depan. Perlahan ditutupnya pintu. Lalu dia mengawasi keadaan sekitarnya dari dalam.
"Hm.... Mereka telah mengepung tempat ini. Kurang ajar! Ternyata kecurigaanku tadi pada si orang tua kini terbukti!"
Tiga orang laki-laki setengah baya melompat ke tengah halaman dan berdiri tegak. "Kipas Maut, keluarlah kau! Berikan si Pendekar Rajawali Sakti pada kami. Kalau tidak, kalian tak akan selamat!" teriak salah seorang.
"Sial! Dia kira bisa berbuat seenaknya padaku! Huh!" dengus gadis itu geram.
"Kipas Maut! Kami menghitung sampai tiga. Jika kau tidak keluar bersama Pendekar Rajawali Sakti, maka jangan salahkan kalau kami akan bertindak kejam pada kalian!" teriak orang tadi.
Pandan Wangi masih membisu. Dan sesaat, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kalau menyahut, maka sudah dipastikan tuduhan mereka benar, kalau dirinya adalah si Kipas Maut. Dan di sini, dia bersama Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kalau diam saja, apa yang akan dilakukan? Gadis ini tidak perlu berpikir panjang. Mendadak beberapa buah obor melayang ke atap gubuk ini. Pandan Wangi terkesiap. Mereka hendak membakar gubuk ini, dan sekaligus hendak memanggang mereka. Celaka!
Pandan Wangi memburu ke kamar. Namun ternyata Pendekar Rajawali Sakti telah tak ada di tempatnya. Sementara api menyala cepat. Gadis ini mulai blingsatan ketika mencari-cari ke belakang. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap tanpa bekas di seluruh ruangan ini. Sambil berteriak marah, gadis itu melompat keluar menerjang kobaran api.
"Keparat busuk! Kalian rupanya ingin mampus semua. Yeaaa...!"

***

147. Pendekar Rajawali Sakti : Tongkat Sihir Dewa ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang