BAGIAN 4

260 13 0
                                    

Pandan Wangi membiarkan Pendekar Rajawali Sakti sambil memandang dengan wajah cemas. Kini Rangga duduk bersila untuk mengatur pernafasannya dengan kedua kelopak mata terpejam. Dengan sabar Pandan Wangi menunggu sambil mengawasi keadaan di sekelilingnya.
"Pandan."
"Eh, Kakang Rangga.... Kau merasa sudah lebih baik?" sahut Pandan Wangi cepat berbalik. Segera dihampirinya pemuda itu.
"Keadaanku belum pulih betul," sahut Rangga disertai anggukan kepala.
"Kita harus mencari tempat lain yang lebih aman, Kakang!" kata gadis itu gelisah.
"Ya.... Tapi ke mana?"
"Tidakkah lebih baik kalau kita ke Karang Setra?" Pandan Wangi agak ragu. Perasaan gembira dalam hatinya karena yakin kalau Rangga telah pulih seperti sediakala, mendadak menjadi keraguan ketika melihat pemuda itu terdiam seperti sedang berpikir keras.
"Kenapa, Kakang? Kau..., kau masih belum ingat segalanya?" lanjut gadis itu hati-hati.
Rangga masih terdiam. Kemudian perlahan-lahan dipandangnya gadis itu dan tersenyum. "Aku..., mulai ingat, siapa kau sebenarnya."
"Benarkah?! Oh, Kakang Rangga! Aku gembira sekali!" seru Pandan Wangi girang dengan wajah berseri. Kemudian tanpa sadar dipeluknya pemuda itu erat-erat untuk menumpahkan perasaan harunya.
"Pandan! Kalau kau peluk aku kuat-kuat begini, tubuhku bisa remuk. Aku...."
"Oh, maaf Kakang! Maafkan aku.... Aku begitu gembira melihat keadaanmu sekarang!" seru gadis itu, seraya melepaskan pelukannya.
"Aku seperti baru terbangun dari mimpi buruk yang amat menakutkan. Apakah kau mengetahuinya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Banyak hal yang telah menimpamu belakangan ini," sahut Pandan Wangi, lesu.
"Maukah kau menceritakannya padaku? Kehadiran mereka membuatku bingung, meski sedikit banyak aku bisa mengerti."
"Kakang.... Aku akan menceritakannya padamu, seperti apa yang kudengar selama ini. Yaitu mengenai sepak terjangmu. Namun sebelum itu, kita harus segera menyingkir dari sini. Aku khawatir, mereka kembali dengan membawa tokoh silat lainnya dalam jumlah banyak," ujar Pandan Wangi seraya membantu pemuda itu untuk bangkit.
"Apakah kita akan ke Karang Setra?"
"Kurasa..., ng, tidak usah. Kita akan mencari tempat yang aman saja lebih dulu!"
"Ke mana?"
"Entahlah. Nanti akan ku pikirkan dalam perjalanan."
Tapi baru saja mereka melangkah dua tindak, mendadak sesosok tubuh muncul di depan. Pandan Wangi cepat bersiaga. Namun ketika mengetahui siapa yang datang, dia menghela napas lega.
"Tidak apa-apa, Kakang. Dia si Kelelawar Buduk yang telah ikut membantuku menyelamatkanmu ketika dalam pengeroyokan," jelas Pandan Wangi. Orang yang baru muncul memang tidak lain si Kelelawar Buduk. Wajahnya tampak lega ketika melihat keduanya tidak kurang suatu apa pun.
"Syukurlah kalian tidak apa-apa."
"Bukankah kau katakan akan kembali esok hari?" tanya Pandan Wangi
"Eh! Aku memutuskan untuk melihat keadaan kalian, ketika mendengar beberapa tokoh persilatan menuju tempat ini dengan membawa sejumlah murid yang cukup banyak," sahut si Kelelawar Buduk.
"Dari mana kau mendengar berita itu?" tanya Pandan Wangi.
Si Kelelawar Buduk tersenyum. "Kipas Maut... Kau mencurigaiku?" tanya laki-laki gembel itu dengan nada sinis.
"Maaf, Kelelawar Buduk. Kau adalah adik seperguruan Ki Polong. Bagaimana aku tidak curiga?" sahut Pandan Wangi, tanpa basa-basi.
"Hm, memang beralasan. Tapi rasanya terlalu berlebihan. Sebab kalau memang hendak berniat jahat, rasanya aku tidak perlu membantumu menyelamatkan si Pendekar Rajawali Sakti dari kepungan mereka!" Kata si Kelelawar Buduk tandas.
Gadis itu terdiam beberapa saat kemudian. Apa yang dikatakan si Kelelawar Buduk memang benar. Tapi bukan berarti Pandan Wangi bisa percaya begitu saja.
"Kelelawar Buduk.... Sampai saat ini, sebenarnya aku tidak habis pikir. Apa untungnya kau membantuku menyelamatkan Pendekar Rajawali Sakti? Bukan aku tidak tahu berterima kasih. Tapi semula kau hendak membunuhnya. Dan kini, berbalik. Apa sebenarnya yang kau inginkan?"
"Bukankah sudah kukatakan, aku tidak ingin mereka kesalahan tangan? Aku tahu, Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh jahat. Dan kalaupun sampai melakukan kejahatan, tentu bukan karena kemauannya sendiri. Apakah tidak cukup alasan kalau aku ingin menyelamatkannya? Apalagi setelah kini terbukti bahwa dia sebenarnya tidak ingat siapa dirinya. Bukankah alasanku benar? Sudah kukatakan pula, aku memang bukan orang baik-baik. Tapi aku bisa membedakan, mana yang harus kulakukan dan mana yang tidak," sahut si Kelelawar Buduk menjelaskan dengan nada kesal.
"Pandan Wangi, kenapa kau mencurigai orang yang bermaksud baik pada kita? Sudahlah, aku bisa merasakan akan kebenaran kata-katanya," kata Rangga. Pemuda itu kemudian berpaling pada si Kelelawar Buduk, lalu tersenyum. "Kisanak! Aku mengucapkan terima kasih atas bantuanmu. Maafkan Pandan Wangi. Dia memang terlalu besar curiga pada orang lain."
"Tidak apa. Aku bisa memahami, melihat usianya yang masih muda. Hm, aku menyesal gubuk ini terbakar. Tapi di sini pun sudah tidak aman lagi. Sebaiknya kita mencari tempat lain yang lebih aman."
"Ya, aku pun berpikir begitu. Hanya sedang bingung, ke mana kita harus bersembunyi?"
"Aku punya tempat yang aman. Kalau kalian suka, biar kuantarkan!"
"Terima kasih, Kelelawar Buduk. Kami akan suka sekali," sahut Rangga cepat.
Sama sekali tidak di indahkannya kedipan mata Pandan Wangi dengan wajah cemberut menahan kesal. Gadis itu sebenarnya tidak setuju. Namun Rangga sepertinya tidak mengindahkannya. Sehingga dengan menahan kesal, terpaksa diikutinya langkah mereka berdua.
Sejak lolosnya Pendekar Rajawali Sakti, serta terbakarnya beberapa buah barak tempat tinggal para murid, Ki Polong merasakan perlunya meningkatkan kewaspadaan. Terlebih lagi, kini mereka menawan seorang anak buah Ki Netra Buana yang bernama Sarti. Meski beberapa tokoh beranggapan kalau Ki Netra Buana tidak akan mengirimkan anak buahnya yang Iain untuk menyelamatkan gadis itu, tetap saja mereka curiga. Terlebih lagi, baru saja Sarti menyatakan akan memberitahu di mana sarang Ki Netra Buana. Mereka pun bertekad untuk tidak lagi kecolongan seperti peristiwa penyerangan terhadap Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, penjagaan di Padepokan Kalong Wetan demikian ketat. Belakangan ini beberapa padepokan silat ternama telah bergabung di dalamnya. Sehingga tidak heran bila jumlah tokoh persilatan di dalamnya amat banyak. Seperti yang terlihat malam ini. Semua tembok di sekeliling padepokan terlihat dua sosok tubuh yang menyelinap ke arah padepokan itu. Dua sosok ini melayang ringan ke salah satu cabang pohon terdekat, sambil mengawasi keadaan di padepokan itu. Lalu salah seorang berkelebat ke kiri, sedang kawannya melayang ke kanan. Tak lama, mendadak terdengar jerit kematian. Dua orang penjaga roboh dan tewas dengan leher patah.
"Kurang ajar! Perbuatan siapa ini?!" teriak salah seorang penjaga lainnya. Orang itu berteriak nyaring, sehingga membuat kawan-kawannya yang berjaga-jaga segera membantu dan menghampirinya.
"Aaa...!"
"Heh?!"
Kembali mereka dikejutkan teriakan dari arah kanan. Beberapa orang berlarian sambil berteriak kalang kabut.
"Gajul dan Dewo mati!" teriak seseorang.
"Kurang ajar! Cepat bersiaga. Dan tangkap mereka yang mencurigakan! Ayo kalian jangan menjadi gugup!" Teriak seorang tua yang bernama Ki Suyatna. Ki Suyatna baru saja keluar dari bangunan utama, ketika mendengar kekacauan itu. Beberapa orang kawannya menyusul. Dalam keadaan begitu, mendadak kembali terdengar pekik kematian Lima orang kembali roboh dengan tubuh terjungkal laksana dihantam badai topan.
"Keparat!" desis Ki Suyatna geram. Langsung tubuhnya mencelat ke atas tembok pagar dan mengawasi ke sekelilingnya. Namun tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Di luar tetap sepi dengan angin bertiup semilir.
"Bagaimana, Ki Suyatna?" tanya seorang laki-laki tua lain ketika orang tua itu menjejakkan kedua kakinya di halaman depan padepokan.
"Tidak ada apa-apa. Di luar sepi...," sahut Ki Suyatna dengan wajah geram.
"Hm.... Agaknya ada orang yang hendak bermain kucing-kucingan dengan kita!"
"Benar, Ki Prayoga!"
"Siapa kira-kira menurutmu?" Tanya kawannya yang bernama Ki Prayoga.
"Entahlah. Aku tidak bisa menduganya."
Mereka segera kembali ke dalam, setelah memberi perintah untuk membereskan orang-orang yang tewas. Langkah mereka terhenti, ketika di pintu depan terlihat Ki Polong dan tiga tokoh utama yang mendatanginya berdiri tegak memperhatikan, bersama tokoh-tokoh silat lainnya.
"Ki Suyatna dan Ki Prayoga! Apa yang kalian dapatkan...?" tanya Ki Walang Ijo.
"Agaknya ada musuh yang sengaja menakut-nakuti kita, Ki...," sahut Ki Suyatna.
"Apakah kau melihatnya?"
Ki Suyatna menggeleng lemah.
"Hm.... Berapa orang yang menjadi korban?" tanya salah satu tokoh utama yang bernama Ki Gempar Persada.
"Entahlah, Ki. Mungkin sembilan, atau dua belas." Mereka terdiam sesaat.
"Menurutku, pelakunya pasti si Pendekar Rajawali Sakti!" Kata Ki Polong membuka pembicaraan, dengan nada penuh keyakinan.
"Kurasa bukan," sahut Nyai Kati.
"Kenapa tidak, Nyai?"
"Bocah itu tidak mungkin melakukannya. Kalau dia ingin balas dendam, maka akan dilakukan secara terang-terangan."
"Huh! Mana mungkin dia berani!"
"Bukan begitu, Ki Polong. Tokoh sepertinya, tidak berbuat seperti ini. Ini perbuatan pengecut!"
"Apa bedanya? Toh, bukankah pemuda itu pun seorang pengecut?!" sahut Ki Polong, menahan kesal.
Wanita tua itu memandangnya dengan wajah heran. "Ki Polong! Ada apa denganmu? Apa kau ingin berdebat denganku? Bukankah kita sedang menduga, siapa pelaku peristiwa barusan? Menuduh seseorang harus punya dasar. Bukan oleh perasaan marah pada seseorang. Meskipun kau kesal pada si Pendekar Rajawali Sakti, hendaknya berpikirlah secara jernih."
"Maafkah aku, Nyai. Aku memang terbawa amarah oleh ulah pemuda itu," desah Ki Polong.
"Ada baiknya kita bicara di dalam," ajak Ki Gempar Persada.
"Ya, benar. Mari, Kisanak semua!" Ajak Ki Polong.
Ki Polong bersama lebih sepuluh orang tokoh persilatan yang berkumpul di tempatnya, masuk ke dalam untuk melanjutkan pembicaraan di ruang tengah yang berukuran besar. Ki Polong sengaja menata meja dan bangku berbentuk lingkaran, sehingga mereka bisa saling berhadapan.
"Maafkan aku, Kisanak semua. Hatiku memang dikuasai amarah. Karena ulah Pendekar Rajawali Sakti, aku banyak kehilangan sahabat dekat ku," ujar Ki Polong lemah, mengulang kata-katanya ketika mereka telah berkumpul.
"Ki Polong.... Bukan hanya kau saja yang sedih. Semua yang berada di sini kurasa ikut berduka atas kematian sahabat-sahabat kita di tangan pemuda itu. Namun kita harus ingat. Di belakang semua ini adalah Ki Netra Buana. Kita tidak boleh melupakannya dengan memusatkan perhatian terhadap si Pendekar Rajawali Sakti. Sebab ancaman terhadap kita sudah jelas datangnya dari si Netra Buana. Maka orang itulah yang patut dicurigai," kata Nyai Kati, bernada bijak.
Ki Polong terdiam seraya mengangguk pelan.
"Apa yang dikatakan Nyai Kati memang benar. Kita tidak boleh melupakan si Netra Buana begitu saja. Sebab sesungguhnya orang itulah musuh kita yang sebenarnya. Ada pun Pendekar Rajawali Sakti merupakan salah satu caranya saja, untuk membalaskan dendamnya terhadap kita," timpal Ki Walang Ijo.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah kita hanya menunggu dan terus menunggu, apa yang mereka lakukan terhadap kita?" Tanya orang yang bernama Ki Pintur Gumelar.
"Tenanglah, Ki Pintur. Bukankah kita punya rencana untuk esok hari?" Sahut Nyai Kati, halus.
"Kenapa kita harus menunggu sampai esok hari? Bukankah kita bisa bergerak sekarang?" Tanya Ki Pintur Gumelar, bernada tidak sabar.
"Apa yang dikatakan Ki Pintur Gumelar benar!"
Bela seorang pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Namanya, Ki Jaka Gedong. Kehadirannya di tempat ini untuk mewakili gurunya, yaitu Ki Tambak Ireng yang telah berusia lanjut dan sakit-sakitan.
"Kenapa kita harus mengalah pada gadis itu, dan menuruti kemauannya? Dia telah berada dalam genggaman kita. Seharusnya, kita paksa saja dia untuk menjelaskan di mana sarang si Netra Buana!"
Nyai Kati tersenyum seraya mengalihkan pandangan pada pemuda itu. "Jaka Gedong. Jika kau tertawan musuh dan musuh menginginkan sesuatu di bawah suatu ancaman berat, apa yang kau lakukan? Memberikan apa yang diminta musuhmu, sementara tak ada jaminan kalau nyawamu akan diselamatkan?"
Mendengar itu, Jaka Gedong terdiam tidak bisa menjawab. Dalam hati, dia membenarkan apa yang dikatakan wanita tua itu.
"Syukurlah kalau kau bisa mengerti. Demikian juga gadis itu. Meski kita sudah menjamin keselamatannya, tetap saja dia belum merasa yakin. Untuk itulah dia menawarkan syarat."
"Baiklah.... Kita lanjutkan pembicaraan. Kurasa, Jaka Gedong telah mengerti, kenapa kita tidak bisa memaksa gadis itu untuk bicara. Dia akan memberitahukannya esok hari. Dan kita berangkat bersama-sama dengannya. Yang akan kita lakukan saat ini adalah, melewati malam ini. Kejadian tadi bisa sebagai isyarat kalau jalan yang akan kita hadapi tidak akan mudah," ujar Ki Gempar Persada.
"Aku telah memerintahkan mereka untuk berjaga lebih ketat lagi," sahut Ki Suyatna.
"Hm.... Dengan caranya menyelinap seperti itu, tentu mudah sekali baginya untuk mengecoh mereka. Bukankah sebaiknya kita pun berjaga-jaga bersama mereka," kata Ki Walang Ijo memberi usul.
"Hm.... Baiklah kalau memang demikian. Malam ini, kita semua berjaga-jaga," sambut Ki Polong, dan disetujui yang lainnya.
"Aku ada pertanyaan buatmu, Ki Polong? Aku tidak melihat kehadiran Ki Blauran, Ki Sampang Giro, serta Ki Pendet? Ke mana mereka sebenarnya? Apa mereka memang tidak bisa memenuhi undanganmu lagi?" Tanya Nyai Kati dengan wajah heran.
"Mereka baik-baik saja, Nyai. Dan tentu saja mereka dengan senang hati membantu. Hanya kali ini, mereka punya pikiran lain?"
"Apa maksudmu?"
"Mereka bermaksud menyelidiki, ke mana kini si Pendekar Rajawali Sakti berada," jelas Ki Polong.
"Hm, bagus! Lalu, apakah kini sudah mendapat hasil?"
"Belum. Namun aku percaya. Mereka adalah orang-orang gigih dan memiliki banyak akal. Mereka pasti menemukan pemuda itu!" sahut Ki Polong, bernada yakin.
"Apakah mereka hanya pergi bertiga?"
"Tidak. Masing-masing ditemani beberapa orang murid."
"Hm, entahlah. Aku punya dugaan, mereka melakukan pekerjaan yang sia-sia. Namun begitu, tentu saja sangat kuhargai usaha mereka," gumam Nyai Kati sambil tersenyum.
"Sudahlah. Lebih baik kita keluar sekarang. Jangan sampai kita kecolongan lagi seperti tadi."
Mereka segera beranjak. Dan saat itu juga, seorang murid Ki Polong masuk tergopoh-gopoh. Wajahnya pucat dengan napas memburu.
"Gum! Di..., di luar ada...."
"He! Hei! Coba tenangkan dirimu. Ambil napas dalam-dalam, lalu ceritakan apa yang hendak kau katakan pada kami!" potong Ki Polong.
Murid itu mengatur pernafasannya. Dan sementara itu, beberapa tokoh silat lain telah menghambur keluar untuk melihat apa yang terjadi. "Me..., mereka kami dapati tewas di luar pintu gerbang...!" kata murid itu setelah nafasnya agak lega.
"Apa?! Apa maksudmu...?!" tanya Ki Polong kaget.
"Ki Blauran, Ki Sampang Giro, dan Ki Pendet! Mereka tewas beserta murid-muridnya. Dan kami temukan berada di dalam gerobak yang penuh ceceran darah!" jelas murid itu.
Ki Polong tidak menunggu sampai murid itu selesai melapor. Bersamaan dengan yang lain, dia langsung menghambur keluar untuk melihat sendiri apa yang telah terjadi. Apa yang diceritakan murid tadi memang benar. Mereka melihat sebuah gerobak berukuran agak besar, dipenuhi mayat-mayat yang saling bertumpuk. Bau anyir darah langsung menebar di tempat itu.
"Biadab! Siapa yang melakukan perbuatan ini?!" desis Ki Polong geram.
"Hm, pasti Pendekar Rajawali Sakti!" tuduh Ki Jaka Gedong cepat.
Namun tiba-tiba ...
"Hahaha...! Orang-orang tolol. Apakah kalian sudah menerima kiriman khusus dari kami?!"
Mendadak terdengar suara tawa yang berkumandang, seperti berasal dari sekeliling tempat ini. Ki Polong segera memerintahkan murid-muridnya untuk bersiaga. Sementara para tokoh silat lainnya langsung melompat mengejar, ketika melihat dua sosok tubuh berkelebat ringan seperti hendak memancing mereka agar mengejar.
"Itu dia! Tangkap! Ayo, kejar mereka...!" teriak seseorang memberi perintah.
Ajakan itu disambut dengan suara gegap gempita. Sehingga ketika Nyai Kati dan kedua kawannya berteriak mencegah, mereka sama sekali tidak menggubris.

***

147. Pendekar Rajawali Sakti : Tongkat Sihir Dewa ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang