Chapter 1

87 11 2
                                    

Perempuan itu sama sekali tidak melemparkan pertanyaan saat Amara—gadis cilik berusia delapan tahun—, membawa sesosok boneka laki-laki kayu hidup ke dalam kastil.

Dia jelas tak sudi ambil pusing. Apa saja boleh dilakukan dengan syarat, tidak mengotori kastilnya.

Soalnya, kekasihnya merupakan seorang maniak kebersihan. Bisa jadi bencana kalau pria itu tiba-tiba bertandang saat keadaan kastil luluh lantak.

"Bukankah dia menarik, Kak?"

Ayumi tak buru-buru menjawab. Dia hanya memandangi halaman dari jendela kamarnya seraya menopang dagu, kemudian menggerakkan mata hazel berkilaunya, melirik malas sesaat. "Siapa yang sedang kamu bicarakan?"

"Pinokio," jawab Amara antusias. Gadis cilik berambut pirang itu mendudukkan diri di tepi ranjang, memandang sang wali dengan mata berbinar. "Dia adalah batang pohon yang diberkati ibuku."

"Memangnya kamu tahu dari mana kalau boneka laki-laki itu diberkati Demeter?" Ayumi menanggapi tanpa minat.

"Beberapa waktu lalu ibuku mengirim pesan lewat Dewi Iris. Dia bilang seseorang akan datang, aku harus menolongnya."

Ayumi geming untuk beberapa sekon di sana, tak buru-buru menanggapi—sejujurnya dia hanya malas—, wajah ayunya kelihatan bosan setengah mati. Perempuan itu bahkan tak merasa terusik meski rambut panjangnya yang tergerai indah bergerak tak tentu karena tertiup angin. "Kamu menolong karena terpaksa?"

Menggeleng, si gadis pirang menyahut lugu, "Mengingat Kakak membenci kaum dewa-dewi membuatku berpikir berkali-kali untuk memenuhi perkataan ibu. Tetapi, boneka kayu itu akan mati sia-sia kalau aku tak melakukannya. Jadi, aku memutuskan menolongnya."

"Kamu menolongnya karena keinginan sendiri?" Perempuan bersurai legam itu bertanya tanpa emosi.

Amara mengangguk singkat. "Tentu. Sekarang bocah itu sedang tak sadarkan diri di ruanganku. Mungkin beberapa menit lagi dia akan sadar," sahutnya tenang.

Tidak ada respons berarti. Ayumi hanya menatap lurus pada halaman kastilnya yang dipenuhi pepohonan rimbun serta bunga-bunga cantik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan itu menggenggam kebencian mutlak untuk kaum abadi.

Bukan hal mengejutkan, namun tetap tak patut untuk ditiru. Amara tahu perempuan itu telah melewati banyak hal mengerikan, jadi dia memaklumi meski terkadang tak tahan untuk menyeletuk perihal kegilaan sang wali.

Kendati begitu, gadis pirang keturunan Demeter itu tahu persis bahwa Ayumi masih memiliki kewarasan dan kebaikan dalam dirinya. Meski presentasenya sangat kecil, sih.

Buktinya, dulu dia menyelamatkan Amara dari serangan Chimera yang nyaris menerkam dan mencabik tubuhnya. Peristiwa itu terjadi beberapa tahun lalu, saat dia dibuang oleh orang tua manusianya, sehingga bikin gadis itu jadi gelandangan yang jadi incaran monster-monster kelaparan.

Sesaat setelah mengetahui hal tersebut, Ayumi tanpa pikir panjang membawanya ke kastil. Perempuan itu membesarkan Amara bersama sang kekasih. Keduanya merawat Amara dengan baik, mereka memberinya afeksi berlimpah, kehidupan layak, juga mendidiknya sehingga menjadi seorang Demigod yang cerdas, tangguh, nan anggun.

"Bagus. Aku bangga padamu."

Amara merespons dengan sebait senyum lebar sesaat setelah Ayumi mengucapkan kalimat tanpa intonasi berarti barusan. Si gadis cilik memandang tenang, mengamati perempuan surai legam yang tubuh rampingnya terbalut dress berwarna biru laut.

"Ngomong-ngomong, kapan dia kembali? Apa sudah ada kabar?" Amara mengerjap dua kali sebelum mengimbuhkan, "Aku rindu berlatih pedang bersamanya."

Ayumi spontan menahan napas, kalimat yang baru didengar membuat tenggorokannya tercekat. Dia mengeraskan rahang saat merasakan sesak mulai menjalar. Getir dan pilu yang sudah lama menggumpal di dasar hatinya kian lama membesar, sampai rasanya ingin menangis meraung-raung karena sakitnya bukan main.

Meski kerinduan terhadap sang kekasih kian merepotkan dan bikin hampir gila, mana mungkin dia menunjukkan kegalauannya di hadapan seorang bocah.

Apalagi fakta mengenai ketidaktahuannya mengenai kondisi sang kekasih saat ini membuatnya frustasi. Ayumi tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak, apakah dia makan dengan baik atau tidak, apakah dia terluka atau tidak. Tak seorang pun tahu meski dua tahun sudah berlalu.

Mendengkus pelan, perempuan itu kemudian berdiri tegak. Amara dapat menangkap sorot sedih dalam netranya, tetapi perempuan itu malah tersenyum seraya melangkah mendekat dan duduk di sampingnya.

Ayumi acap kali bertingkah dingin dan irit bicara. Kendati begitu, Amara merasa perempuan itu hangat dengan caranya sendiri. Tetapi, dia merasa belakangan sang wali menjadi semakin jauh.

Lalu di sana, ketika menyadari Amara mendadak murung, Ayumi mengelus lembut kepalanya. "Kita tunggu sebentar lagi, ya? Aku juga merindukannya, tahu."

Ayumi tersenyum simpul. Dia betulan rindu melihat mata tajam pria itu. Raut malas yang acap kali diperlihatkan kepada banyak orang, rahang tegasnya, juga kedua alis tipis yang kerap kali bertaut tidak suka ketika Ayumi menggodanya terlalu jauh, dan sensasi kala menggigit hidung bangir sang kekasih hingga si korban mengerang tertahan. Senyum tipis yang terbentuk dari bibir manis kekasihnya, kalimat-kalimat pedas yang ditujukan kepadanya karena tindakan bodohnya, Ayumi merindukan semuanya.

"Aku ingin kalian cepat menikah supaya bisa kupanggil sebagai orang tua resmiku."

"Calon ayahmu itu pria hebat, Amara. Dia seorang prajurit yang diandalkan untuk menjaga perdamaian. Pria itu berhati besar walau sedikit menyebalkan, sih. Aku agak khawatir kalau memintanya menikahiku hanya akan membuatnya pusing. Dia sering bepergian, hal itu juga harus dipertimbangkan matang-matang." Ayumi menjelaskan dengan suara lembut menenangkan.

Sementara si gadis mengerjap lugu, memandang tak mengerti. "Mengapa? Kalian saling mencintai, 'kan? Sebelum hidup bersamamu, aku ini hidup di dunia yang keras, Kak. Aku tahu pondasi terkuat dari pernikahan adalah cinta."

"Tidak, Amara. Jauh lebih rumit daripada itu. Dia seorang prajurit, kamu tidak tahu dia telah kehilangan apa dan siapa, seseorang seperti itu akan sulit untuk-"

"Untuk apa?"

Terkesiap, keduanya spontan menoleh ke sumber suara, kompak menahan napas ketika menemukan presensi pria jangkung tengah memandang tenang dari ambang pintu.

Berdehem singkat, Amara buru-buru berdiri dari tempat, beranjak pergi setelah berujar, "Aku akan mengurus tamuku." Meninggalkan Ayumi yang kini berdiri dan memandang pria di ambang pintu dengan sebait senyum manis.

Pria itu melangkah masuk sepeninggalan Amara. Tangannya meraih pinggang Ayumi, merangkul mesra. Kedua netra indahnya memandang penuh kasih. Dia tersenyum tipis, satu tangannya bergerak menyelipkan anak rambut sang kekasih ke belakang telinga, kemudian menangkup dan mengelus pipi kanan Ayumi dengan lembut menggunakan tangan kirinya. "Ayo hidup abadi bersamaku," ajaknya tenang.

Si gadis memandang lawan bicaranya dengan ekspresi tak terarti. "Apa maksudmu?"

Tersenyum tipis, si pria memajukan wajah, mengecup bibir lembut, singkat. Dia terkekeh pelan waktu melihat kekasihnya mematung. Tangan kekarnya bergerak menangkup kedua pipi bening Ayumi. Menyeringai, pria itu berbisik tepat di cuping telinga kekasihnya dengan suara serak menggoda, "Mari menikah dan menetap bersamaku di Olympus."

Quintessential [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang