First Impression

325 12 7
                                    

"Ini apa? Ini dan ini!" Wanita itu berang menunjukkan laporan yang telah ia periksa. "Baca!" Ia menghela napas kasar.

Sekuat tenaga ia—Putri—menahan emosi agar tidak  meluapkan kekesalannya saat menunjukkan laporan itu.

"Ma-maaf, Bu," jawab keduanya terbata.

Mahasiswa di depannya pun hanya tertunduk pasrah. Mereka tahu dosen yang sedang dihadapi saat ini tegas, disiplin, dan tidak mentorelir segala bentuk plagiarisme. Berurusan dengan  pencabut ketenangan para mahasiswa itu sama saja bencana dan kini mereka terdampar di ruangan yang sama.

"Sudah tau, kesalahan kalian apa?" 

Mereka kompak mengangguk.

"Terus, tunggu apa lagi? Keluar!" usirnya kemudian.

Putri bersandar, menarik napas panjang dan mengembuskannya lelah. Sudah tak terhitung   laporan copy paste yang sudah ia periksa. Budaya ini sepertinya sudah menjadi warisan turun-temurun pantang untuk dilanggar, memudahkan saat dilakukan, tentu saja jika tak ketahuan. Akses yang begitu menarik menuju pintu kesuksesan, versi mereka.

Sembari mengatur napas, ia memejam untuk mendinginkan otak yang mendidih. Namun, beberapa saat kemudian ia teringat akan sesuatu.

"Oh, shit!"

Bergegas wanita itu beranjak menuju ruangan seseorang.  Langkah yang terburu-buru hampir saja membuatnya terjatuh jika tak ditarik.

Semua terasa cepat, tangan Putri sontak  memegang kuat lengan seseorang dengan mata terpejam. Tubuhnya ikut terasa melayang. Menyadari itu, Putri membuka mata dan berserobok dengan mata bak elang milik seorang laki-laki yang menatapnya lekat.

Ditatap sedekat itu, membuat wajahnya tiba-tiba  memanas. Degup jantungnya ikut berdebar kencang.

"Cantik." Pujian itu terdengar samar di telinga, pun dengan tangan kokoh yang masih merangkul pinggangnya. 

Putri lalu menyadari, posisi mereka saat ini justru menguntungkan bagi laki-laki itu dengan sigap ia menarik diri.

"Hampir saja, lagian siapa juga sih yang minum sampai berceceran seperti ini," cibirnya cukup  kesal.

Saat Putri tersadar adanya orang lain, wanita  itu merutuki ucapannya.

Sadar, tengah jadi objek mata si laki-laki beralis samurai itu. Ia menjadi sedikit kesal. Sekilas matanya memindai penampilan orang itu, cukup formal untuk ukuran seorang mahasiswa. 

"Sebelumnya, terima kasih atas bantuannya," ujar Putri kemudian.

Sesaat Putri menunggu respons dari lelaki tersebut. Nihil.

Tak ingin terus-menerus dipandang, ia memilih beranjak dari tempat itu. Abai dengan laki-laki yang masih setia berdiri di sana. 

"Kamu akan jauh lebih cantik, Bu." Langkah Putri terhenti. "Jika tersenyum." Tangannya mengepal mendengar kalimat terakhir.

Namun, saat ingin menegur ketidaksopanan laki-laki yang baru saja membuat harinya semakin menyebalkan, ia tak melihat siapa pun lagi di sana.

Putri mengumpat dalam hati, ternyata laki-laki itu sudah pergi. Namun, saat akan kembali melangkah mendadak ia merasakan ada yang aneh dengan perutnya. Dan sekarang ia menjadi bingung antara melangkah ke ruangan Pak Dekan atau tidak.

***

Putri merapikan rambut yang sedikit berantakan itu di depan pintu, menarik napas dan mengembuskannya pelan.

Sebenarnya, ia tidak enak hati selain tidak tepat waktu, Putri juga harus berurusan dulu dengan lelaki aneh, dan yang paling mendesak serta tak bisa ditunda lagi yaitu panggilan alam tiba-tiba datang. Maka terdengar sempurna lah rentetan alasan kesialannya kali ini. 

Dosen CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang