Beliau

24 3 0
                                    

"Assalamualaikum, Ning."

Sudah berulang kali salam menyapa Biru pagi ini. Ia kembali tidak bersekolah. Ia ingin menenangkan diri dan memulihkan kondisinya kembali. Setelah kejadian kemarin banyak hal yang membuat dirinya harus berpikur keras. Setidaknya mengurangi beban gangguan yang harus ia rasakan.

Teman pesantren putri selalu bisa menenangkan hatinya yang resah. Berdiam memandang bunga yang beraneka. Pohon mangga yang rimbun, memberikan tempat yan sejuk untuk ditunggu. Sejenak matanya terpejam. Menikmati udasa yang membelai wajah ayunya.

"Aisy! Sedang apa, nduk?"
Suara abah seketika menghentikan aktivitasnya. Ia mengerjap beberapa kali sebelum menjawab sang abah. Iya. Aisy adalah nama familiar Biru di pondoknya.

"Aisy tadi ingin jalan-jalan, Bah. Sekaligus mutolaah yang kemarin."

"Aisy, ada hal yang ingin diceritakan?" Tanya abah membuat Aisy bergeming. Abahnya selalu tahu gulana yang membebani putra putrinya. Tapi, ia tidak boleh lemah. Ia harus menjaga perasaan abahnya. Abah terlalu banyak pikiran dan Aisy tidak boleh menambahnya lagi. Begitu pikirnya.

"Abah sebenarnya lebih suka memanggil Aisy atau Biru? Kemarin Biru sekarang Aisy. Aisy jadi merasa dua orang yang berbeda. Hhhe."

Abah tahu. Aisy sedang mengalihkan topik. Demi menyenangkan hati putrinya beliau mengikuti alur yang ingin di buat Aisy.

"Keduanya sama-sama bagus, kan. Siti Aisyah adalah perempuan mulia. Beliau cerdas luar biasa. Haus akan ilmu. Bahkan beliau selalu bertanya kepada rasulullah. Sedangkan birru artinya kebaikan. Jadi, sekarang penginnya dipanggil Biru atau Aisy?

"Aisy suka keduany, Bah. Jadi, terserah abah saja. Lagian disini Aisy dan Biru tidak ada yang menyamai. Hehehe."

"Aisy kenal dengan Kyai Husain? Sahabat Abah yang dulu pernah ke pasuruan bareng itu?"

Biru mencoba mengingat nama yang tak asing itu. Namun, ia gagal mengingat wajah beliau. Ia hanya mengingat sebuah cerita yang disampaikan abahnya.

"Aisy lupa, Bah. Tapi Aisy mengingat cerita itu. Di pondok Kyai Husain adalah santri yang tawadlu'. Beliau ramah kepada siapapun. Bahkan saat akan mencuci beliau selalu menanhai temannya apakah ada yang ingin menitip. Tidak ada seorang santri pun yang tahu identitasnya kecuali abah. Abah membantu beliau karena kebetulah abah dan kyai Husain sahabat sejak kecil. Beliau sering menolak dan abah sering mamaksa. Bukankah begitu, Bah?"

Abah tersenyum penuh arti. Sesekali memandang langit. Seakan nostalgia dengan masa lalu yang mungkin dirinduinya. Abah kembali memandang Aisy. Dielusnya puncak kepala sang putri itu. Tatapan beliau selalu menyejukkan. Memberi rasa aman untuk siapun yang memandangnya.
Aisy jadi merasa bersalah telah membuat abahnya khawatir kepadanya.

"Abah tidak usah khawatir sama Aisy. Aisy sudah besar. Ada kak Royan juga yang selalu menjaga Aisy kalau di sekolah. Abah ingat tidak? Abah selalu berpesan kepada Aisy untuk belajar prihatin. Sekarang Aisy dalam tahap belajar, jadi abah tidak perlu lagi khawatir dengan Aisy."

Abah mengangguk. Keduanya masih terdiam di taman. Menekuri pikiran masing-masing.

******

Rohman

Ada apa dengan diriku saat ini. Kenapa seperti ada sesuatu baru yang hadir. Bahkan mencuri lebih banyak waktuku. Bayangan itu. Kenapa aku selalu menikmati bayangan itu. Bahkan ia hanyalah semu diantara nyata. Ketidak mungkinan diantara kemungkinan.

Nama itu terngiang bebas disetiap sudut ruangan tempat ku berada. Pasuryan itu menyesaki setiap sisi pikiranku. Pasti ada kesalahan disini.

Besar keinginan untuk meniadakan. Namun, mungkin ia sudah merebak menuju kecanduan. Pikirku terkadang sadar, ada yang telah memilikinya. Ia telah berstempel yang lebih indah dan lebih baik.

Ketidak mungkinan yang kembali melejit hingga tak mampu kusebut namamu diluar do a.

"Jika kamu menginginka n sesuatu, maka mintalah kepada pemiliknya. Niscaya kamu akan lebih mudah mendapatkannya."

Nasehat abah selalu terngiang di pikirku. Nasihat yang selalu menjadi tempatku kembali pada kepercayaan kekuasaannya.

"Kenapa salam abah tidak dikawab, Le?"

Aku terkejut mendengar suara abah. Apalagi beliau salam dan aku tidak mendengarnya. Astaghfirullah. Adakah efek gelombang itu sedahsyat ini?

"Apa kamu memikirkan sesuatu? Tidakkah ingin bercerita dengan abah? Hapalanmu Alfiyah agak goyah juga beberapa hari ini."

Sungguh aku sangat malu jika harus cerita ke abah. Apalagi masalahku ini. Swmoga abah tidam mengingat aku sampai bab apa. Bisa ketahuan jika beliau tahu aku sampai bab ta'nis. Beliau pernah bercerita tentang sandungannya ketika beliau juga tersandung hal yang sama denganku.

Abah tersenyum. Aku terdiam melihat senyuman ganjil itu. Beliau menepuk pundakku seraya berkata.
"Cepat selesaikan atau kau harus berhenti. Hehehe."

"Bah, Royan ingin pindah ke pondok saja."

Abah sedikit terkejut. Mungkin karena permintaan ini mendadak. Padahal dulu akulah yang sangat antusias ingin sekolah di luar pondok. Namun, baru sebentar beliau tersenyum kembali.

"Mau mondok dimana? Abah ikut maunya kamu sja."

"Rohman kepingin di ponpes Al-Hasan, bah. Tempat sahabat abah yang pernah abah ceritakan itu. Lokasinya cukup dekat dengan rumah. Kalau rindu tinggal pulang. Hehehe."

Aku tersenyum melihat abah yang bergeleng-geleng. Abah pasti memuji kecerdasanku lagi.

"Anak abah memang cerdas."

"Aamiin."

Sebenarnya sudah lama aku ingin mondok di sana. Tapi, karena sudah terlanjur daftar di sekolah SMA Garuda niat itu akhirnya urung dilakukan. Keinginanku bermula sejak abah bercerita tentang Kyai Jabbar sang pendiri ponpes itu.

Abah dekat dengan beliau saat mondok dulu. Walaupun sekarang hanya bisa bertukar kabar lewat hp karena kesibukan masing-masing. Beliau adalah sosok yang tawadlu'. Beliau selalu menyempatkan diri mengelilingi pondok setiap hari barabg sekali. Mengambil setiap lembar yang ada aksara arab di sana. Terlebih kitab-kitab. Bahkan, kontainer pun tak luput dari pengawasan beliau.

Beliau cekatan dalam banyak hal. Banyak orang yang santun dihadapannya. Beliau juga terkenal amat cerdas. Sampai kyai beliau dulu ingin memintanya menjadi menantu dan meneruskan sepak terjang ponpes. Namun, beliau menolak karena abahnya telah mempersiapkan seorang jodoh untuknya. Walaupun dengan berat hati akhirnya sang kyai ridlo.

Aku terkagum dengan kemurahan hati beliau. Ketawadluan terhadap sumber ilmu. Kecerdasnnya. Hingga sandungan yang kuhadapi saat ini menjadikan aku ingin lekas kembali konsentrasi. Mengikuti jejak beliau-beliau.

Al-Hasan aku datang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 19, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AuroraWhere stories live. Discover now