3

14 5 0
                                    

Pak Ahmad melemparkan sebuah buku dari tumpukan buku lainnya ke ke tengah meja. Sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Tubuhku menegang kala melihat nama siapa yang tertera di sana. Aku silap, seharusnya buku yang aku kumpul ada buku Sejarah Indonesia, bukannya buku Fiqih. Aku merasa kesal atas keteledoranku.

"Apa yang kamu pikirkan ketika mengumpulkan buku ini ke saya. Saya ini guru Sejarah Indonesia bukan guru Fiqih." Pak Ahmad mengatakannya secara lantang.

Aku melihat beberapa siswa tertawa yang kemudian terdiam ketika pak Ahmad menyerukannya untuk diam.

"Diam!" Seru pak Ahmad untuk siswa yang tertawa tadi.

"Sekarang saya mau, kamu mengumpulkan buku yang benar ke saya." Kata Pak Ahmad seraya menunjukkan buku yang terletak di meja.

"Baik pak" kataku dengan kepala menunduk. Aku segera mengambil buku itu dan berjalan menuju meja ku untuk mengambil buku yang benar.

Aku mengaduk tas ku mencari dimanakah buku Sejarah Indonesia tersebut. Aku hampir mengeluarkan semua barang yang ada di tasku untuk mencari buku itu. Ya Allah di mana buku itu. Aku menghapus keringat yang menetes. Mulutku tak henti-hentinya mengucapkan istigfar. Tidak mungkin buku itu terselip. Atau mungkin tertinggal. Bagaimana ini, buku itu tidak ada.

"Mungkin di laci Rai" seru Dina yang memang duduk di sebelahku.

Bisa saja seperti yang di katakannya. Aku berjongkok untuk mengecek isi laci. Tapi nihil buku itu tidak ada. Sepertinya memang benar-benar ketinggalan di rumah.

Aku memasukkan kembali barang-barangku yang sempat berserakan di meja ke dalam tas. Berbalik dan kemudian berjalan ke depan kembali untuk menghadap pak Ahmad.

"Maaf pak, sepertinya buku saya ketinggalan" kataku dengan wajah murung dan melihat ke bawah.

"Sudah berapa kali saya ingatkan kepada kalian, tugas yang saya berikan ke kalian harus kalian kerjakan. Minggu lalu saya juga sudah mengatakan bahwa saya tidak mau lagi melihat ada yang tidak mengerjakan tugas saya, terserah apapun itu alasan yang kalian berikan,saya tidak peduli. Kalian ini menganggap saya apa, seorang guru atau seorang teman, hormati saya seperti saya menghormati kalian. Kalian ini saya didik untuk menjadi disiplin, paham?" Pak Ahmad menegaskan kembali yang ia katakan minggu lalu. Aku ingat betul apa yang dikatakan beliau dan aku benar-benar tidak sadar kalo buku Sejarah Indonesia milikku itu ketinggalan di rumah. Aku mengerang dalam hati menyadari keteledoranku.

Seluruh siswa kelasku hanya bisa mengangguk, tidak berani untuk menjawab dalam situasi tegang itu.

Pak Ahmad kembali menatapku yang hanya bisa menatap lantai.

"Apa kamu dengar yang saya katakan tadi? Dan saya tau bahwa ini pertama kalinya kamu melakukan kesalahan dalam kelas saya, bukan berarti ini pertama kalinya kamu tidak akan saya samakan dengan siswa lain. Kamu tau kan konsekuensinya jika kamu tidak mengerjakan tugas saya?" tanya pak Ahmad yang ku jawab dengan mengangguk

"Kalau begitu, keluar!" pak Ahmad menunjuk ke arah pintu.

Aku berjalan dengan lesu sekaligus malu. Pertama kalinya aku melakukan hal seperti ini. Mau di bawa kemana wajahku nantinya. Dengan konsekuensi yang harus ku terima. Tidak dapat mengikuti pelajaran Sejarah Indonesia. Selama 3 jam pelajaran aku tidak boleh masuk kelas serta aku harus membuat pengakuan bersalah di kertas dengan tulisan 'SAYA MENGAKU BERSALAH DAN TAK AKAN MENGULANGINYA LAGI'. Kalimat itu harus ku tulis sebanyak 100 kali dan menempelkannya di mading kelas selama seminggu penuh.

Ketika aku berada di luar, barulah pak Ahmad memulai pelajarannya tanpa kehadiranku di kelas. Suaranya terdengar hingga ke tempat di mana aku berdiri sekarang ini, koridor depan kelasku.

Aku bersender di balkon kelas menghadap ke lapangan. Disana ada kelas 12 yang sedang berolahraga, yaitu berolahraga bola basket. Aku berjalan menyusuri koridor hingga tiba di ujungnya. Menatap ke bawah, dan terlihatlah kantin.

Kantin nampak sepi dan tidak ada siswa yang berada di sana kecuali kakak kelas 12 yang sedang berolahraga, sekedar untuk membeli minuman yang melegakan dahaga. Aku menuruni tangga dan berbelok ke kanan, persis di samping kantin. Namun tujuanku turun ke bawah bukanlah untuk pergi ke kantin, tapi pergi ke bangunan sebelahnya, yaitu koperasi sekolah.

Aku pergi ke koperasi untuk membeli kertas HVS berwarna pink soft, penggaris, pensil, gunting dan lem. Sebenarnya aku mempunyai semua barang yang kubeli di koperasi, namun untuk mengusir kebosananku selama di luar kelas, aku pun membeli alat-alat tulis itu. Karena ketika keluar dari kelas, aku hanya membawa uang jajan dan diriku. Semuanya tertinggal di kelas, dan aku terlalu malas untuk kembali ke kelas sekedar untuk mengambil barang-barang yang kubutuhkan setelah di permalukan seperti tadi.

Setelah semua barang yang kubutuhkan berada di tangan ku, aku pun pergi ke sebuah pohon yang di bawahnya terdapat tempat duduk. Pohon itu persis menghadap ke lapangan yang di mana di penuhi oleh kakak-kakak kelas yang sedang bermain basket.

Aku berjalan di pinggir lapangan menuju tempat duduk di bawah pohon itu. Panas matahari walaupun hari masih pagi terasa menyengat, sehingga pilihan untuk duduk di bawah pohon adalah pilihan terbaik. Aku duduk bersandar dan meletakkan alat tulis di samping.

Aku menghela nafas dan mulai mengukur kertas HVS warna pink yang tadi kubeli dengan ukuran 5x5 cm. Ku garisi dengan pensil dan ku potong dengan gunting, sehingga menghasilkan sebanyak 12 potongan kertas. Aku mulai merangkai hingga menjadi sebuah kelopak bunga sakura. Setelah membuat sebanyak 5 kelopak, aku menggabungkannya hingga menjadi satu bunga sakura.

Namun membuat bunga sakura ini masih jauh dari kata siap. Membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikan sebuah gantungan bunga sakura. Tapi aku melupakan sesuatu. Aku lupa membeli tali. Aku meletakkan bunga sakura setengah jadi dan pergi kembali ke koperasi untuk membeli tali atau benang sebagai pengikatnya.

Ketika aku kembali, bunga sakura setengah jadi yang kubuat selama satu jam hancur. Nampak sekali kalau hasil karyaku itu di injak. Langsung saja mimik wajahku berubah drastis. Siapa gerangan yang merusak bunga ini. Susah payah aku membuatnya selama satu jam. Aku pun berjongkok untuk mengambil bunga yang telah rusak itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Membereskan semua alat tulis dan duduk kembali di tempat semula sambil menutup mata. Menghilangkan penat dan rasa kesal. Baru sesaat aku memejamkan mata. Seseorang telah mengganggu ketenanganku. Sehingga aku harus membuka mata untuk melihat siapa yang telah memanggilku.

RAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang