BAB 1

3.4K 416 118
                                    

"Kak Ge!"

Sebuah suara cempreng mengagetkan Ge, berikut tepukan keras di pundaknya. Genta Maheswara, lelaki yang bersandar di pintu mobil itu lantas menoleh. Wajahnya seketika mengeras, begitu mendapati Moi dengan cengiran lebarnya.

"Kamu itu kenapa, sih, mesti dijemput terus? Naik ojol nggak bisa, apa?" Sembari bergerak ke dalam mobil, Ge mulai mengomel. Ia kesal, sebab Moi selalu saja minta dijemput pulang. Padahal, zaman semakin canggih. Hanya bermodal memencet ponsel, ting! Sudah sampai di rumah.

Moi mengenakan seatbelt, cengirannya tak kunjung hilang. Gadis berbando merah dengan motif kotak itu justru suka menyaksikan wajah cemberut suaminya.

"Ntar, kalo aku naik ojol, driver-nya naksir aku gimana coba? Terus nomer WA aku diminta. Terus, kita chatting-an. Terus, aku dilamar sekali lagi. Terus—"

"Terus aja halu!" ketus Ge. "Kayak ada aja yang mau sama kamu. Udah makannya sekebon, gak bisa ngapa-ngapain, manjanya nggak ketolongan. Kalo ada yang mau ngambil kamu, aku bayar sekalian!"

"Ish, Kak Genta! Suami macem apa sih, suka ngga pake akhlak kalo ngomong. Heran." Moi meniup poni yang menutupi pelipis, lantas membuang pandangan ke luar jendela. Didorong rasa kesal, ia kembali berkata, "Biar begini, di kampus banyak tau yang naksir sama aku! Kalau dijejerin, tribun GBK juga nggak bakal cukup!"

Kalau kata Moi, Ge itu manusia anti filter. Bicaranya asal jeplak, tak kenal saringan. Meski begitu, Moi tidak pernah mengambil hati untuk semua ucapan Ge. Justru, Moi suka membalas semua perkataannya. Sampai akhirnya Ge memilih diam, lelah sendiri.

Terbukti, Ge tidak lagi menyahuti ucapan Moi. Mungkin dia mengerti, istrinya mengidap halu tingkat tinggi.

🌺🌺🌺

Moi berlari riang memasuki gedung kantor Ge. Gadis itu bersikukuh tidak mau pulang, katanya kesepian jika berada di rumah seorang diri. Meski berat hati, Ge menyanggupi. Enggan rasanya berdebat lama-lama dengan Moi.

"Good afternoon, everyone!"

Moi mulai berisik lagi. Dia menyapa seisi kantor dengan ramah, membuat keempat cowok yang ada di sana seketika menoleh padanya. Serempak, mereka membalas sapaan Moi dengan tersenyum. Di belakang gadis itu, Ge hanya mampu menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Ia lantas berjalan mendahului Moi.

"Kak Reki! Udah makan siang, belum?" sapa Moi, pada lelaki berambut cepak yang berjarak paling dekat dengannya.

"Udah, dong. Moi udah makan belum?"

"Belum. Kak Ge pelit, nggak beliin makanan." Moi pura-pura berbisik, tetapi sengaja mengeraskan suaranya. Sontak, keempat cowok itu tertawa.

"Parah lu, Ge! Istri sendiri dibiarin kelaperan!" Bima yang duduk di dekat jendela menyeletuk.

"Tau. Nggak dikasih jatah lho, ntar malem!" Aris menimpali. Cowok berkaus putih itu mengedipkan mata pada Moi, membuat gadis itu terkekeh geli. Dari mereka semua, hanya Dasta yang terlihat tenang. Dibalik komputernya, cowok kalem itu hanya tersenyum-senyum saja.

Keempat cowok tersebut adalah lulusan sarjana arsitektur, sama seperti Ge. Bahkan, mereka semua berteman baik sejak masa kuliah. Begitu menamatkan gelar sarjana pada lima tahun lalu, Ge membangun Biro Konsultan Arsitektur Maheswara, dan ia mengajak keempat cowok itu bekerja sama. Bima sebagai spesialis desain interior, Dasta di bidang struktur, Aris menangani mekanikal-elektrikal, sedangkan Reki berperan sebagai drafter. Bersama-sama, mereka mengerjakan berbagai proyek pembangunan semacam perumahan, hotel, maupun gedung perkantoran berskala kecil.

"Kak Dasta mau ke mana?" tanya Moi, saat melihat Dasta bangkit dari kursi. Cowok itu meraih dompet dan ponsel di atas meja, berikut kunci motornya.

Pengantin Ge-MoiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang