Di depan salah satu ruang kelas Fakultas Teknik, Moi berdiri bersandar sambil memandangi kuku. Dia tengah menunggu seseorang yang berada dalam ruangan tersebut. Begitu derap sepatu terdengar mendekat, Moi menggerakkan kaki kiri, menjegal langkah orang itu.
Sontak, sosok yang ditunggunya terjerembab di atas lantai. Cowok itu meringis keras, berbagai serapah dia lontarkan. Cepat-cepat dia berdiri, bersiap menghajar orang yang telah menjegal. Namun, begitu mendapati Moi, kelima jarinya mengambang di udara.
Moi memandangi cowok itu dengan tajam, kedua tangannya berkacak di pinggang. "Berantem lagi kan lo, semalem?" tanyanya marah.
"Enggak." Cowok itu menyahut singkat seraya memperbaiki letak ransel. Dia membalikkan tubuh, bersiap pergi. Namun, sebelum kakinya sukses melangkah, Moi sudah menarik kerah baju cowok itu, membuatnya nyaris terjungkal ke belakang.
"Moi, elah! Rusuh banget sih, lo!"
"Ngaku lo, Rion! Berantem kan lo, semalem?"
"Enggak, Mo—"
"Ini apa?" Moi menunjuk memar di pipi Rion. Kemudian, luka di pelipisnya. "Terus, ini?"
Mendengkus pelan, Rion menepis tangan Moi. Dengan wajah kusut, dia kembali berjalan.
"Lo tuh, ya. Udah setua gini, masih aja suka ngerusuh. Nggak kasian apa, sama Tante Fira? Gimana coba, kalo Tante Fira tau? Beliau pasti sedih. Sia-sia lo dikirimin uang kuliah tiap bulan, kalo kerjaannya cari mati doang!"
Sembari mengekori langkah Rion, Moi tidak berhenti mengomel. Rion mendecak sebal. Sebelah tangannya menutupi telinga.
"Siapa lagi musuh lo kali ini? Anak kampus sebelah? Kampus ujung? Kampus antah-berantah?" Mendapati Rion tetap saja cuek, Moi menarik telinga lelaki itu. "Heh, jawab!"
"Aduh, Moi! Sakit! Lepas, oi, lepas!" Rion menarik tangan Moi yang menjewer kupingnya.
"Gini doang, sakit? Terus, ngapain lo pukul-pukulan sama orang?"
"Mereka duluan yang mukul gue!" balas Rion kesal.
"Ya, pasti ada sebabnya, kan?"
Rion tak menjawab. Cowok itu mengembuskan napas keras. Sia-sia menjelaskan apa pun pada Moi, sebab gadis itu tidak akan mengerti. Moi selalu berdiri di sisi Fira—ibu Rion. Bahkan, Rion tahu, Fira menjadikan Moi mata-mata, yang harus melaporkan gerak-geriknya selama wanita itu tidak berada di Indonesia.
"Jangan coba-coba lo bilang sama Mama," kata Rion, memperingatkan.
"Kenapa? Lo kira gue takut sama—"
"Bakso Bang Us. Nasi goreng Mbak Lina. Es krim cokelat. Cheeseburger. Hokben. Tiga minggu, gratis." Rion mengucapkan deretan kata tersebut dalam satu napas. Sukses membuat Moi bungkam.
Poni depan Moi bergerak, seiring hembusan napas kerasnya. Ini pilihan yang sulit. Gadis itu memutar-mutar bola mata, tampak berpikir. Lalu detik berikutnya, dia mengangguk. "Deal!"
🌺🌺🌺
"Ki, gimana? Render-nya udah kelar?" Ge menghampiri Reki yang tengah fokus menatap layar komputer. Saat ini, mereka sedang mengerjakan orderan berupa rancangan pembangunan sebuah vila di Jakarta. Sebagai drafter, Reki bertanggung jawab mengembangkan desain vila tersebut dalam bentuk virtual, semacam membuat video animasinya.
"Masih gue kerjain," sahut Reki. "Tinggal touch up di beberapa bagian, sih."
Ge mengangguk mengerti. "Hari ini mesti udah selesai, ya, besok kita review bareng-bareng. Deadline tiga hari lagi soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Ge-Moi
Romance"Kak Geee...! Pasta Gigi udah abis!" "Kak Geee...! Angkatin galon, dong!" "Kak Geee...! Beliin kinderjoy...." Genta Maheswara pusing setengah mati. Tiada hari dilaluinya, tanpa seruan dan rengekan Moiza Relia. Padahal, sebelum menikah dengan cewek i...