Halbert menghela napas dan mengacak rambutnya dengan kasar. Ia memandang empat box besar berisi ikan, lobster, cumi-cumi dan kepiting, lantas menoleh pada Matthew yang masih berjongkok ditepian kolam—berusaha memanggil sang siren keatas. “Mau kamu apakan empat box lainnya, Matt?”
“Buat Kakak saja.” Matthew berdiri dan menghampiri Halbert. “Bagikan ke anak-anak yang lain juga.”
“Wah, Matt, kamu memang terbaik,” ucap Halbert senang, menepuk bahu Matthew dengan kuat.
“Iyalah.”
Matthew tersenyum lebar pada Halbert dan berbalik, melangkah ke tepian kolam. Ia memandang air yang tenang itu lamat-lamat, berharap bisa menemukan keberadaan sang siren. “Kak, apa enggak sebaiknya kolam ini dibersihkan, ya? Kolam ini kotor sekali, nanti kalau mermannya penyakitan gimana? Kita juga sedang enggak ada kerjaan kan?”
“Kolam ini dalamnya tiga meter, Matt,” sahut Halbert, ikut berdiri di tepian kolam. Ia menunduk, menyentuh permukaan airnya. “Daan ... kita harus mengeluarkan merman itu dari kolam. Ugh, aku punya mimpi buruk tentang itu.”
Hantaman ekor itu sangat kuat, bahkan memar di dada Halbert belum hilang. Rasanya dadanya akan remuk jika sekali lagi di hantam. Membayangkannya saja Halbert sudah bergidik ngeri.
“Merman itu takut sama Kakak, tapi enggak sama aku,” ucap Matthew menggelengkan kepalanya. “Bagaimana?”
“Baiklah, nanti aku siapkan akuarium sementara untuknya,” sahut Halbert pasrah. Ia kenal Matthew, anak itu cukup keras kepala jika sudah memutuskan sesuatu. Tipikal anak yang terlahir dalam keluarga atas.
***
Wonu sejujurnya tidak berenang terlalu jauh ke dalam kolam, tapi, karena keadaan kolamnya yang kotor ia jadi tidak terlihat dari permukaan. Siren muda itu bosan dan juga rindu pada teman-temannya di danau. Manik emeraldnya memandang Matthew dan Halbert yang terlihat sedang membicarakan sesuatu.
Ia memandang lamat-lamat Matthew yang duduk di tepian kolam, menunduk ke bawah—tapi tidak bisa melihatnya. Sejujurnya Matthew mengingatkannya pada papanya, yang lembut meski memiliki jiwa yang tegas.
Saat dilihatnya Halbert melangkah pergi meninggalkan kawasan kolam, Wonu menggerakkan ekornya perlahan menuju permukaan.
“Hey.” Senyum lebar langsung mengembang di bibir Matthew, begitu mendapati sang siren kembali menampakkan diri. Ia menggerakkan tangannya, memberi kode agar Wonu mendekat. “Apa kamu lapar lagi?”
Wonu suka saat Matthew mengusap kepalanya—usapan yang lagi-lagi mengingatkannya pada seseorang, kakaknya. Ketakutan dan kesedihannya seolah memudar ketika tangan itu menyentuhnya. Manik emeraldnya memandang Matthew dengan polos. Tangannya terulur untuk menyentuh wajah tampan itu, membuat Matthew sedikit terkejut. “G ... Gyu?”
Manik Matthew membola, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia pikir Wonu tidak paham dengan apa yang dikatakannya. Meski pelafalannya tidak tepat, tapi itu terdengar menggemaskan dan ia menyukainya. “Ya, ya, Gyu—Matthew. Kamu pintar sekali.”
Ekor Wonu bergerak senang, membuat air terciprat kemana-mana dan mengenai wajah Matthew. Namun, siren muda itu tidak peduli. Meski tidak tahu apa yang Matthe katakan, tepukan lembut di kepalanya itu membuat ia bahagia. Tepukan tanda pujian dan kasih sayang—itu yang Wonu tahu.
“Kalau nama kamu siapa?” tanya Matthew, ia yakin siren di depannya pasti memiliki nama, apalagi setelah tahu kalau Wonu bisa berbicara.
Wonu memiringkan kepalanya, tidak mengerti.
“Nama ... Gyu.” Matthew menunjuk dirinya sendiri. Ia lantas menunjuk Wonu, memberikan pandangan penuh tanya. Begitu terus selama beberapa saat, sampai akhirnya ...
“Wo ... nu?” ucap Wonu ragu, takut-takut kalau Matthew ternyata tidak menanyakan namanya.
“Wonu?” Matthew tersenyum begitu lebar, dan mengacak rambut Wonu dengan gemas. “Astaga, namamu imut sekali, sama seperti kamu.”
***
“Anda memanggil saya, Tuan?” Nick memandang punggung Jonghyun dari ambang pintu. Ia melirik sekilas Rem yang tidak sadarkan diri. Istri dari Johan itu jatuh sakit begitu mengetahui si bungsu menghilang tertangkap manusia.
“Nick, tolong, susul Coups. Tidak perlu membawanya pulang, hanya jaga dia agar tidak melakukan macam-macam.” Pemimpin klan itu membalikkan badannya, memandang kepercayaannya dengan sorot lelah. “Aku percaya Albert bisa mengawasinya, hanya saja ... kamu tahu sendiri kalau Coups sudah murka. Hanya dua orang yang bisa menenangkannya dan dua orang itu juga yang menjadi penyebab kemurkaannya.”
Johan memberikan sebuah mutiara berwarna darkgreen pada Nick, mutiara super langka yang hanya muncul tepat saat siren baru muncul di malam tertentu. Sejauh ini hanya ada empat mutiara, dengan kata lain hanya ada empat siren istimewa sejauh ini. “Kamu tahu Tetua Han? Salah satu tetua klan kita. Dia tinggal di darat, aku tidak tahu tepatnya. Ini mutiara miliknya. Saat kamu tiba di sana, tetua akan tahu dan datang. Kamu bisa minta tolong dia, untuk membantu kalian mencari Wonu.”
“Baik, Tuan, saya permisi,” sahut Nick. Ia membungkukkan sedikit badannya dan berenang meninggalkan kediaman sang pemimpin.
KAMU SEDANG MEMBACA
[N#1] SIREN || Meanie
FanfictionAkibat trauma yang dimiliki Seungcheol, Wonwoo tumbuh menjadi siren polos. Sampai suatu hari, karena kecerobohannya, Wonwoo berakhir menjadi objek penelitian manusia. Entah apakah bisa disebut keberuntungan, Wonwoo bertemu dengan seseorang. "Gyuuu~"...