18. Matthew di Introgasi

3.3K 463 94
                                    

Coups hanya diam saat polisi berwajah sangar itu bertanya apa yang ia lakukan di RARADL. Ia sudah menjawab jujur, awalnya, kalau ia sedang mencari adiknya yang hilang. Namun, tidak ada yang percaya. Orang normal mana yang cari adiknya yang hilang ke lab? Di mana-mana orang pasti melapor pada polisi. Jadilah, wajah Coups bonyok karena dipaksa untuk mengaku. Mana polisi itu mau tahu kalau perutnya yang koyak masih mengeluarkan darah. Mereka hanya membebatnya dengan kain biasa.

Saat Albert datang bersama seorang pengacara. Nyaris satu jam mengobrol dengan kepala polisi dan beberapa detektif korup. Mengeluarkan uang bernilai ratusan juta sebagai senjata pamungkas.

“Aku akan membunuh mereka saat Wonu ketemu,” umpat Coups, saat mobil mulai berjalan membawanya pulang.

“Kenapa tidak kamu patahkan saja tangan yang memukul wajahmu.” Albert meringis melihat luka yang keponakannya itu dapatkan. Untung mereka bukan manusia. Makhluk magis seperti mereka, meski tidak di anugrahi kekuatan sihir, tapi mereka diberikan tubuh yang tahan banting dan performa yang tangguh.

Coups berdecih dan memilih menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata. “Aku tidak sebrengsek itu dengan membuat Paman mengeluarkan banyak uang. Terima kasih. Aku bisa mematahkan leher mereka kapan-kapan.”

***

“Seluruh kegiatan di RARADL hari ini dan beberapa hari ke depan dihentikan.” Suara berat Jordan menyapa indra pendengaran Matthew begitu menginjak lantai pertama—rumah. Ayah dua anak itu menyingkirkan handphone di tangannya, menoleh, memandang si sulung yang mematung di tempat. “Jadi, pagi-pagi begini kamu mau kemana?”

Matthew mengusap belakang lehernya, bingung. Manik hitamnya melirik ke kanan dan ke kiri. Mencari seseorang yang biasanya akan langsung menyelamatkannya ketika dalam keadaan seperti ini—ibunya.

“Mamamu sakit, syok dengan yang terjadi. Juga mencemaskanmu yang bukannya langsung pulang, justru pergi ke rumah Tuan Sam,” lanjut Jordan datar.

Tubuh Matthew tersentak, terkejut dengan apa yang papanya katakan. Ia langsung memutar badannya, melangkah menuju kamar orangtuanya yang berada di sayap kanan. Menapaki satu persatu anakan tangga. Hanya ada satu kamar di lantai dua sayap kanan. Kamar paling besar yang ada di rumah megah itu.

Tanpa mengetuk pintu, Matthew langsung membuka pintu berdaun dua itu. Hatinya berdenyut sakit melihat ibunya yang biasa semangat nan ceria, kini hanya terbaring lemah di ranjang. Ia berlutut di samping Danish, meraih tangan—yang baru ia sadari—begitu kurus. “Mama.”

Mendengar panggilan yang sedari kemarin ia tunggu, Danish akhirnya membuka mata. Sebelum Matthew bersuara, ia pikir itu suaminya.Tangan keduanya sama-sama besar dan hangat. “Kamu sudah pulang, Nak? Syukurlah, kamu tidak apa-apa.”

Rasanya Matthew ingin menangis saat itu juga. Bagaimana bisa ibunya masih mengkhawatirkan, sedangkan dirinya sendiri saja tidak. Ia merasa sudah menjadi anak yang buruk. Bagaimana bisa ia lebih mencemaskan Wonu dibanding ibunya sendiri? Bagaimana bisa ia tidak menghubungi mamanya lebih dulu dan membuatnya jatuh sakit seperti ini? Bagaimana bisa ia tidak menuruti perintah ayahnya pulang setelah makan malam dan justru kembali saat subuh akan tiba?

“Maafin, Matthew, Ma,” ucap Matthew serak.

“Kamu minta maaf buat apa, nak?” tanya Danish bingung. Ia tidak berpikir putranya melakukan kesalahan.

“Gara-gara Matthew, Mama sakit,” lirih Matthew, membenamkan wajahnya pada telapak tangan Danish.

Danish tersenyum tipis. Tangannya yang bebas ia ulurkan untuk mengusap rambut sang putra. “Mamamu ini udah tua, Nak. Hanya mungkin terlalu lelah mengurus butik. Bukan salahmu, sayang.”

“Ya sudah, Mama tutup saja butiknya. Uang dari papa sudah lebih dari cukup untuk kita.” Matthew mengangkat kepalanya kembali, memperlihatkan wajahnya yang di basahi oleh air mata.

Perkataan Matthew membuat Danish tergelak pelan. Pernyataan yang terlalu familiar dan membuatnya bosan. Bukan kali ini Matthew menyuruhnya menutup butik yang ia rintis jauh sebelum bertemu dengan Jordan. Suaminya, si bungsu, juga pernah mengatakan kalimat yang sama. Bahkan teman-teman sosialitanya.

“Mama bosan menjelaskan. Nanti Mama akan istirahat kalau salah satu dari pangeran Mama menikah, biar istri kalian yang mengurus butik Mama,” ujar Danish akhirnya. Ia menghapus jejak air mata di wajah Matthew dan menunjukkan senyumnya yang menawan. “Jangan hanya karena sudah menjadi Nyonya besar, seorang istri seenaknya hanya bertopang kaki di rumah. Menghabiskan hasil kerja keras suami semaunya. Setidaknya Mama bisa membantu kalau perusahaan Papa ada masalah keuangan atau setidaknya Mama tidak mati kebosanan di rumah sebesar ini seorang diri.”

Matthew memandang mamanya dengan takjub. Jika ketahuan ada haters yang mengatakan perilaku Danish di depan publik hanya pencitraan sebagai Nyonya Kim dari pemilik perusahaan terbesar di Ozero. Matthew adalah orang pertama yang akan mencarinya dan menenggelamkannya saat itu juga.

Ibunya adalah visualisasi sebenarnya dari malaikat.

“Mama yang terbaik.” Matthew bangkit dan memeluk mamanya dengan erat. “Matthew sayang Mama.”

“Mama juga sayang Matthew, sangat.”

***

Matthew ternganga melihat Jordan menunjukkan hasil rekaman CCTV di ruang kerja sebelum semua sistem kemanan mati. Ia bisa melihat saat kappa itu sekarat dan mati, sementara dirinya terlelap begitu nyenyak.

“Polisi mengkonfirmasi ke Papa soal nomor yang menghubungi mereka, itu kamu, benar ‘kan?”  tanya Jordan, begitu video berakhir. Satu yang Matthew tidak suka dari papanya, ia selalu serius dan kaku.

“Ya.” Matthew mengangguk pelan.

Jordan menunjukkan data yang semalam dikirim oleh Daniel. Data itu berisi daftar pegawai yang terluka, meninggal dan selamat. Juga data hewan yang tersisa—masih hidup, mati dan hilang. Untuk tumbuhan dan bahan kimia lainnya masih aman. “Merman yang sedang diteliti Jean dan Ji Kyle Er, kamu tahu di mana?”

Tubuh Matthew menegang. Ia menggigit bibir, kebiasaan kalau ada sesuatu yang mengusik hatinya. “Tidak.”

“Ji Kyle Er terluka karena berkelahi dengan keponakan Albert. Dia bilang merman itu sudah tidak ada saat ia sadar.” Jordan menyejajarkan lembaran foto yang memperlihatkan laboratorium Alfa 1 di sektor C dalam kondisi berantakan. “Kak Daniel sedang ke Rivier kemarin, Halbert pergi ke Voda. Dae, Seung, Zhe, Liyi dan beberapa petugas lainnya, sedang melakukan pelatihan di SPC. Hanya kamu yang dapat ditanya perihal ini.”

“Aku tidak.” Matthew memasang ekspresi datar. Ia mengusap wajahnya kasar. Hubungannya dengan Jordan masuk kategori tidak baik dan ia tidak mau memperparahnya. “Matthew benar-benar tidak tahu.”

“Lalu, kenapa kamu malah pulang ke rumah Tuan David Sam?”

Matthew menghela napas kasar, nyaris mendengus jika ia ingin bogeman gratis dari papa. “Matthew panik, takut, jadi Matthew pergi dari RARADL setelah menghubungi polisi. Rumah Ayah lebih dekat, karena masih di dalam kota. Jadi, Matthew ke sana.”

“Lantas kamu berani pulang pagi? Harusnya tidak usah pulang sekalian.” Jordan bangkit, melangkah pergi meninggalkan putranya sendiri di ruang tengah. Ia muak, lelah dan juga stres.

[N#1] SIREN || MeanieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang