dilemma

598 136 72
                                    

Maaf buat kapal yang nggak berlayar. Dari awal ff ini cuma buat hiburan, jadi kalo kecewa karena aku cuma naikin satu kapal, maaf ya :"

//

Duduk bersisian menatap hamparan langit kelam yang ditaburi sedikit bintang. Malam ini pun bulan hanya menampakan eksistensinya malu-malu. Udara dingin di musim panas pun terasa menusuk hingga ke dalam tulang.

"Jadi ... mau ngomongin apa?" tanya Jiyeon setelah hening dan membiarkan Eunwoo sibuk merangkai kalimat yang akan ia katakan.

"Nggak, mau berduaan doang sama lo," jawab Eunwoo yang dibalas kekehan geli dari gadis di sampingnya.

"Semalam ..." Eunwoo menjeda, menggigit bibir bawahnya ragu. Dan Jiyeon yang masih membiarkan, terlalu banyak suara yang berlomba-lomba merebut perhatian, hingga bibir ragu, mengutamakan yang mana terlebih dahulu.

"Bulan cantik, ya," lirih Eunwoo memilih menatap bulan yang hampir seluruhnya tenggelam dalam langit kelam. "Berani bersaing sama bintang yang mati-matian bersinar untuk merebut atensi. Bahkan saat dia ditimpal langit gelap pun masih tetap cantik dan paling dicari. Tapi ... bulan nggak sadar entah berapa banyak pasang mata yang menyukainya. Memuja dan menganggap bulan satu-satunya paling cantik di antara tata surya."

Jiyeon mulai mengerti, sedikit banyaknya Eunwoo akan membawa topik yang selalu ia hindari. "Bulan butuh matahari," balas Jiyeon tanpa emosi. Mengalir dari bibir tipisnya tanpa bisa dicegah.

"Lo bener, dan sepasang netra kecil itu lupa kalau ada matahari yang begitu besar di sana. Yang selalu dibutuhkan dan ditunggu sang bulan. Etintasnya yang kecil di antara jutaan pasang mata yang juga memuja bulan nggak bakalan mampu menarik perhatian bulan. Netra itu terlalu menikmati malam hari, lupa diri dan keesokan pagi ... netra itu tersadar kalau memiliki bulan hanyalah sebuah mimpi kala matahari tersenyum cerah di pagi hari."

Hening ... mereka terjebak diam cukup lama hingga akhirnya helaan nafas Eunwoo menjadi akhir keterbungkaman mereka.

"Sejak kapan?"

Jiyeon memberanikan dirinya untuk menoleh pada Eunwoo yang kini juga menatap padanya.

"Maaf gue udah bohongin lo, dan—"

"Gue gak marah, Yeon. Gue nanya sejak kapan? Dan seharusnya gue bisa cegah perasaan itu kalau tau lebih awal."

"Setahun belakangan," lirih Jiyeon. "Ini salah gue, dan gue gak bermaksud rusak persahabatan kita."

"Kenapa harus salah lo? Emang perasaan itu salah, ya?"

Jiyeon menunduk, ada guratan luka di pancaran mata teduh pria di sampingnya. Dan Jiyeon lah penyebabnya.

"Kalau menurut lo itu salah, berarti perasaan gue ke lo juga salah?"

"Eunwoo—"

"Tadinya gue pikir ada harapan bikin lo juga suka sama gue, tapi lupa kalau gue cuma salah satu di antara netra yang memuja bulan."

Jiyeon menurunkan tubuhnya, mencacah rerumputan basah dengan kakinya dan mendekat untuk berdiri di hadapan Eunwoo yang masih diam menatapnya.

"Seandainya gue bisa milih, gue gak akan milih di antara kalian berempat. Gue gak mau persahabatan kita hancur hanya karena gue."

"Gada yang salah, Yeon."

Lagi-lagi keheningan yang mengisi ruang di antara keduanya. Eunwoo benar tidak marah, hanya saja luka itu tetap ada mengetahui gadis yang ia cinta ternyata sudah membiarkan sang pangeran mengambil tahta di hatinya.

"Kapan lo tau?" tanya Jiyeon hati-hati.

"Tadi malam," balas pria itu dengan senyum tipisnya.

"Jadi bener?"

NinetySeven✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang