Tiga

1.8K 103 6
                                    

Dalam bengongnya Angga berjalan keluar dari kelas. Dia nggak memperhatikan sekitar sampai menabrak seseorang. Meski barang orang itu nggak berjatuhan tapi tetap terasa sial, padahal Angga sedang nggak mau berinteraksi dengan orang lain.

"Maaf saya tadi-"

"Ooh Angga. Wajahmu murung terus ada apa?" Orang itu salah satu dosen di jurusannya, juga baru selesai mengajar dari kelasnya. Mereka hanya berdiam-diam diri, saling memperhatikan ekspresi. Merasa risih, Angga menunduk. Belum ada yang membuka percakapan. Sampai guru itu tersenyum lagi.

"Menurutmu apa itu cinta?” ujar dosen di depan sana.

Ha? Apaan nih?

Angga yang sebelumnya sudah tidak tertarik bahkan sudah berfantasi aneh dengan dunianya sendiri, sontak  tersadar dan mulai memperhatikan dosen di depannya. Ada apa ini? Apakah dosen ini sedang dilanda mabuk asmara lagi ketika usia nya mulai mencapai kepala 6?

Oke, Angga bukanlah murid dengan pikiran yang terlalu dangkal. Angga yakin yang dimaksud orang di depan kelas itu adalah cinta antar Keluarga. Tapi entah mengapa hatinya berkata lain, hatinya bilang bahwa cinta yang dibahas kali ini bukanlah cinta yang melingkupi keluarga besarnya.

“Tidak bisa kau jawab? Bagus, itu tugas yang saya berikan khusus untukmu.” Ujar dosen itu menginterupsi pikiran Angga. Lalu, pergi begitu saja.

Apa?

Tugas macam apa ini?

Bukannya hal itu sulit didefinisikan.

Ahh lebih baik Angga jujur menyerah dengan pertanyaan dari dosennya tadi. Dia bodoh untuk urusan manis itu, sama sekali tidak mengerti apa yang diperintahkan tati dan dia belum mau mengerti. Masih banyak hal yang lebih menyenangkan di dunia ini selain memikirkan perasaan bernama cinta, terlebih lagi jika cinta itu ditujukan untuk orang lain.

Iya orang lain yang belum tentu juga menyukainya...

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.


Sudah lama sejak terakhir kali Angga jogging bersama Dirgan. Mereka jadi jarang berkomunikasi, mungkin karena tugas Dirgan yang banyak. Tidak mau ambil pusing sekarang pun Angga lebih memfokuskan dirinya pada pelajaran dan tugas mata kuliah yang di tekuninya.

Sesekali Dirgan tetap menyapa nya dan bertanya apakah hari berjalan baik-baik saja? Juga sikap manis lainnya. Hal itu membuat Angga berpikir ulang apakah dia benar-benar cocok untuk mengambil jurusan psikologi, Bukankah seharusnya dia yang lebih perhatian terhadap hal kecil sekalipun? Sementara dia tidak pernah bertanya dan memastikan hal-hal kecil seperti itu pada teman sekamar nya yang manis ini.

Mendadak Angga menjadi galau.

Bukan, bukan karena dia rindu dengan mamanya di rumah. Hal yang membuatnya galau kali ini adalah kemunculan perasaan yang lebih manja, mendamba juga aneh daripada saat bersama Mamanya dulu. Sebuah perasaan yang tidak dapat diterima menggelayuti hatinya.

---

“Dirgaaaann, Dirgan! Udah dulu kek kampret.” Teriak Angga memanggil Dirgan yang sudah jauh di depannya.

Dirgan menghentikan larinya dan tersenyum meremehkan pada Angga yang selalu berakhir seperti ini saat jogging bersamanya.

“Cemen lo, gak bisa olahraga.”

“Jangan songong deh kelelawar! Lagi laper soalnya.”

“Lo kalau laper rese juga ya, cari sarapan ayok.” Final Dirgan, Angga nyengir senang. Dia suka sifat Dirgan yang seperti ini selalu memahami orang lain.

My Fucking RoommateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang