Sempurna. Satu kata yang terlintas tatkala melihat kehidupan seorang Aleysia Janey Hilary. Berparas cantik, penuh prestasi, hidup berkelimpahan, dan dikelilingi oleh sahabat yang begitu menyayanginya. Hari-harinya terlihat tanpa beban. Tak heran, se...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bagian Dua Salah satu bentuk keberuntungan ialah memiliki teman yang setia di dunia yang penuh kepalsuan ini.
• • •
"JAM KOSONG!!!!" Sorakan murid terdengar tatkala ketua kelas XI IPA-3 meneriakan dua kata tersebut. Para laki-laki langsung menyerbu karpet di pojok kelas tepat di bawah pendingin ruangan yang sebetulnya merupakan pojok literasi kelas. Tak sampai satu menit, karpet yang biasanya digunakan untuk salat kaum hawa—karena kelas terlalu jauh dari masjid—langsung dipenuhi para siswa yang rebahan berjejer. Sedangkan murid perempuan langsung membentuk kelompok-kelompok. Jam kosong di hari Senin pagi terasa seperti surga setelah dijemur selama upacara.
"Alhamdulillah, bisa tidur nyenyak di hari Senin yang indah," celetuk seorang siswa yang rebahan mepet dinding lalu menutup matanya.
"Coba aja tiap Senin jamkos kaya gini terus. Gue rela deh upacara sampe satu jam," ujar seorang siswi asal. Ia melepas cepolan rambut lalu menempelkan kepala di atas meja beralaskan tangan dilipat.
"Amit-amit upacara satu jam," sahut teman sebangkunya. "Setengah jam aja udah panas setengah mampus."
"Lo kan ratu keringat! Baru juga lima menit upacara udah lepek aja tuh rambut kayak habis keramas," ejek teman lainnya. Baru saja ingin membalas, interupsi seseorang di bagian belakang menghentikannya.
"Ssssstt! Diem deh, ganggu orang mau tidur aja," balas seorang siswa dengan wajah ngantuk. "Kalo mau ribut, di lapangan aja sono luas, sana gihh!!"
Suara decitan kursi terdengar memekakan telinga. Enam kursi digeser secara bersamaan dari bagian kanan belakang kelas. Atensi seluruh siswa tertuju keenam laki-laki tersebut.
"Anjim!!" Laki-laki dengan badge nama Devin Renner langsung mengusap-usap daun telinganya. "Sakit telinga gue."
"Lo juga kali!" balas Devin mendorong bahu Farrel agak kencang sampai mengenai salah satu meja siswi, karena Farrel tidak siap menerima serangan.
Keempat siswi yang duduk berkelompok di tempat itu langsung menatap Farrel dengan mata melebar. Terutama seorang siswi yang mulanya sedang memoleskan bedak.
"Gara-gara Devin!! Sumpah bukan gua!!" sahut Farrel cepat dengan wajah panik.
Kedua alis siswi itu menyatu dan wajahnya merah padam menahan marah. Tak menunggu jawaban, Farrel berlari menuju pintu kelas. Sementara Devin mengangkat kedua tangannya berlagak tak tahu apa-apa.