[07]

6 1 0
                                    

Rangga membawa Rianti ke dalam dekapannya seraya berkata "Kamu tidak perlu mendengarkan ocehan mereka, Rianti. Mereka salah karena kematian itu sudah ditetapkan oleh tuhan bukan kita sebagai makhluk ciptaan-Nya. Jadi, jangan diambil hati ya ucapan mereka."

Rianti menangis tersedu-sedu karena air matanya sudah tidak kuat dibendungnya.

"Jika kamu ingin menangis, menangislah, Rianti. Jika kamu ingin melampiaskan semua kemarahanmu, pukul saja aku. Aku akan menahan semuanya. Bagilah rasa sakit yang kamu rasakan padaku."

Rianti melepaskan pelukannya dan memukul-mukul dada bidang Rangga dengan keras sambil terus menangis. Ia benar-benar menjadikan dada bidang Rangga sebagai tempat pelampiasan. Hingga lama kelamaan pukulannya memelan dan benar-benar berhenti. Rangga kembali menarik Rianti ke dekapannya untuk bersandar di dada bidangnya setelah melihat Rianti mulai tenang.

"Ini semua salahku, Rangga. Aku yang sudah membuat Dimas meninggal!"

"Rianti, bukankah sudah berkali-kali kukatakan. Jangan dengarkan tuduhan tak berdasar dari mereka. Ini semua sudah kehendak tuhan. Kamu harus kuat dan sabar. Mana Rianti yang kukenal? Rianti yang kukenal itu sosok wanita yang tangguh dan pemberani. Berani menolong orang sakit bagaimanapun kondisinya bahkan kurasa mengorbankan nyawanya sekalipun Rianti akan rela jika itu dapat menolong pasiennya."

Rangga membisikan sesuatu ke telinga Rianti.

"Wajahmu sehabis menangis imut, ya?" goda Rangga menimbulkan rona di kedua pipinya.

Namun, kalimat Rangga setelahnya membuat pipi Rianti semakin memerah karena menahan malu.

"Rianti, itu- ingusnya keluar AAKH!!"

Satu cubitan keras mendarat dengan mulus di pinggang Rangga.

***

Rianti tak henti-hentinya mengerucutkan bibir. Duduk di ruang tengah apartementnya yang malah dikunci oleh orang lain. Aska dan Sam maksudnya. Pagi-pagi sekali mereka datang lalu dengan paksa mengganti password pintu apartementnya dan tidak memberitahunya password pengganti itu. Entah apa yang menjadi alasan mereka hingga bisa-bisanya mengunci Rianti di apartementnya sendiri. Untungnya bahan makanan masih banyak, ia jadi tak perlu khawatir akan kelaparan.

Hari ini Rianti libur. Jadi, ia tak pergi bekerja ke rumah sakit. Ia hanya berdiam diri di apartementnya, mengistirahatkan tubuhnya yang selama seminggu belakangan ini diserang penat lebih banyak. Belum lagi lelah karena terlalu banyak pikiran.

Kejadian kemarin sangat membebani Rianti. Ia masih terbayang bagaimana ibu Dimas meneriakinya di depan umum dan tuduhan orang-orang di sekitarnya kala itu. Sekarang saja yang seharusnya menjadi waktu baginya beristirahat, pikirannya tetap memutar kejadian itu.

Rianti merasa tidak berguna. Ia hanya mengakibatkan orang sakit tambah sakit bahkan meninggal. Tiba-tiba napasnya terasa berat dan dadanya sesak. Tangannya mengepal memukul-mukul rongga dadanya agar hilang rasa sesak di sana. Namun, setetes air harus meluncur karena pergerakannya itu.

"Rianti?" Aska datang menghampiri Rianti yang duduk di sofa dengan kedua mata merah dan basah.

Aska segera menghapus pipi basah itu lalu mendekap tubuh Rianti.

Rianti hanya bisa pasrah dan mengucurkan air mata lebih deras.

"Kamu kenapa? Hm? Mau cerita?" tanya Aska lembut sambil mengelus-elus surai belakang Rianti.

Tak ada jawaban, maka ia melepaskan dekapannya untuk menatap wajah sembab Rianti.

"Hiks a-aku ta-kut..." lirihnya dengan aor mata terus bercucuran.

Pahlawan Di Ujung Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang