Satu minggu berlalu, dan aku yakin semua orang sudah melupakan insiden 'Pangeran tertawa di perpustakaan bersama si buruk rupa.' Aku sangat bersyukur bahwa tidak ada yang terjadi setelah itu, padahal aku sudah sangat khawatir kalau Arkana mengetahui nama dan jurusanku, lalu menemuiku di kelas.
Dan ternyata hanya aku saja yang terlalu parnoan.
Sekarang aku sedang berjalan ke arah kantin fakultas untuk menemui Maugy yang katanya mempunyai lowongan kerja untukku, aku yang sudah mencoba melamar ke banyak lowongan belum juga mendapatkan pekerjaan.
Sekarang memang susah banget cari kerjaan, apalagi kalau kualifikasinya mencantumkan berpengalaman dan good looking! Duh.
Aku melihat keberadaan Maugy di pojok kantin dengan ia yang sedang menelpon seseorang, aku segera melangkah dan duduk didepannya. Maugy melihatku sekilas dan langsung mematikan sambungan teleponnya.
"Telepon dari siapa?" tanyaku sambil mengambil snack di atas meja yang aku yakini punya Maugy.
Maugy meminum minumannya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaanku, "kakak gue."
Aku mengangguk dan terus memakan keripik singkong tersebut, kakak Maugy bernama Maurenka itu cantik banget, apalagi sekarang lagi ambil spesialis di kampus ini juga.
Cantik, cerdas, berpendidikan dan kaya. Sempurna banget 'kan kehidupan sahabatku ini? Maugy juga sama seperti kak Maurenka walaupun ia tidak berniat menjadi seorang dokter.
Apa aku pernah iri dengan Maugy? Jawabannya tentu pernah. Aku tidak cantik, tidak kaya—malah menurutku, aku ini miskin—dan bodoh. Aku masuk kampus negeri terkenal di Indonesia ini juga aku yakin cuma karena keberuntungan belaka.
Atau, karena guna-guna abangku.
"Jadi ... ada lowongan pekerjaan apa, Gy?" Aku memang sering mengeluh tentangnya susahnya mencari pekerjaan kepada Maugy, dan pernah memintanya untuk memberitahuku kalau ia mengetahui lowongan pekerjaan, apapun itu, yang penting tidak menghambat kuliahku agar nilaiku tidak turun. Bisa-bisa, beasiswa KIP-K ku dicabut oleh kampus.
Sebenarnya uang dari beasiswa KIP-K sangat membantu, aku tidak membayar uang kuliah, dan dapat uang saku, namun aku juga ingin memberikan kedua orang tuaku uang agar mereka tidak bekerja keras lagi untuk mencari uang.
"Gue dapet info dari kak Mauren, adik dari teman SMAnya dulu baru buka cafe dekat kampus kita dan lagi ada lowongan waitress di sana. Lo kalau mau, bisa gue temenin ke sana nanti." Ucap Maugy lalu memperlihatkan foto cafe tersebut dari handphonenya.
Helze Cafe.
Cafe itu bernuansa minimalis, ada banyak pepohonan dan tanaman hias, meja dan kursi terbuat dari kayu juga. Sangat asri.
"Cafenya emang biasa aja, soalnya kata kakak gue, dia itu nggak terlalu mentingin estetika kayak kebanyakan orang, dia lebih suka orang ke cafenya bukan karena interior yang ditampilkan tapi apa yang mereka bawakan." Ucap Maugy, "Yang unik di sini ialah, nama-nama makanannya dinamai dengan orang-orang berpengaruh di dunia. Seperti Bill Gates, Habibie, atau Albert Einstein!" lanjut Maugy dengan semangat.
Aku menyerit bingung, "maksudnya gimana?"
Maugy memutar bolanya melihat kebingunganku, "jadi di buku menunya, nama masakannya itu bukan 'nasi goreng' melainkan Obama misalnya, gitu-gitu deh, minumannya juga gitu."
Ah, aku mengerti. Aku menganggukan kepalaku ke arah Maugy.
"Jadi, lo mau?"
"Kenapa nggak?" jawabku dengan cepat, lalu aku juga menambahkan, "Gue nggak berpengalaman dan good looking, nggak apa-apa 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Good Looking!
Romance"What ever you do, but you're not good looking is meaning ... good bye!" Kalla Nora Abimanyu adalah orang pas-pasan dalam segala hal. Harta, Tahta, dan Wajah. Ia sama sekali tak menarik dari atas sampai bawah, belum lagi otaknya pun sama saja. Kall...