Hari ini Jaemin pulang sendiri. Biasanya, dia akan pulang bareng Renjun atau Haechan, mengingat mereka memang tinggal satu komplek, Jaemin akan selalu memanfaatkan tebengan kedua temannya itu.
Tapi Renjun sama Haechan sedang ada urusan masing-masing hari ini. Sibuk dengan dunia mereka sendiri, ditambah Jaemin yang pulang sedikit terlambat karna dipanggil Pak Haris tadi. Membahas perihal Olimpiade Matematika yang akan Jaemin ikuti di semester baru nanti.
Biasanya, kalau tidak pulang bareng kedua temannya itu, Jaemin akan meminta Jaehyun untuk menjemput. Tapi Abangnya itu sedang sibuk dengan Skripsi yang harus dia selesaikan secepatnya. Bertekad akan lulus lebih cepat dari mahasiswa kebanyakan, dan membantu Bunda bekerja.
Oh, jangan tanyakan kenapa Jaemin tidak pulang bareng Jeno. Karna pacarnya itu sudah pasti mengantar Hana pulang. Jaemin akan pulang bareng Jeno kalau Hana sedang tidak masuk Sekolah. Terlalu malas kalau dia harus satu mobil dengan kedua sejoli itu, seperti dirinya yang menjadi orang ketiga.
Maka dari itu, Jaemin duduk di Halte sekarang. Menendang angin dan merunduk agar menghilangkan rasa bosan. Menunggu Bus yang sedaritadi tidak juga kelihatan. Menyebalkan sebenarnya naik Bus, karna dia harus berjalan kaki berapa belas meter lagi untuk sampai rumah, namun Jaemin harus menerima nasib.
Jaemin harus belajar mandiri, menghilangkan ketakutannya akan Bus karna trauma pernah mendapatkan pelecehan. Tapi Jaemin akan jauh-jauh dari penumpang lain kali ini, dan meyakinkan diri kalau tidak semua orang sama dengan pelaku pelecehannya dua tahun lalu.
Jaemin mengangkat kepala ketika mendengar suara mobil yang berhenti di depannya, senyumnya terbit menemukan mobil yang sangat dia kenal. Tanpa menunggu sang pemilik mobil menawari, Jaemin berdiri dan melangkahkan kakinya memasuki mobil itu. Tersenyum pada pemilik mobil yang menatapnya aneh.
"Gua gak nyuruh lo masuk??" Dia protes, namun Jaemin hanya membiarkan dan memasang sabuk pengaman, menyamankan dirinya sendiri di kursi penumpang.
"Ayo, jalan."
"Ini anak beneran kaga tau diri banget,"
"Bawel, deh. Lagian rumah kita depan-depanan, akan lebih kalau gua nebeng sama lo daripada nunggu Bus yang entah kapan bakalan dateng."
Mobil itu akhirnya melaju juga, bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya. Sang pemilik mobil mendecih sinis, menatap Jaemin yang kini sudah menjarah dashboard mobilnya. Kebiasaan.
"Biasanya lo balik sama temen-temen lo itu," Si cowok tampan dengan seragam sama memutar stir pelan, menyalip berapa mobil di depan dengan santai.
"Sibuk. Lagian tadi gue balik telat." Jaemin menemukan hal memalukan di dashboard, sebuah foto yang memperlihatkan dua orang anak kecil dengan wajah dipenuhi tanah. Terlihat menggemaskan, namun terlalu kotor.
"Masih nyimpen aja lo ini foto," Dia menoleh, pada sosok yang sudah menjadi sahabatnya sedari kecil. Lebih lama daripada dia mengenal Haechan dan Renjun.
Hyunjin namanya. Hwang Hyunjin. Tinggal di depan rumah Jaemin dan selalu menjadi tempat sampah sahabatnya itu. Satu sekolah dan satu jurusan, tapi selalu pura-pura tidak kenal jika sudah berpapasan. Entah apa tujuan mereka, namun itu perjanjian yang Hyunjin buat ketika mereka memilih SMA yang sama, yang kemudian disetujui Jaemin tanpa pertanyaan lebih lanjut.
"Lupa mau gua buang aja sih kayanya,"
"Halah, bilang aja lo gak tega buang foto kenangan yang sama gue."
"Kata orang yang nyimpen foto gue di kamarnya banyak banget."
Jaemin tertawa, menertawakan diri sendiri lebih tepatnya. Foto dirinya dan Hyunjin memang memenuhi album foto masa kecilnya, bukan hanya itu, dinding khusus foto perjalanan hidup Jaemin yang Bunda buat juga tidak luput dari muka Hyunjin. Selalu ada wajah Hyunjin di setiap momen spesial Jaemin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last || nomin
FanfictionTidak ada yang harus dilanjutkan. Dari awal, hubungan mereka memang tidak baik-baik saja.