Jaemin sadar kalau hubungannya dengan Jeno memang hanya karna perintah dari Hana. Permintaan Jeno untuk menjadikan dirinya pacar hanya semata-mata karna cowok itu didesak Hana. Tapi Jaemin tidak mengerti kenapa Hana mau menyuruh Jeno menjadi pacarnya kalau dia saja tidak bisa kehilangan Jeno?
Satu tahun menjalin hubungan, membuat Jaemin sadar sedekat apa hubungan Jeno dengan Hana, tidak termasuk Eric karna Jaemin bahkan jarang melihat Eric bergabung bersama dua sejoli itu. Jaemin bahkan sadar kalau Hana menyimpan rasa pada Jeno, dan menurutnya, Hana bisa mendapatkan Jeno seutuhnya tanpa berusaha lebih, karna dari awal pun, gadis itu sudah mendapatkan Jeno hanya untuk dirinya sendiri.
Ini menyakitkan. Kenyataan-kenyataan yang dia fikirkan hanya membuat dirinya merasakan sakit lebih dalam.
Kalau Jeno pernah berkata hubungan mereka tidak jelas. Kalau Jeno pernah berkata dia tidak menyukai dirinya, kenapa Jeno ada disini sekarang? Duduk di hadapan Jaemin dalam berapa hari dengan diam, tidak menganggu sama sekali dan hanya melirik sesekali.
Sifat Jeno berubah. Dia lebih perhatian tanpa Jaemin pinta, Jeno, bahkan sering melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan pada dua orang yang sudah tidak lagi menjalin hubungan.
Selesai dengan materi sejarah yang sedaritadi dia pelajari, Jaemin beranjak dari duduknya, hendak mengambil buku lain untuk mata pelajaran Sosiologi. Dua pelajaran itu harus mendapatkan perhatian lebih dari dirinya, otaknya tidak menampung banyak kalimat.
Jaemin suka Matematika, pun suka dengan Ekonomi. Geografi juga termasuk karna dulu, Ayah sering membahas masalah dunia dan seisinya degan dirinya dan Bang Jae. Menghabiskan waktu akhir pekan di taman belakang sebelum akhirnya Tuhan mengambil Ayah lebih dulu. Terlalu sayang pada sosok yang membuat Jaemin merasa sangat diinginkan.
Sialnya, buku Sosiologi yang dia inginkan berada di rak tertinggi. Jaemin itu tinggi, tapi tangannya tidak sepanjang itu untuk mengambil buku di atas sana. Berusaha menggapai buku yang ingin dia pelajari, satu tangan yang terulur membuat pergerakan Jaemin terhenti.
"Nih," buku itu kini sudah di tangannya, diberikan oleh sosok yang daritadi hanya diam duduk di bangku yang hanya dibatasi meja.
Lee Jeno menatap Na Jaemin dengan senyuman. Tatapan yang tidak pernah Jaemin dapatkan selama pacaran, kini dia dapatkan dengan mudah. Tidak adil.
"Thanks," Setelah mengatakan itu, Jaemin berlalu dari sana, kembali ke mejanya dan mencoba mempelajari materi yang belum dia baca.
Jaemin fikir, Jeno sudah keluar perpustakaan karna berapa menit ke depan cowok itu tidak kembali. Namun fikirannya dipatahkan dengan kehadiran Jeno beserta beberapa buku di tangannya.
Jaemin melihat buku-buku yang Jeno letakkan di atas meja. Ada beberapa buku Fisika disana. Jaemin tahu Jeno lemah dengan Fisika, dan cowok itu ingin mempelajari Fisika lebih dalam.
Setidaknya, Jeno memang ada alasan untuk duduk di sana. Tidak menganggu Jaemin sama sekali, sibuk dengan materi yang dia pelajari, namun mampu membuat Jaemin bertanya-tanya apa yang sebenarnya tengah dia lakukan.
Kelakuan Jeno yang tiba-tiba seperti ini malah membuatnya lebih sakit hati.
**
"Jadi, gimana Caffe gue?"
Eric bertanya dengan nada pongah, membiarkan Jeno duduk di bangku kosong yang memang sudah dia siapkan. Caffe nya penuh saat ini. Hari pertama launching dan diskon besar-besaran membuat banyaknya pengunjung mendatangi Caffe milik sang lelaki tampan itu.
Dua ice americano dan beberapa camilan ringan tersedia di atas meja. Menu yang Eric ciptakan sendiri itu terlihat sangat nikmat, membuat Jeno langsung menyambar makanan itu tanpa harus disuruh pada sang pemilik makanan.
Karena dia mendapatkan itu semua dengan gratis.
"Bagus."
"Cuman, bagus?"
"Terus?"
"Oke, enggak." Eric menghela nafas, lelah sendiri sebenarnya kalau tanya-tanya sesuatu sama Jeno. Sahabatnya itu terlalu lempeng sampai-sampai menjadi sosok yang menyebalkan.
"Gua mau ngebaikin hubungan sama Jaemin,"
Kalimat tiba-tiba itu membuat Eric menatap sang sahabat, keningnya berkerut, tidak terlalu mengerti kenapa Jeno tiba-tiba mengatakan hal seperti itu.
"Terus, gimana hubungan lo sama Hana?"
"Baik-baik aja, gak gimana-gimana."
Dia bahkan tidak menunjukkan ekspresi apapun atas kalimatnya barusan, hanya datar, sambil melahap spaghetti buatan Eric sendiri dengan hikmat.
"Hana ada di Belanda, dan kayanya gua sama dia emang gak bakalan bisa punya hubungan lebih. Jadi, ya gitu." Tangannya yang memegang garpu terhenti, dia letakkan benda logam itu dan menyeruput americano miliknya.
"Terus karena lo sadar gak bakalan punya hubungan lebih sama Hana, lo mau perbaiki hubungan sama Jaemin?"
"Kayanya gua emang suka sama dia dari awal, Ric."
"Fuckkkk, terus kenapa selama pacaran Lo nya lempeng doang gitu, sih? Gak mikirin perasaan Jaemin?"
Jeno jadi mengingat tentang hubungannya dengan Jaemin selama satu tahun kebelakang. Alasan dirinya tidak mau menanggapi hubungannya dengan Jaemin masih tidak dia mengerti sampai sekarang. Menurutnya, dia dan Jaemin memang tidak akan bisa bersama. Keluarganya suka Hana, dan akan menjadi sia-sia kalau Jeno menjalin hubungan dengan Jaemin. Itu hanya akan menyakiti banyak pihak.
Sekarang, Hana di Belanda. Jeno tidak merasa kehilangan cewek itu. Tahu kalau kepergian Hana untuk kepentingan dirinya sendiri. Disini, Jeno malah merasa kalau dia kehilangan Jaemin. Merindukan masa-masa dimana Jaemin menceritakan banyak hal padanya tanpa merasa sungkan. Merindukan semua keluguan yang Jaemin tunjukkan.
"Jaemin ngejauh, gua ngerasa kehilangan. Salah gak, sih?" Alih-alih menjawab pertanyaan Eric, dia malah kembali mengajukan tanya. Berfikir kenapa dirinya bisa-bisanya malah merindukan sosok yang selama ini memang ingin dia hindari. Kadang, perasaan memang sebercanda itu.
Eric menghela nafas lelah, ikut menyeruput ice americano miliknya untuk sedikit menyegarkan pikiran. "Gak salah. Lo selalu bener." Jawabnya, dengan nada menyindir.
"Tapi menurut gua Lo mikirin dulu semuanya baik-baik. Pikirin siapa yang sebenernya Lo suka, Jaemin atau Hana. Jangan Maruk lah, Jen. Si Jaemin daripada gak Lo kasih kepastian mending buat gue."
"Sialan, lo!" Jeno mendengus kesal, sebal sendiri mendengar kalimat terakhir yang Eric lontarkan.
"Lah bener, Jen. Lo sadar gak sih kalo banyak yang suka Jaemin?"
"Masa?"
"Buktinya kemarenan kan Lo ngeliat dia bercanda sama si cowok-siapa-itu-kaga-kenal, 'kan?"
"Mungkin temennya," Jeno mencoba berpositif thinking. Sama seperti yang biasanya dia lakukan. Tidak terlalu mengidahkan omongan Eric yang jelas-jelas tidak bisa sepenuhnya dipercaya.
Jaemin hanya suka dirinya, 'kan?"
"Yaudah, lah. Pokoknya Lo pikirin dulu siapa yang Lo suka beneran, jangan ampe nyesel kedepannya. Gak usah jadi cowok brengsek lagi."
"Iye,"
"Pikirin!"
"Bacot,"
Topik tentang kisah cinta Jeno berhenti di kata itu. Selanjutnya, hanya ada obrolan ringan dari keduanya. Membicarakan masalah karyawan-karyawan yang Eric kerjakan di Caffe perdananya. Teman-teman mereka di luar lingkup sekolah, atau kenangan masa kecil yang mereka lalui bertiga---Jeno, Eric, juga Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last || nomin
FanfictionTidak ada yang harus dilanjutkan. Dari awal, hubungan mereka memang tidak baik-baik saja.