Pagi ini hari Senin. Tidak ada yang istimewa di awalan Minggu ini, Jaemin memulai hidupnya seperti biasa. Dia akan berangkat sekolah dengan Bunda, Upacara, masuk kelas, dan menghabiskan waktu istirahatnya di Perpustakaan. Terus seperti itu setiap hari sampai waktu ujian tiba.
Tapi baru saja turun dari kamarnya, Jaemin sudah melihat Bunda yang sibuk dengan dirinya sendiri, pun koper yang menemani.
"Bunda mau kemana?" Tanya itu reflek dia ajukan, mendekati sang Ibu dan hanya menatap diam menunggu jawaban.
"Ke Malaysia. Bunda ada pekerjaan di sana." Jawabnya, sambil sibuk memakai sepatu Converse yang tidak sepadan dengan pakaian kerjanya.
"Dadakan banget?" Karena biasanya Bunda memang tidak pernah seburu-buru ini kalau mau dinas jauh. Selalu mengabari Jaemin paling telat dua hari sebelumnya, tapi kali ini dia seperti sangat keteteran.
"Iya, Bos Bunda baru kabarin semalam." Wanita cantik itu berdiri, menatap Jaemin dengan pandangan yang tidak seperti biasanya. "Bunda sudah bikinin sarapan. Kamu makan dulu, baru berangkat. Bunda cuman tiga hari di sana. Besok Abangmu pulang, oke?"
Jaemin hanya mengangguk, mengerti dengan baik kalimat yang Bunda ucapkan. "Iyaa,"
"Yaudah, Bunda jalan, ya. Jemputan Bunda udah nunggu di depan. Kamu jaga diri baik-baik! Uang jajannya sudah Bunda transfer," kemudian menghilang di balik pintu, membiarkan Jaemin sendirian di rumah sederhana itu.
Helaan nafas keluar dari bibir manisnya. Pagi yang berbeda dari pagi biasanya. Memilih untuk tidak terlalu memikirkan, hanya berdoa semoga Bunda selamat sampai tujuan, Jaemin membalikkan badan menuju ruang makan, melahap sandwich yang Bunda buatkan di tengah-tengah kesibukannya.
Bunda tidak bisa mengantar, dan Jaemin harus mencari tebengan. Haechan dan Renjun tidak bisa. Haechan sedang masa pendekatan kembali dengan Mark, sedang Renjun diantar oleh Ayahnya. Jaemin tidak mungkin meminta Jeno menjemput, jadi pilihan terakhirnya adalah Hyunjin. Si tetangga depan yang Jaemin yakini masih berkutat dengan sabun di kamar mandi.
Setelah menghabiskan sarapan dan mencuci piring, Jaemin kembali duduk di meja makan. Mencoba menelfon Hyunjin meminta tebengan. Panggilan pertama tidak diangkat, panggilan ke dua baru cowok itu terima walau harus menunggu berapa dering.
"Ngapa?" Tanya tanpa basa-basi dari Hyunjin membuat Jaemin mendengus, dia tersenyum samar.
"Mau nebeng, dong. Bunda udah jalan soalnya, gak ada yang nganterin."
"Gua masih pake baju. Tungguin aja di depan, bentaran." Kemudian, tanpa menunggu balasan, Hyunjin mematikan sambungan. Tanpa memperdulikan hal itu lebih lanjut, Jaemin memilih menuju ruang keluarga, tempat di mana dia meletakkan sepatu setiap harinya.
Selesai dengan urusannya sendiri, Jaemin keluar rumah dengan tampang biasa-biasa saja. Tidak ada orang yang bisa dia sapa, atau bahkan binatang lucu yang bisa dia elus-elus sambil menunggui Hyunjin keluar rumahnya.
Baru satu menit Jaemin menunggu, sebuah mobil berhenti di depan Jaemin. Itu jelas bukan mobil Hyunjin, karena setahu Jaemin, mobil temannya itu juga sedang di bengkel dan hari ini dia akan memakai motornya.
Tapi tanpa disuruh melihat sang pengendara, Jaemin bisa menebak siapa pemilik mobil ini.
Lee Jeno, si mantan yang tiba-tiba berubah sikap tanpa dia tahu alasannya.
Jeno turun dari mobil, mendekatkan dirinya dengan Jaemin, berdiri dihadapan si cowok manis yang malah memasang wajah masam.
"Berangkat bareng, ya?"
"Gausah." Jaemin menjawab tanpa pikir panjang, benar-benar tidak mau berangkat bersama sang mantan pacar.
"Terus kamu ngapain disini? Tunggu Bunda?" Karena setahu Jeno, Jaemin memang selalu diantar Bunda setiap pagi. Dia sering melihat Jaemin turun di depan gerbang sekolah dari mobil yang Jeno tebak milik sang Ibu.
"Kenapa kepo, sih? Ribet banget."
Jeno menghela nafas mendengar balasan tidak menyenangkan itu, tapi harus sabar karena dia memang ingin memperbaiki hubungannya dengan Jaemin.
"Tapi aku udah jauh-jauh kesini buat jemput kamu, loh." Mencoba mendapatkan sedikit rasa kasihan, Jeno memelankan nada suaranya. Berharap Jaemin mengiba dan akhirnya mereka berangkat bersama.
"Gaada yang nyuruh Lo jauh-jauh ke rumah gue pagi-pagi buat jemput. Jangan ribet sendiri. Lo bukan siapa-siapa."
Jeno termenung, tidak mempunyai kalimat lain untuk membalas perkataan Jaemin barusan.
"Terus kamu berangkat sama siapa?"
"Sama--"
"Woy Jaem!" Teriakan itu membuat kedua orang yang tengah cek-cok mengalihkan pandangan, pada sosok yang sedang duduk di atas motornya. Helm sudah terpasang di kepala, namun Jeno mengenali sosok itu sebagai cowok yang bercanda bersama Jaemin tempo hari.
Tanpa memperdulikan Jeno yang tercenung di tempatnya berdiri, Jaemin melajukan langkahnya mendekati motor Hyunjin, menerima helm dari cowok itu dan memakainya. Pundak Hyunjin Jaemin jadikan tumpuan untuk dia naik ke jok belakang, dan membiarkan Hyunjin menjalankan motor tanpa harus melihat Jeno yang diam menatap kepergiannya.
"Itu cowok Lo tumben udah dateng pagi-pagi?" Tanya Hyunjin, teriak. Jaemin itu soalnya agak budek kalau diajak ngobrol pas lagi naik motor gini.
"Gatau, gak urus."
"Idih,"
"Udah, diem! Mending nyetir yang bener. Gua gak denger Lo ngomong apaan."
Tapi Hyunjin mendengar dengan jelas kalimat Jaemin. Tanpa menjawab lebih lanjut, Hyunjin lebih memilih diam dan dengan santai melajukan motornya. Ini masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah sebenarnya---menurut dia, tapi Hyunjin jelas tidak bisa menolak permintaan sang sahabat untuk berangkat bersama.
• • •
Gak tau bakalan update chapter delapannya kapan, tapi aku usahain secepatnya.
Terimakasih karena gak kecewa sama keputusan aku, semoga kalian lebih enjoy baca cerita ini versi yang baru.
Omong-omong, terimakasih untuk vote dan komen yang kalian kasih
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last || nomin
FanfictionTidak ada yang harus dilanjutkan. Dari awal, hubungan mereka memang tidak baik-baik saja.