Bagian Pertama

94 8 8
                                    

"Cystic fibrosis kamu sudah semakin parah," seorang dokter dengan kacamata tebal yang bertengger di hidungnya menatap seorang pasien dan pendamping yang duduk di balik meja di depannya.

Pasien lelaki berusia tujuh belas tahun dengan rambut hitam pekat dan alis tebal itu nampak putus asa. Ia terus menunduk ke bawah menatap ubin rumah sakit yang kini menjadi rumah ke duanya.

Zenderald Xavier namanya.

Zen adalah salah satu pengidap cystic fibrosis, penyakit keturunan langka yang sulit disembuhkan. Tubuh Zen memproduksi lendir berlebih hingga membuat lendir tersebut menyumbat saluran dan lorong pernafasan miliknya.

Lima bulan terakhir laki-laki itu telah menghuni rumah sakit dan mengikuti home schooling, karena paru-paru nya yang semakin parah. Zen tidak pernah merokok, lingkungan nya pun terbilang bersih, penyakit ini ia dapat kan dari nenek nya.

"Apa ga bisa kita cari pendonor paru-paru dok?" Zea ibu Zen menatap dokter di depan nya penuh harap.

"Jika kondisi Zen memungkinkan dan jika kita dapat mendapatkan paru-paru itu, mungkin bisa,"

Brak

Suara kursi terdorong kasar ketika Zen berdiri tiba-tiba, ia menatap dokter di depan nya dan ibu nya bergantian. Tanpa banyak suara laki-laki itu pergi meninggalkan ruangan.

"Zen..." Zea menunduk muram ketika melihat putranya yang nampak lebih putus asa dari hari-hari sebelumnya.

Zen pergi meninggalkan ruangan tersebut, membuat kondisi hening sesaat disana. Sepersekian menit kemudian dokter itu kembali melanjutkan kalimat nya.

"Maafkan saya, saya memang bukan Tuhan tapi... menurut perkiraan medis paru-paru Zen mungkin hanya dapat bertahan selama tiga bulan," Dokter itu ikut menunduk merasa bersalah.

"Itu berarti saya harus mendapatkan paru-paru baru untuknya dalam waktu cepat," Zea mengangguk ngangtuk pelan kemudian berterima kasih pada dokter.

Tanpa mereka sadari, Zen masih berdiri di balik pintu. Dan diam diam mendengarkan obrolan mereka. Zen menggigit bibir bawahnya, seketika air mata jatuh meluncur di pipi kiri nya.

Bagaimana rasanya jika kau tau hidup mutak lagi lama?

Bagaimana rasanya ketika kau tahu ajal sebentar lagi akan menjemputmu?

Bagaimana rasanya ketika kamu tahu hari-hariku berikutnya akan di bayangi rasa ketakutan akan kematian?

Zen terkekeh pelan ia segera menyeka air mata nya dan berjalan menjauhi ruangan tersebut dengan selang pernafasan yang setia tertaut di hidung nya. Menyesali semua pun mungkin tak ada guna nya.

Kata 'sudahlah' kini menjadi teman nya, ia tak tau lagi harus berbuat seperti apa. Menyerah memang bukan hal yang tepat, tapi berjuang pun rasanya sudah tak ada guna nya.

Perawatan berbulan-bulan di rumah sakit tak berefek apa pun, itu hanya memperpanjang kehidupan nya sedikit. Membantunya menahan sakit untuk sesaat.

Rasanya sama sekali tidak menyenangkan. Ia bahkan selalu bertanya-tanya untuk apa ia harus terkurung di rumah sakit ini jika ujung hidup nya dari awal sudah ia ketahui.

Bukankah lebih baik harusnya ia pergi ke sekolah menikmati sisa hidupnya, bersenang-senang dengan teman-temannya, membuat memorie indah lalu pergi ke alam baka dengan bahagia?

Zen menghela nafas nya dalam dalam.

Laki-laki itu pergi menyusuri koridor rumah sakit, ia bisa melihat orang-orang sakit dari tempat nya berdiri, ia bahkan sudah kenal akrab dengan beberapa pasien dari bangsal lain.

Lima ParagrafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang