Hai, aku Lyan Okiana. Di tahun 2027 ini, umurku enam belas tahun. Hidup sendiri tanpa adanya keluarga yang disebut-sebut sebagai tempat bercerita juga pelipur lara.
Namun, aku punya mereka, sahabat yang tak akan pernah hilang dan akan terus menantiku juga menjagaku.
Dan di siang yang terik ini, aku tengah sibuk mencari kedua sahabatku itu.
"Disa sama Visla mana ya, lama sekali."
Lima menit kemudian, kedua sahabatku datang dengan napas tersengal-sengal.
"Maaf ya, Lyn. Tadi kita disuruh ke perpustakaan dulu sama bu Riri," jelas Visla disertai dengan anggukan Disa.
Matahari yang sibuk menyinari sang bumi, kini sinarnya telah menjalar ke mana-mana, hingga manik mataku terjerat dengan sinar yang begitu menyilaukan itu.
"Eh, eh, mata kamu masa warna cokelat. Bagus sekali, sangat cantik," kata Disa dengan heboh.
Ah iya, itulah yang sering ku dengar dari banyak orang yang melihatku. Manik mataku berwarna cokelat.
"Kenapa tidak kamu ikat rambut panjangmu itu, Lyn? Takut nanti masuk ke mata," sambung Visla dengan nada sedikit ditekan.
"Oh, iya. Sebentar, aku ikat."
Setelah itu, kami pun berjalan keluar menuju pagar sekolah yang cukup tinggi.
Sekolahku sudah sepi, karena para murid telah berhamburan begitu bel pulang sekolah berbunyi.
"Aku bosan, di rumah tidak ada kegiatan."
"Aku juga, Lyn. Bagaimana kalau kita main dulu," kata Visla.
"Wah boleh, ayo ke rumahku saja," ajak Disa.
Lantas, aku dan Visla mengangguk bersamaan. Kami bertiga pun berjalan menuju rumah Disa.
Aku tertawa tak henti karena lelucon Visla yang sungguh lucu, seketika bebanku terasa hilang, bak tersihir begitu saja.
"Asyik, sudah sampai," sorak Disa.
"Aneh, mengapa jadi terasa dingin ya?" batinku.
Kini kami sudah berada di depan rumah Disa. Rumahnya begitu minimalis. Namun, aku merasa ada sesuatu yang aneh, entah kenapa. Aku menepis pemikiran itu.
Drttt drttt
Tiba-tiba saja handphone Visla bergetar. Ternyata ibunya yang menelpon dan mengatakan kepada sang putri untuk cepat pulang.
"Aku pulang duluan ya, maaf."
"Oh ya sudah, hati-hati ya, La."
"Iya, hati-hati di jalan," ucapku sambil melambaikan tangan. Yang dibalas dengan senyum simpul oleh Visla.
Visla sudah tak terlihat, dan tinggal aku dan Disa.
Aku kembali fokus dengan apa yang ada di hadapanku. Ya, masih dengan rumah Disa.
Langkah pertama begitu pelan ku ambil, cukup sunyi. Hanya ada cicitan burung yang bisa dibilang mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MIND
Short StoryKumpulan kisah yang penuh dengan perasaan tidak aman. Bahkan bernapas lega pun tak bisa. Akankah semua berakhir bahagia? Atau dengan luka yang akan terus ada juga terpatri dalam hati, jiwa, dan raga? ©lthyasi | 2021