1

676 83 37
                                    

"Nyuwun Sewu, Raden. Raden ditimbali Tumenggung."

Seorang abdi dalam menginterupsi kegiatan membaca yang dilakukan oleh Jayendra Gardapati—seorang pria tinggi tegap nan gagah, putra dari Tumenggung Gardapati. Mengerti bahwa ayahnya memanggilnya, maka mau tak mau ia harus segera beranjak menghadap. Apalagi biasanya ini mengenai pekerjaannya di Kadipaten, baru-baru ini, Adipati telah merekomendasikan dirinya bekerja sebagai kepala bagian penyuplai kebutuhan bagi warga pribumi. Jay—panggilan akrab Jayendra Gardapati dari keluarganya— orang yang ulet dan cekatan, tentu saja kinerjanya cukup bagus dan namanya cukup terkenal di Kadipaten sebagai orang yang patut disegani.

"Inggih, mbok."

Jay menghadap sang Ayah yang sedang duduk bersama ibunya, Raden Ajeng Cendani Gardapati, di ruang utama kediaman Tumenggung.

"Saya datang menghadap Romo dan Ibunda."

"Hn. Duduklah, Jay." Titah sang Ayah.

Jay sangat menghormati kedua orangtuanya. Kelak ia akan menemukan wanita cantik yang seperti ibunya. Setia menemani sang Ayah.

"Bagaimana pekerjaanmu di Kadipaten, nak?" Tanya sang Ibu lembut.

"Saya merasa kesulitan namun orang-orang di Kadipaten membantu saya dengan baik."

Sang ibu tersenyum. Lembut. Khas wanita Jawa yang anggun. Jay sangat mengagumi ibunya, wanita Jawa yang kuat dan cerdas namun lemah lembut. Ibunya membuka sekolah membatik, yang tentunya hanya dihadiri oleh gadis-gadis bangsawan pribumi.

"Jay, Romo tahu jika kamu tidak menyukai para bangsawan belanda itu, tetapi Tuan Zander Van de Meer mengundang keluarga kita dalam pesta penyambutan anaknya yang baru datang dari Belanda lusa."

Jay menahan diri untuk tidak mengeluh dihadapan Ayahnya, tapi raut ketidaksukaan tidak pernah ia sembunyikan. Kumpeni adalah penjajah!

"Saya menolak, Romo. Romo tahu bahwa saya tidak pernah suka dengan para bangsawan Belanda. Saya tidak bersedia datang." Ucap Jay menyuarakan ketidaksetujuan.

Namun sang Ayah menggeleng.

"Jay, kamu tidak bisa menolaknya. Di situasi seperti ini kita tidak punya pilihan lain. Belanda telah menguasai kita sejak lama. Ratusan tahun. Kalau tidak bisa menempatkan diri, kita tidak akan bisa bertahan." ucap Tumenggung, Jay kesal.

"Itu munafik, Romo," sahut Jay.

"Itu politik, Jayendra."

Apa yang diucapkan Romo memang benar, Belanda sang penjajah sudah mulai menguasai daerah mereka. Tanah kelahirannya. Tanah jawa. Tidak ada yang dapat mereka lakukan, bahkan bagi para bangsawan pribumi sekalipun kecuali pandai menempatkan diri.

Jay menekan emosinya. Meluapkan pada Romo juga tidak ada gunanya. Pada akhirnya Jay menyetujui untuk pergi ke pesta tersebut, menekan egonya sendiri.

***

Raden Jay menunggangi kudanya santai dan pelan. Selepas menyelesaikan berkas-berkas sebagai ketua pengawas perbekalan kadipaten, ia segera melajukan kudanya yang ia berinama Wisnu Saka. Tugasnya tidak banyak namun cukup berat karena menuntut ketelitian. Perbekalan ini digunakan untuk menunjang ekonomi seluruh desa di kadipaten mereka.

Akan tetapi dibalik ketenangan itu, terdapat penuh kewaspadaan. Dua temannyaㅡRaden Seno, putra Adipati Mahasura, Raden Bian, putra Tumenggung Aryasatya dan Raden Ayu Swasti, putri Tumenggung Bahuwirya telah menunggu kedatangannya. Bersama mereka Jay mendirikan Sekolah Pribumi yang dibuat secara diam-diam tanpa diketahui banyak orang.

Pendidikan sangatlah mahal, hanya putra-putri bangsawan yang dapat mengecap pendidikan formal. Namun Raden Mas Bian, Raden Mas Seno, Raden Mas Jae dan Raden Ayu Swasti tidak berpikir demikian. Sebab mereka tidak ingin terus-terusan dijajah.

eaJpark x Wendy Red Velvet ; Wendy Van De MeerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang