Jisung tengah menulis sesuatu di selembar kertas. Ia menuliskan perasaanya hari ini pada selembar kertas itu. Sudah menjadi kebiasaannya menuliskan hari-harinya di selembar kertas. Kenapa tidak dibuku diary? Jawabannya karena ia tidak suka. Semua kertas yang ia tulis di taruh dalam amplop warna-warni yang akan ia beri hari dan tanggal. Untuk pengingat katanya. Jisung akan mengecek semua amplop sesuai dengan tanggalnya.
Kemarin Jisung menuliskan perasaan yang sudah ditahannya selama bertahun-tahun. Ia menuliskan nya pada satu kertas dan menaruhnya dalam amplop putih biasa agar tidak ada yang tertarik untuk membacanya. Tapi anehnya amplop itu sekarang tidak berada pada rak surat nya. Jisung sungguh bingung bagaimana amplop putih itu bisa tidak ada di tempat seharusnya. Jisung mengambil tas sekolahnya dan menuangkan semua isinya di atas kasur kesayangannya. Namun tetap tidak ada.
"Kemana sih? Jangan-jangan aku lupa masukin tas? Aduh, kan malu kalo sampai dibaca orang."
Seseorang mengetuk pintu kamar Jisung.
"Masuk aja"
Felix langsung masuk begitu mendengar suara Jisung. Ia memperhatikan Jisung yang sepertinya sedang mencari sesuatu.
"Lagi cari apa sih Ji?"
"Amplop putih Lix" jawab Jisung yang masih berusaha mencari amplop putih nya.
"Gue masukin loker orangnya" jawab Felix dengan enteng.
"Hah beneran?" Jisung udah nyerah buat nyari sekarang.
"Beneran" Felix nyengir aja. Takut Jisung marah sebenernya dia.
"Nanti kalo dia baca gimana? Kok Lo main masukin loker dia aja sih? Kan malu banget kalo dia baca"
"Maaf Ji, gue cuma pengen Lo tuh gak mendem perasaan Lo lagi. Dan lagian tuh amplop gak ada menarik-menarik nya sedikit pun jadi gak mungkin dia bakal baca surat Lo itu." Felix ngomong sambil nunduk.
"Iya gue maafin. Tapi bener juga sih, mana mungkin dia baca surat gue padahal surat lain lebih menarik. Lagi pula di surat itu gak ada nama gue jadi dia gak akan tau. Kenapa gue mesti panik ya dari tadi." Jisung memasukan lagi barang yang tersebar di kasur nya.
"Ji, Lo beneran mau nyerah?" Tanya Felix tiba-tiba. Ia dan Jisung sudah tiduran di atas kasur Jisung.
"Nyerah buat?" Tanya Jisung yang tidak tahu arah pembicaraan Felix.
"Nyerah buat suka sama Hyunjin." Felix menatap Jisung yang lagi liatin atap kamar nya.
"Iya, lagian dia juga udah ada yang punya." Jisung tersenyum kecil.
"Mungkin aja mereka putus nanti"
"Emang nya kalo mereka putus Hyunjin mau gitu sama gue? Gak bakal lah. Dari Jeongin ke gue tuh kaya anjlok banget gitu. Gue mah kentang, gak akan bisa sama pangeran sekolah kaya Hyunjin." Jisung memejamkan matanya.
"Kok ngomongnya gitu sih Ji. Lo gak boleh ngerendahin diri sendiri."
"Kenyataan nya gitu Lix. Jeongin sama gue tuh kaya langit sama tanah."
"Lo tuh punya pesona Lo sendiri jadi gak usah bandingin diri Lo sama Jeongin. Tapi apapun keputusan Lo gue bakal dukung." Felix menyemangati Jisung.
"Iya iya makasih Lix"
Jisung milih buat nutup matanya. Otaknya memikirkan apakah menyerah adalah pilihan yang tepat? Apakah memang benar tidak akan ada kesempatan untuknya?
Kalau memang jodoh tidak akan kemana kan? Jadi doakan saja agar mereka berjodoh.🦊🦊🦊
Hyunjin melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Jam menunjukkan pukul 7.20 yang artinya ia hanya mempunyai waktu 10 menit untuk sampai disekolah. Ia masuk kelas setelah bel berbunyi. Sangat menyebalkan ternyata guru yang mengajar pada jam pertama tidak masuk. Sia-sia Hyunjin melajukan motornya secepat itu sampai ia harus berlarian menuju kelas.