Bau karbol bercampur dengan bau obat-obatan yang selalu menjadi ciri khas rumah sakit akhir-akhir semakin akrab berteman dengan penciuman Jamie. Bukan karena ia sedang menjalani pengobatan karena penyakit atau semacamnya. Bukan juga karena Jamie ingin mendadak banting stir jadi petugas kesehatan. Bukan. Alasan Jamie betah dan selalu kembali ke salah satu rumah sakit terbesar di kota ini adalah gadis pemilik tawa menyenangkan yang merupakan tetangganya sejak kecil dulu. Dan kebetulan juga gadis pemilik hatinya saat ini. Ah tidak, maksud Jamie, pemilik hatinya sejak ia mengerti apa itu namanya jatuh hati.
Gadis itu kerap disapa dengan nama Sharon oleh teman-temannya, namun Jamie lebih suka memanggil gadis itu dengan Tata. Nama panggilan gadis itu saat dirumah, diambil dari kata Callista yang merupakan nama belakangnya. Lebih tepatnya Jamie memanggil gadis itu dengan sapaan Kak Tata, karena usia mereka yang terpaut tiga tahun.
"Kak Tata disini." Jamie melambaikan tangannya dan bangkit dari kursi koridor yang sedari tadi ia tempati untuk menunggu gadis yang masih saja terlihat sangat cantik meski rambutnya hanya dicepol asal bahkan dengan beberapa anak rambutnya yang sudah menempel di dahinya akibat lepek.
"Jamie yaampun gue capek banget gila. Teman jaga gue bau banget masaaa. Lo bayangin ya gue jaga dari jam tujuh pagi tadi sampai sekarang jam dua siang gini belum sempat duduk sama sekali. Gila yaa pasien datang ga berhenti sama sekali. Buat gue kan ini bobanya?" Gadis itu langsung mengambil gelas minuman yang Jamie letakkan disamping tempatnya duduk tadi.
"Santai sih kak, gue belum bilang itu minuman buat lo udah main minum aja." Jamie tergelak saat melihat gadis itu langsung menandaskan setengah gelas Minumannya bahkan tanpa menunggu persetujuan Jamie.
"Bodo, mau punya siapa juga gue ga peduli. Haus banget gue." Sharon melirik sekilas jam tangannya dan berdecak sebal, "Yok lah kita ke kantin aja, gue cuma dikasih waktu setengah jam buat makan."
Jamie hanya menghela napas dan mengikuti langkah tergesa-gesa gadis itu. Memang selalu begini. Sejak Sharon menyelesaikan pendidikan pre-kliniknya dan memasuki masa koas, Jamie selalu kesulitan mencari waktu untuk menemui gadis itu. Hidup gadis itu tak jauh-jauh dari rumah sakit. Malam di rumah sakit, weekend di rumah sakit, bahkan saat mahasiswa yang lain sedang liburan semesterpun Sharon tetap saja dirumah sakit. Makanya mau tak mau Jamie mulai akrab dengan suasana rumah sakit.
"Lo weekend depan jaga ga kak?"
"Hmm? Kayaknya engga deh, gue udah dua minggu berturut-turut kebagian jatah weekend. Tapi bentar deh gue cek dulu."
Gadis itu mengeluarkan ponselnya, lalu sibuk menyapukan jarinya pada layar. Sementara Jamie, sembari menunggu gadis itu mulai mengeluarkan makanan yang ia bawa. Ada nasi merah, tumis wortel dan buncis, serta ayam panggang yang tampaknya terlalu sehat untuk dikatakan enak. Menu makanan yang selalu membuat Jamie menggeleng. Bisa-bisanya ya cewek ini makan makanan seperti ini. Katanya Sharon sih mau menurunkan berat badan, padahal Jamie heran apalagi yang mau cewek itu turunkan. Sharon tak terlihat gendut sama sekali dimata Jamie. Mau gendutpun sebenarnya tak masalah, Sharon tetap terlihat sempurna kok.
"Tuh bener kan, gue jaganya jumat malam, sabtu sama minggu gue free. Akhirnya ya weekend gue. " Sharon mulai menyendok makanannya dan memasukkan sesuap besar ke mulutnya, "Oh iya gue udah cerita belum sih Jam? Senior gue yang pernah gue ceritain itu ngajakin jalan hari minggu ntar. Gue udah deg-degan dari sekarang masa. Duh, kebayang ga sih lo Jam? Crush gue dari jamannya maba dulu akhirnya notice gue. Thanks to ruang OK yang bikin si koas anestesi dan koas bedah akhirnya ketemu."
Jamie tertawa hambar, sembari menyodorkan minum pada gadis di depannya. Iya, ada yang lupa ia ceritakan sejak tadi. Gadis ini memang pemilik hati Jamie, tapi sayangnya jelas sekali Jamie bukan pemilik hati gadis cantik ini. Selamanya bagi Sharon, ia hanyalah tetangganya yang telah ia anggap sebagai adik sendiri sedari kecil dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream
Fiksi RemajaKatanya bila bermimpi harus setinggi-tingginya Katanya juga semakin tinggi mimpi, semakin terjal pulalah jalan yang harus di lalui Tapi apakah mimpi harus melulu tentang cita-cita? Bagaimana dengan cinta? Apakah cinta juga bagian dari sebuah mimpi? ...