Hari di mana Jungkook membuka pintu kamarku seakan petugas polisi yang sedang bertugas menangkap oknum pengedar narkoba, lalu kemudian terjun bebas ke atas kasur, menjamahnya tanpa peduli bahwa itu mungkin baru saja dibereskan dengan ogah-ogahan.
Jika sudah seperti itu, hanya ada dua premis abal-abal yang membuatnya begini,
Pertama, saat Kak Yoongi memilih mengecup keningnya tanda selamat malam ketika Jungkook sudah naik ke kasur duluan--berniat menggoda.
Kedua, saat dia peduli, dalam arti yang ambigu, pada kehidupan personalku.
Melirik warna merah yang mengintip malu-malu dari leher anak itu, maka tidak mungkin yang pertama. Ditambah, kemarin sejarah baru terukir paksa--Kak Jimin mengantar seorang Taehyung pulang.
Dapat disimpulkan dia datang ke sini untuk menginterogasiku.
"Bagaimana kemarin? Apa kalian berciuman di depan pagar?"
Kan.
"Hentikan pikiran vulgarmu! Belum cukup diserang oleh Kak Yoongi?"
"Dia kasar, seperti biasa. Dia menggigit secara brutal, aku nyaris putus asa menutupi bekasnya dengan foundation dan conceler"
"Demi tuhan, kamu baru tujuh belas!"
Bukan apa-apa, anak kecil ini sudah berpetualang jauh sekali. Sudah mencoba kenikmatan duniawi yang bahkan aku tidak mengerti di bagian mana yang menawarkan kenikmatan? Mereka berdua gila.
"Ya, itu legal, bukan?"
"Tidak kalau kamu tinggal di Korea"
Jungkook mendengus, dapat kulihat tadi dia sempat memutar bola matanya tidak sopan.
"Simpan saja ceramahanmu, aku tidak minat mendengarnya"
"Lakukan pengecekan hiv, aku khawatir padamu"
Melunak, Jungkook mengangguk.
"Jadi, bagaimana?"
Aku menghela nafas. Merangkak ke atas kasur untuk ikut berbaring di samping Jungkook. Dia melempar ponselnya, kini atensi fokus padaku.
"Kemarin... cukup menyenangkan"
+++
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh, rasanya seluruh indera luluh lantah tatkala Kak Jimin untuk kesekian kalinya melebarkan senyum sebelum menyuruhku naik ke motornya.
Tidak sampai di sana, dia sengaja, atau barangkali ini hanya perasaanku saja, kerap mengerem secara dadakan, bukan hanya saat lampu lalu lintas berubah merah, juga saat ada orang yang menyeberang jalan atau kelepasan menyalib kendaraan besar yang lain.
Aku menilai, cara mengemudi seperti ini sangat kasar dan terkesan ugal-ugalan. Berbeda dengan Kak Yoongi yang walau tampang sangar namun orang yang teliti dan berhati-hati.
"Kamu oke?"
Aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas, jadi aku melanturkan pertanyaan, "apa?!"
Udara malam yang dingin secara konstan menghantam tubuhku, rasanya seperti sedang terjun dari tebing menuju jurang. Memang benar, sebab yang ada dalam bayanganku kini hanya tentang ruang UGD rumah sakit atau pemakaman.
"Kamu oke?!"
Kali ini aku dapat mendengarnya walau samar, lantas aku memberinya jawaban;
"Jangan hiraukan aku"
Kak Jimin tidak memberi jawaban verbal, hanya tarikan gas yang bertambah yang membuat aku nyaris terjungkal jatuh ke aspal. Genggaman tanganku pada jaket Kak Jimin mengerat, refleks memejamkan mata, belum cukup berani untuk menyaksikan kematianku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
bukan cinta adalah ilusi
FanfictionAku berniat untuk pergi, tidak mau mengambil resiko dipergoki oleh orang lain-apalagi jika orang itu adalah Jiminnya sendiri. Saat aku mengangkat wajah, hendak berbalik kembali ke kelas, mata kami bertemu. Seperkian detik, hanya seperti itu. Hingga...