03. Alasan

50 9 0
                                    

Berulang kali aku membuang berlembar-lembar kertas yang telah tergores dengan tinta berwarna biru. Frustrasi, itu yang aku rasakan. Tak tahu dari mana aku harus memulainya dan apa yang harus kutulis.

Apa yang membuatku tertarik kepadamu? Aku mencoba mengingat lagi ke saat itu. Saat kamu yang sedang melamun memandang langit biru di sampingku.

"Jen, kamu lihat tidak?" Tanyamu.

"Apa?" Aku yang tidak tahu apa yang dimaksud olehmu ikut melongok ke jendela.

"Itu. Awannya berbentuk kucing. Kamu tidak lihat?" Tunjukmu pada awan yang bergerak kemudian menoleh padaku.

"Tidak lihat, Jaemin... yang kulihat hanya jari telunjukmu yang besar," ledekku kemudian menurunkan telunjuk Jaemin.

"Hei! Menyebalkan," katamu sebal kemudian menyandarkan punggungmu dan melipat tangan di depan dada. Aku terkekeh.

"Langit hari ini cerah sekali. Kenapa, ya?" Gumammu. Aku hanya mendengarkan. Aku pun tidak tahu jawaban dari pertanyaanmu. "Apa karena hari ini jam kosong, ya?"

Aku memandangmu bingung. Pikiran aneh macam apa itu?

"Langit tahu kalau kelas kita sedang senang hari ini karena jam kosong, jadi langit ikut berbahagia," kamu tersenyum memandangi langit biru, "lihat, matahari juga bersinar sangat cerah. Padahal kan bulan ini sedang musim hujan."

Yang dikatakan Jaemin ada benarnya. Bahkan tak jarang juga akhir-akhir ini kami sering terjebak hujan setelah bel pulang sekolah yang membuat kami harus menunggu hujan reda.

Aku ingat juga saat kita terjebak hujan di halte bus depan sekolah. Kamu mengatakan dengan raut wajah yang sedih bahwa kelinci peliharaanmu baru saja kabur entah ke mana. Kabur saat hujan turun katanya. Kamu khawatir mungkin akan terjadi hal-hal buruk pada kelinci kesayanganmu dan itu terus berlanjut selama beberapa hari. Di sekolah kamu selalu murung dan hatiku sakit melihatnya.

Sejak itu kamu mengatakan bahwa kamu kurang menyukai hujan.

"Biru sekali. Aku suka kalau langit cerah seperti hari ini," katamu kemudian menoleh padaku, "kalau kamu?"

Kalau boleh jujur, saat itu aku ingin berkata bahwa aku lebih menyukai senyummu yang lebih cerah dibanding langit hari itu. Namun, akhirnya aku menjawab hal yang sama denganmu―langit biru―yang sampai saat ini setiap aku melihat ke langit biru, aku akan teringat senyummu. Sekarang pun aku dapat melihat awan berbentuk kucing yang pernah kamu tunjuk waktu itu.

Dengan kekuatan imajinasi tentu saja.

Kalau aku bisa mengatur cuaca, tentu saja setiap hari aku akan membiarkan langit tetap biru dan cerah seperti hari itu agar kamu tidak sedih dan murung karena hujan.

Sejak saat itu pun, aku menyukai warna biru dan langit yang selalu mengingatkanku tentang dirimu.

Alasanku memakai tinta berwarna biru saat menulis surat ini pun tentu saja karena dirimu, si pengagum langit biru.

Tentang SuratkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang