Di tahun terakhir masa SMA, aku berada di kelas yang berbeda dengan Jaemin setelah 2 tahun menjadi teman sekelas dan sebangkunya. Sedih, pasti. Jaemin pun juga menyayangkan bahwa kita harus pisah kelas.
"Jeno, jangan khawatir. Kita masih bisa bermain dan makan siang bersama saat jam istirahat nanti," katamu menenangkan sambil menepuk-nepuk bahuku.
Kelas kami berada di gedung yang berbeda, lebih tepatnya berseberangan. Seperti saat kami sekelas dulu, kami memilih bangku di dekat jendela. Aku dapat melihatmu dengan jelas, setidaknya aku tahu bahwa kamu ada di sana.
Kini aku duduk sebangku dengan Renjun, murid baru pindahan dari China setahun lalu. Ia sangat ramah dan sangat mudah bergaul. Aku mengenalkannya pada Jaemin dan kami berteman sekarang.
Jaemin setahuku di kelas barunya duduk sebangku dengan Haechan. Ia teman sekelas kami saat di tahun pertama. Jaemin cukup dekat dengannya, namun tidak denganku. Kami tidak sefrekuensi.
Di tengah pelajaran selalu saja kepikiran. Biasanya aku yang bisa memandang wajah sampingmu dari dekat, kini aku harus memandangnya dari jauh.
Aku tinggikan buku pelajaranku untuk menghalangi pandangan guru lalu melirik kamu di seberang sana. Kamu sedang terlihat sangat serius mendengarkan guru. Mungkin sadar diperhatikan, kamu menoleh. Kita pun saling memandang dan kamu tersenyum. Senyuman yang selalu berhasil membuatku tenang sekaligus berdebar. Kami pun kencan selama 5 detik.
Setiap bel sekolah berbunyi, sekarang terdengar seperti lagu cinta di telingaku. Terdengar hiperbola memang. Kenapa? Karena hanya pada jam istirahat dan pulang sekolah saja aku dapat bertemu Jaemin. Selebihnya kami hanya saling melirik atau aku yang memandangnya diam-diam ke luar jendela.
Tok tok tok
Aku menoleh, sudah ada Jaemin yang tersenyum di samping mejaku dan Renjun. Ia selalu menjemputku untuk makan bersama. Ya, ia barusan mengetuk meja Renjun.
"Jaemin, ini bukan pintu," kata Renjun heran dengan kelakuan Jaemin. Sementara Jaemin hanya nyengir menampilkan gigi kelincinya yang manis. Favoritku.
"Ayo, cepaaaat! Aku sudah lapar!" Serumu tak sabaran.
"Haechan ke mana? Tidak ikut?" Tanya Renjun dengan bahasa Korea yang sangat fasih. Ia cepat sekali belajar.
"Nanti menyusul. Tadi setelah bel berbunyi ia langsung kabur ke toilet. Sakit perut katanya," jawab Jaemin.
Kita sempat tertawa karena membayangkan bagaimana ekspresi Haechan yang menahan sakit perut selama jam pelajaran. Maaf, Haechan.
Di kantin sudah sangat ramai dengan para siswa/i yang kelaparan. Menu hari ini adalah nasi, sup, daging, lengkap dengan kimchi. Uap sup yang panas membuat kacamataku berembun. Jaemin yang melihat itu tertawa kemudian melepas kacamataku dan mengelapnya.
Aku yang mendapat perlakuan itu jujur tercengang. Lagi dan lagi, jantungku berdebar sangat kencang.
"Nah, sudah," gumammu sambil memasangkan kembali kacamataku dan tersenyum.
Karena grogi, ucapan terima kasihku menjadi terbata. Kutundukkan kepalaku dan bisa kupastikan wajahku kini pasti sangat merah sampai ke telinga.
Aaaaahhhhh dampak dari seorang Na Jaemin begitu besar bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Suratku
FanfictionBiasanya aku tidak pernah mau mengirim surat, tetapi tiba-tiba aku ingin menuliskannya padamu. Apakah kamu mau membacanya?