04. Foto

38 7 0
                                    

Masih melamun memikirkan hal-hal tentang dirimu, aku mencoba untuk berbicara denganmu. Kalau mengingat kembali ke masa-masa itu, entah kenapa aku jadi tersipu malu. Rasanya menyenangkan sekali bisa bersamamu.

Kutarik laci meja belajarku dan mengambil sesuatu dari sana. Fotomu yang kuambil di malam festival musim panas. Aku tersenyum saat mengingat kejadian di balik foto ini. Pandanganku menerawang, dibawa kembali ke hari itu.

Minggu pagi kamu sudah menghujaniku dengan belasan pesan yang berisi ajakan dan cacian untukku karena belum bangun dari tidur. Aku terbangun saat tiba-tiba ada telepon masuk darimu yang mengharuskanku membuka mata. Tadinya aku ingin marah, namun kuurungkan ketika tahu bahwa kamu yang menelepon.

"Jeno, Jeno, Jeno, Jeno! Bangun! Sudah pagi!" Teriakanmu menyambut gendang telingaku.

"Iya, aku tahu. Ada apa?" Tanyaku sambil mengucek mata.

"Aku ingin mengajakmu ke festival musim panas hari ini. Mau?"

Sejenak aku berpikir. Apakah kamu sedang mengajakku untuk berkencan?

"Akan ada kembang api nanti malam. Aku ingin lihat, tapi tidak tahu harus mengajak siapa. Eh, kemudian aku teringat kamu. Mau tidak?" Tanyamu di seberang sana. Aku masih berpikir. Untuk seorang introvert sepertiku rasanya malas sekali pergi ke tempat ramai.

"Nanti kita jajan sebanyak-banyaknya, Jen! Akan ada banyak stand makanan dan permainan," aku masih diam mendengarkan, "kalau kamu diam saja berarti kamu setuju untuk ikut. OK?"

"Huh? Hei! Apa-apaan? Tidak bisa beg-"

"Sampai jumpa nanti sore!" Telepon diputus sepihak. Aku yang baru bangun tidur masih setengah sadar dengan apa yang baru saja terjadi.

Jaemin mengirimiku pesan kemudian yang mengatakan untuk bertemu di halte bus dekat Sungai Han. Kira-kira aku akan berangkat sekitar jam 5 sore. Jaemin ingin jalan-jalan berkeliling festival sambil berkuliner dan melihat sunset. Satu hal yang kutahu dari seorang Na Jaemin adalah ia suka sekali dengan langit.

Beberapa kali kami bersepeda bersama dan tak lupa ia selalu membawa kamera kesayangannya. Sesekali ia memotret langit atau apapun yang menarik matanya. Dari situ pun aku sadar, sepertinya aku tidak menarik, ya? Kameranya tak pernah sekali pun tertuju padaku.

Sore itu aku menunggu Jaemin di halte bus Sungai Han. Kulihat orang-orang berlalu-lalang menuju festival dan terlihat bahagia. Beberapa kali juga aku melihat pasangan yang bergandengan tangan membuatku tersipu. Haruskah aku melakukan hal yang sama pada Jaemin? Aku takut Jaemin hilang di tengah keramaian.

Tak lama ada bus datang. Kulihat Jaemin turun dari bus itu dengan kaos putih yang dibalut kemeja biru bergaris putih dan celana jeans, tak lupa juga tas kameranya. Manis sekali. Tak jarang aku dibuat terpana olehnya. Aku menyambutmu dengan senyuman.

"Jeno, sudah lama? Maaf, ya... macet sekali sore ini," katamu dengan raut wajah tak enak karena sudah membuatku menunggu.

"Tidak, aku juga belum lama sampai," kataku berbohong. Maaf, Jaemin. Aku sebenarnya sudah menunggumu selama 25 menit. Sepertinya aku yang terlalu bersemangat karena tidak berangkat seperti yang kamu jadwalkan.

Kami pun akhirnya berjalan menuju festival. Ramai sekali, namun meriah. Sebenarnya aku pernah datang ke festival musim panas ini beberapa kali saat kecil, setelahnya tidak pernah lagi sampai akhirnya hari ini Jaemin mengajakku.

Rasanya tidak buruk dan selalu menyenangkan jika pergi bersama orang yang disayangi.

Kami melakukan banyak hal. Membeli makanan, bermain beberapa permainan, dan tentu saja aku selalu mengikuti Jaemin yang sibuk memotret ke sana dan ke mari. Menemaninya seperti ini rasanya sudah cukup, asal ia senang.

Saat kami sedang berkeliling lagi, tiba-tiba acara kembang api dimulai. Kamu ingin sekali dipotret dengan background kembang api.

"Jeno, tolong foto aku!" Katamu setengah berteriak karena berisiknya suara kembang api kemudian berlari kecil ke tengah kerumunan yang sedang menyaksikan kembang api.

Aku sempat dibuat bingung, namun kukeluarkan juga ponselku untuk memotretmu.

Aku mengambil banyak fotomu. Banyak juga pose yang kamu keluarkan. Seperti merentangkan tangan, tersenyum dengan sangat lebar, dan tentu saja pose peace yang sangat umum.

Kamu menghampiriku dengan senyuman yang tak pernah luntur. "Ayo, kita foto bersama. Selfie saja."

Aku yang tidak terbiasa selfie hanya bisa tersenyum kikuk ditambah jarak kita yang sangat dekat membuat jantungku berdebar sangat kencang. Semoga suara kembang api menyamarkan suara debaran jantungku.

Setelah pulang dari festival, kamu minta dikirimi fotomu bersama kembang api, namun tidak dengan selfie kita berdua. Aku agak sedih sejujurnya, namun entahlah. Mungkin kamu lupa.

Fotomu dan kita akhirnya kucetak tanpa sepengetahuanmu tentu saja. Jaga-jaga jika memori handphoneku terhapus, aku tidak mau jika harus kehilangan foto-foto itu.

Terima kasih atas hari itu, sangat menyenangkan.

Tentang SuratkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang