"Kalo punya teh begini jangan di anggurin pak!" Ujarnya seraya membereskan bagian dapur ruangan gue ini.
Gue baru ingat,bahwa ia hanya membersihkan bagian ruang kerja bukan balkon apa lagi dapur itu. "Saya jarang buat minuman disini." Jawab gue datar.
"Jadi mendingan beli ketimbang bikin,kayanya bapak harus punya pembokat deh nih. Haha." Gue menyesap pelan teh hijau buatannya,ah bukan ini buatan pabrik dia hanya mencapurnya dengan air panas dan sedikit gula.
"Ya bukan begitu juga." Bintang berdiri dari kursi dihadapan gue dan berjalan ke arah pintu kaca balkon. "Kok dikunci pak?,padahal ini bagus loh."
"Saya gak pernah buka pintu itu." Bintang terlihat bingung kemudian berbalik menatap gue. "Pasti ada something yang gak bisa di bicarakan. It's ok. Saya beli obat dulu deh kalo gitu."
Ia beranjak mengambil tas dan berlalu dari hadapan gue yang diam karena badan yang lemas. Sudut bibir gue terasa berat dan sangat nyeri,jujur gue gak tau salah gue apa sampe bisa sebabak belur ini.Kejadian beberapa jam lalu itu bikin gue gak nyaman dan bengkak itu berakibat pada tubuh gue yang terasa seakan meriang. Tapi teh ini sejenak membuat tubuh gue rileks dan nyaman. Gue menelphone dosen pengganti untuk memperpanjang waktu mengajar gue diruang lain. Gue butuh istirahat lebih.
"Permisi...""Pak Steve?masuk." Gue bangkit dari sandaran kursi kerja karena mendapati Pak Steve di depan pintu. Gue rasa ini ada hubungannya dengan tragedi tadi pagi.
"Maaf pak,saya baru saja mendengar kabar buruk yang pak Raka alami barusan dari Rektor kampus." Gue mendengarkan dengan seksama dengan sesekali menahan linu."Setelah diselidiki orang yang memukul pak Raka tadi itu adalah orang suruhan dari mantan pacar saya. Dia mengira bahwa pak Raka ini adalah saya,sebab memang saya dan pak Raka kebetulan menggunakan kemeja yang mirip." Jelasnya yang membuat gue semakin geram dengan orang yang membuat gue babak belur tiba - tiba dan tanpa perlawanan,karena orang itu langsung ditangkap sesaat setelah kejadian pemukulan itu oleh beberapa mahasiswa yang kebetulan lewat didekat gue.
"Hari ini saya memang akan datang pagi,tapi tiba - tiba saya ada keperluan yang mendadak dan tidak bisa ditinggal. jadi,saya baru sampai tadi. Saya benar - benar kaget dan merasa tidak enak. Saya minta maaf atas kejadian ini pak Raka." Gue berpikir sejenak dan rasanya ingin sekali marah. Tapi pak Steve sudah menjelaskan semuanya bukan?
Gue mencoba menarik napas pelan dan berkata,"saya sudah maafkan pak,lagian yang memukul saya juga buka pak Steve dan saya juga sudah tidak ingin membahas itu sebenarnya."Pak steve mengeluarkan beberapa lembar uang sebagai ganti rugi dan biaya rumah sakit. Tapi gue menolaknya,bukan angkuh. Bagi gue kata maaf mungkin cukup,dan gue harap tak ada sangkut paut dengan masalah itu lagi. "Tidak usah pak Steve,saya sudah di obati tadi oleh Bintang yang kebetulan lewat."
"Permisi..." suara gadis itu terdengar setelahnya,"oh lagi ngobrol maaf pak!" Tambahnya dan keluar dari ruangan.
"Oh kalo begitu sekali lagi saya minta maaf pak Raka,sepertinya saya juga ada jam jadi saya permisi." Gue mengangguk dan mempersilahkannya undur diri.
Gadis itu berganti masuk setelah melihat pak Steve keluar ruangan,matanya tak beralih dari punggung Steve yang semakin menghilang dari ujung lorong. "Ehemm,ehmm.""E-eh,maaf pak untung gak kaya kopi."
"Hah?,maksudnya?"
"Itu loh kopi nubruk."
"Kopi tubruk Bintang." Gue mencoba membenarkan kalimatnya yang gue rasa dia pun tahu,dan hanya bergurau demi tak ada kesenjangan. Gue mencoba menahan tawa,dengan berdehem pelan kemudian beralih fokus dengannya.
"Saya beliin bapak paracetamol,amoxcillin sama jeruk,roti dan hmm,cokelat." Ia mengeluarkan beberapa barang belanjaan dari totebagnya. Gue menatap heran satu batang cokelat mete di antara yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Ambyar ✔
RandomGak ada yang lebih menyebalkan selain berhadapan dengan manusia super dingin dan angkuh seperti laki - laki itu. "tapi gue pastikan,hidup dan ke egoisan lo akan ambyar pada waktunya." Tunggu,ini terlalu jahat gak sih? gue rasa makhluk sejenis dia...