Badai yang menerpa Jakarta berhenti, dia pergi meninggalkan duka. Seorang gadis masih terlelap tidak sadarkan diri. Suara tetesan infus memecah hening di kamar besar tersebut. Vinsensia mulai terbangun perlahan. Sedikit demi sedikit dia membuka kedua matanya. Dia hanya dapat merasakan pusing, Vi tidak dapat mengingat apapun.
"Aw, dimana gua?" Dia memicingkan mata menahan rasa sakit. Bertanya-tanya dimana dia sekarang? Apa yang terjadi? Vinsensia mencoba mengingat semua kejadian yang tersimpan dalam short-term memory.
Sebelum dia tampil,
Seorang floor director menyurnya untuk bersiap. Dengan dorongan semangat dari Nike, Vi melangkah mantap, lalu sekali melihat ke belakang untuk tersenyum pada kamera hp Nike. Vinsensia maju pada posisinya sama seperti saat GR tadi sore. Vinsensia pejamkan matanya, lalu menghela nafas.
"Oke kita mulai,"
Lampu sorot di atas kepalanya mulai menyala. Dawai violin dia gesekan secara perlahan dan lembut. Busur di tangan kanannya dengan lincah memainkan melodi yang tidak asing di dengar oleh penonton. Sorak sorai penonton bertaut dengan nada violin miliknya. Seperti biasa, magisnya suara violin mendayu menyedihkan hati.
Semua terbuai oleh permainan violinist perempuan yang ada di atas panggung. Koreografi serta effek yang di berikan berpadu menjadi sebuah keindahan visual yang memukau. Semua penonton tersihir dan bersorak untuknya. Walau dia merasakan ada yang tidak beres pada dirinya sendiri. Vinsensia tetap melanjutkan penampilannya.
Vinsensia bernegosiasi dengan dirinya mencoba bertahan. Hanya kata yang dapat mendorong semangatnya. Tangan sudah gemetar, kesadaran sudah di ambang batas. Dia tidak ingin mengacaukan penampilannya serta konser ini. Vi, terus berusaha melawan semua kelemahannya. Hingga dia sudah tidak mampu mengalahkan takdir, Vi kehilangan ke sadaran sesaat setelah lampu sorot diatas panggung padam.
Hanya kejadian itu yang bisa dia ingat. Seberapa keraspun Vinsensia mencoba, hanya sampai sana memorinya tersimpan. Sisanya semua hitam hingga ia tersadar dalam ruangan ini.
❄
Nike hilir mudik di depan pintu ruang UGD. Dia masih menunggu dengan cemas keadaan Sahabatnya, sedangkan ibunda termenung memikirkan keadaan anaknya. Esta mendapat penjelasan dari Nike bahwa Vinsensia langsung terjatuh tak sadarkan diri setelah lampu sorot di matikan. Nike, dibantu oleh kru di atas panggung membawa Vinsensia ke ambulan. Ketika di dalam ambulan barulah dia mengangkat telephone Esta.
Derap langkah pantofel terdengar dari kejahuan. Pria dengan jas hitam serta dasi yang sudah di turunkan sedang berlari menghapiri Nike dan Esta di depan ruang UGD. "Bagaimana keadaannya, Vi?" Mendengar suara itu kedua wanita tadi langsung melihat asal suara tersebut.
"Pa, mereka sedang memeriksanya." Esta langsung berdiri menyembut Gentala yang baru sampai. "Om," Nike menyapa Pria dengan rambut yang sudah acak tidak seperti biasanya.
"Nike bagaimana kejadiannya?" Gentala langsung bertanya dengan Nike yang ada di depannya.
"Jadi, Om, Vi tiba-tiba pingsan ketika baru saja meyelesaikan penampilanya di atas panggung. Aku juga tidak tau, padahal saat baru sampai di hall dia masih baik-baik saja, tidak ada yang berubah. Dia masih Vinsensia yang menyebalkan Om."
"Apa jadwal kalian lagi padat?"
"Hmmm, Enggak kok, Om." Nike langsung melihat hpnya, mengecek jadwal yang sudah dia buat. "Kaya biasa, enam satu. Enam job satu hari libur, beberapa job juga enggak terlalu padat, paling Cuma manggung biasa paling tiga sampai empat kali aja om." Nike menjelaskan sambil memperlihatkan jadwal pekerjaan yang dia terima di layar Hpnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary's V
Teen FictionHallo, Gua kembali dengan karya asal asalan. yang sok-sokan mengangkat isu psikologi. Diary ini akan berisi kisah kehidupan Vi bersama dengan keluarganya. Beserta orang orang terdekatnya. Ketika mereka semua menghadapi The Five Stage of Grief(Dr...