OT.TO

10 2 0
                                    


Ramai riuh sebuah kampung pinggir kota di pagi hari. Suara teriakan ibu-ibu yang menerikai anaknya agar cepat bersiap untuk pergi sekolah. Ada juga kumpulan wanita paruh baya yang sedang berbelanja sambil bertukar informasi mengenai lingkungan, tentanga, dan warga sekitar yang bahkan mereka belum terlalu mengenalnya.

"Otto, bangun! Bantuin Emak, bawain kue ke tempat Buyung!" Teriakan wanita yang berusia hampir setengah abad, di sebuah rumah dengan halaman kecil di sudut kampung. Tangannya sedang sibuk memasukan kue basah buatannya kedalam plastik.

"Iya, Bentar!"

Teriakan dari dalam kamar yang banyak di penuhi lukisan-lukisan. Ada juga beberapa hasil foto yang di ambil acak, serta bendera dengan logo macan kubang. Dinding kamarnya banyak coretan asal menggunakan pilok, spidol, pulpen apapun yang menurutnya keren. Mungkin orang awam akan melihat itu sebagai vandalisme, tapi dia akan melihat itu sebuah karya seni.

Seorang anak muda bangun dengan wajah masih mengantuk, karna tidur hanya dua jam hari ini. Rambut dengan poni yang acak acakan. Berjalan terlunta keluar kamarnya menuju dapur untuk membantu ibunya mengatar dagangannya kesebuah warung kopi di daerah rumahnya.

"Mana Mak, yang musti di anter?" Mata masih belekan, tangan yang menggaruk garuk belakang kepala sambil bersandar pada tembok. aura malas sangat kuat terpancar darinya.

"Lu, cuci muka dulu sono. Muka udah kaga karuan bentukannya macem gembel aja! Abis itu anterin tuh se pelastik ada tiga puluh kue." Ibunya memunjuk sebuah kantong plastik di atas meja makan dekat dapur. "Jangan lupa ambil duit sama sisa kue kemaren."

"Oke Mak, Demplon." Kalimat asal yang keluar dari mulutnya. Dia mendekat ke ibunya yang sedang duduk untuk pamit. "Salammulaikum." Sambil mencium tangan ibunya.

"Walaikumsalam,"

Otto Wagindra Bastian seorang pemuda semester akhir di tahun terakhirnya kuliah. Otto berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di jakarta dengan jurusan Seni rupa. Kuliah serta hidupnya sempat sangat berantakan karna kematin sang ayah saat tugas negara beberapa tahun lalu. Walau sempat terpuruk Otto bisa melewati itu semua dan kembali bangkit untuk menjalankan hidupnya.

Dengan motor tua kesayangannya Otto berjalan ke sebuah warung Kopi tempat biasa dia kumpul bersama para sahabatnya. Knalpot bersuara agak bising itu melewati sempitnya gang perkampungan. Wajah datar yang terlihat cool sengaja dia pasang. Sesekali tersenyum ketika ada tetangga yang dia kenal, atau saat berbasa basi meminta izin untuk lewat di antara kerumunan warga kampung.

Sebuah motor Maung 3000 baru saja sampai di sebuah warung kopi pinggir jalan dekat sebuah ruko tempat dimana dia dan teman temannya suka berkumpul. Di sini juga dia menghabiskan banyak waktunya bila sedang malas kuliah atau butuh udara segar agar tidak ditanya "Kapan Lulus?" Oleh Emak-nya.

"Yung, ini kue Emak." Teriak Otto ketika baru mematikan motornya.

"Orang mah mudun sek toh, gimana si kowe, To To."

"Ye, sabar dong Buyung! Ga tau apa gua baru tidur bentar doang terus di suruh bangun lagi sama emak." Gerutu Otto sambil membawa kantung berisi kue. "Nih, jangan lupa duit yang kemaren." Dia duduk di dalam warung kopi itu.

"Emang, nganti jam piro semalem?" Buyung mengambil pastik yang di letakan Otto di atas meja. Dia selaku salah seorang pemilik sekaligus pekerja warung kopi yang beroperasi dua puluh empat jam ini. Dia jaga bergantian dengan saudaranya Banyu untuk mengurus warung kopi yang tidak pernah tutup selama mereka berdua tidak sakit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Diary's VTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang