Chapter 2: La femme et l'homme

2.3K 389 28
                                    

"Sometimes one feels freer speaking to a stranger than to people one knows. Why is that?"
"Probably because a stranger sees us the way we are, not as he wishes to think we are."
Carlos Ruiz Zafron—

Rose

Hari ini aku libur. Tapi, apakah aku bebas begitu saja? Oh tidak. Bak burung yang keluar dari sangkar, tetap saja harus kembali masuk ke dalam sangkar. Setelah membereskan barang-barangku dan memasukkannya ke dalam tas model totebag berwarna hitam, aku bergegas pergi menuju basement parkiran rumah sakit. Sejujurnya aku benci menyetir mobil tapi mamaku memaksa terus menerus. Katanya supaya aku tidak perlu berdesak-desakan di dalam KRL. Padahal sarana transportasi KRL paling ekonomis dan aksesnya mudah menurutku.

"Rose!" aku mendengar seseorang meneriakkan namaku. Suara Dokter Reino. Lebih baik aku pura-pura tidak mendengar saja, deh. Aku menyalakan mesin mobil kemudian menyetir mobil meninggalkan parkiran dan Dokter Reino yang masih memanggil namaku. Aku tidak peduli. Hari ini aku libur.

Aku tidak punya tujuan. Pulang ke rumah? Terlalu malas dan aku tidak mau menambah sakit kepala. Aku menyetir mobil menuju jalan tol luar Jakarta. Jalan dulu sajalah. Yang penting tidak dikejar-kejar seniorku.

Aku melirik handphoneku. Ada banyak missed call dari Dokter Reino. Dia benci diriku tapi mencariku.

Radio di dalam mobil memutarkan sebuah lagu masa kini yang tidak aku ketahui judulnya. Aku teringat kejadian semalam, ketika aku terjebak di tangga darurat dengan orang asing. Tidak ada hal aneh yang terjadi. Orang asing berbadan tegap itu tidak menggubrisku sama sekali. Jangan kalian pikir seperti di drama korea, ya! Tidak ada adegan orang asing itu menghiburku atau aku curhat kepadanya. Big no! Mungkin itu caranya berempati, dengan tidak menghiburku. Kenapa jadi memikirkan hal tidak penting, sih?

***

Aku terus mengendarai mobil tanpa tujuan yang jelas. Sepertinya aku sudah cukup jauh dari kota Jakarta. Hampir 1 jam lebih aku mengendarai mobil. Tangan dan kakiku terasa pegal-pegal. Hhh Rose bodoh. Sudah tau sedang lelah tapi malah memaksakan menyetir mobil. Aku memutuskan untuk keluar dari jalan tol.

"Selamat datang di Kota Cilegon....HAH?" aku membaca tulisan besar yang terpampang nyata di plang di luar jalan tol.

Ya ampun. Aku ada di Kota Cilegon? Ini yang dekat Pantai Anyer itu, kan? Duh, membayangkan pantai saja sudah membuatku senang. Baiklah hari ini aku ke pantai saja.

Ketika mobilku berhenti di lampu merah, seorang pengendara motor mengetuk kaca mobil. Duk..duk...

"Kenapa, ya?" tanyaku setelah membuka kaca mobil.

"Ban mobilnya kempes, tuh, neng! Jangan dibiarin!" jawab Bapak pengendara motor sambil menunjuk ban depan mobilku. Aku lantas melihat ke arah objek yang dituju. Benar. Ban depan mobilku kempes. Kenapa aku tidak menyadarinya, ya sejak tadi? Rose bodoh.

"Makasih, pak!" ucapku ketika lampu merah sudah berubah warna menjadi hijau.

Aku kebingungan harus mencari tukang tambal ban dimana. Mataku menelisik ke pinggiran jalan. Biasanya, kan banyak tukang tambal ban di pinggir jalan. Tapi, nihil. Tidak ada satupun. Duh, gimana, nih? Perutku juga sudah meraung-raung meminta diberi asupan gizi.

Aku memutuskan untuk singgah di suatu restoran pinggir jalan yang terlihat sepi. Asal saja aku pilih. Tidak tahu menu makanannya enak atau tidak. Yang penting parkirannya besar hahaha. Aku mengisi perut dulu, deh baru mencari tukang tambal ban.

RecherchéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang