Chapter 3: Invisible Red Thread

1.9K 370 44
                                    

"An invisible red thread connects those who are destined to meet, regardless of time, place, or circumstance. The thread may stretch or tangle, but will never break."
—Chinese Proverb—

JEFFREY

"Hormat!" Sersan Satu Rezky memberi hormat kepada diriku. Aku membalas hormatnya.

"Gimana? Ada perkembangan?" tanyaku membuka percakapan.

"Siap salah. Belum ada, Kapten." jawab Sersan Satu Rezky.

Aku menganggukan kepala, "yasudah. Terima kasih." kataku. Sersan Satu Rezky hormat dan pamit undur diri.

Mataku terfokus ke arah tulisan di sebuah kertas kecil. Aku menuliskan lagi berkali-kali. Roseanne-27451101. Roseanne-27451101. Aku tahu Roseanne adalah nama orang. Angka-angka itulah yang aku tidak tahu apa. Mustahil jika itu adalah tanggal dan tahun lahir. Aku mendapatkan nama dan angka-angka itu beberapa tahun silam.

Tiga tahun yang lalu tepat di tanggal hari ini aku sedang berada di dalam pesawat komersial dengan tujuan ke New York, Amerika Serikat. Seperti mendapatkan jackpot pikirku saat itu. Aku, yang pada saat itu masih berpangkat Letnan Satu, mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke salah satu sekolah perwira militer bergengsi di Amerika Serikat. Tepatnya di New York.

Sedikit bercerita mengenai latar belakang mengapa aku bisa masuk ke ranah militer. Aku, Jeffrey Hadinata Jung, kelahiran Jakarta 31 tahun silam. Jika kalian melihat wajahku, mungkin kalian akan berpikir bahwa aku bukan pure blood Indonesian. Ya, benar. Papaku berkewarganegaraan Korea Selatan dan mamaku berkewarganegaraan Indonesia. Masa kecilku banyak dihabiskan di Seoul. Kemudian saat kelas 2 SMP aku pindah ke Indonesia. Harabeoji—kakek dari papa— adalah salah satu orang yang ikut berperang dalam Perang Korea tahun 1950-1953. Harabeoji bukan tentara namun ia harus ikut berperang karena pada saat itu semua laki-laki dewasa wajib berperang. Harabeoji yang saat itu berusia 25 tahun harus meninggalkan istri dan anaknya di rumah. Papaku belum lahir pada waktu itu. Aku sempat bingung kenapa harus repot-repot berperang melawan 'saudara' sendiri. Harabeoji bilang, dia selalu memimpikan kedua saudara itu dapat bersatu. Namun, karena keserakahan pihak-pihak tertentu, kedua saudara itu bahkan tidak dapat berangkulan pundak.

Aku sangat mencintai Indonesia. Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan suku bangsa namun tetap dapat bersatu teguh hingga saat ini. Waktu aku berusia 17 tahun, aku harus memilih kewarganegaraan karena Indonesia tidak mengizinkan kepemilikan 2 kewarganegaraan (dual citizenship). Aku bimbang sekali. Jika aku memilih Korea Selatan, aku bisa menjadi warga kelas satu dunia. Aku tidak perlu repot-repot mengurus VISA jika ingin berkunjung ke negara lain dan aku pasti akan masuk Akademi Militer Korea Selatan. Tapi, aku tidak mau jika suatu saat nanti harus berhadapan dengan 'saudara'ku sendiri. Perang dapat meletus kapan saja. Akhirnya, aku memilih Indonesia. Jika boleh jujur, aku sudah sangat-sangat Indonesia. Aku sudah sangat nyaman sekali dengan Indonesia walaupun Indonesia punya banyak kekurangan. Papaku juga begitu. Ia tidak mempermasalahkan pilihanku. Bahkan saat pensiunpun, ia sekarang tinggal di Indonesia bersama mamaku.

Namun, apakah perjalananku mudah? Tentu tidak. Ketika sudah di Akademi Militer, kerap kali aku mendapat verbal bullying dari senior. Hanya karena aku adalah anak campuran, mereka seenak hati menghinaku. Tapi, ada juga yang terlalu memujaku karena aku berdarah campuran. Bisa dibilang, inferiority complex. Padahal, aku sudah menegaskan berkali-kali bahwa aku adalah warga negara Indonesia. Punya hak yang sama seperti mereka. Aku hanya ingin dilihat sebagai diriku sendiri. Terkadang aku tidak tau harus fit in dimana.

RecherchéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang