Chapter 8: Stars in Roses

1.6K 335 32
                                    

"The nitrogen in our DNA, the calcium in our teeth, the iron in our blood, the carbon in our apple pies were made in the interiors of collapsing stars. We are made of starstuff."
Carl Sagan—

Jeffrey
I was today years old when I learned about people. We may hear rumors about a person and believe those things to be true. We may one day meet that person and feel foolish for believing baseless gossips. It actually happens lot of time.

Setelah bertemu Rose beberapa minggu lalu, jiwa intelijenku mengembara. Aku melakukan prosedur background check terhadap Rose. Semata-mata hanya ingin memastikan bahwa Rose isn't problematic. Sounds evil, right? But who wanted to be in love with eumm...criminals? No one. Rose tidak pernah melakukan tindak kejahatan atau melanggar hukum.

Aku juga sempat menanyai kenalan-kenalan Rose di sekolah, kuliah, dan rumah sakit. Ookay...it sounds creepy but I have reasons to do so. I need to make sure that my one and only Rose is a good person. I believe that Rose is a good person at heart.

Junior Rose di SMP, yang kebetulan adalah juniorku di Akademi Militer, mengatakan bahwa Rose adalah murid yang pintar dan sering mengikuti lomba-lomba tapi tidak pernah menang. Namun, prestasi Rose berbanding terbalik dengan reputasinya.

"Saya sempat dengar omongan dari guru BK, Kak Rose itu primadona sekaligus playgirl tapi karena Kak Rose berprestasi, guru-guru cuma bisa menyindir halus saja."

Ketika aku menanyai teman satu kelasnya di SMA, omongannya berbeda lagi.

"Rose, ya? Hmm... Rose suka tidur di kelas. Tidak menonjol. Definisi ordinary. Aku tidak tahu banyak tentang dia."

Dua opini yang berbeda. Aku sempat ragu mengenai Rose yang sesungguhnya. Rose itu seperti apa, sifatnya bagaimana. Aku tidak mengenal Rose sebelumnya. Kami benar-benar definisi tidak sengaja mengenal. Jika Rose tidak seperti apa yang aku bayangkan, apakah aku harus mundur? Kakakku, Krystal pernah bilang, "some people only listen to and believe what they want to hear. The truth is irrelevant to them."

Sebelum aku membuat kesimpulan satu sisi mengenai Rose, aku memberikannya kesempatan untuk bercerita. I'll listen to the truth. But, what if Rose lied? Menurut hasil analisaku, Rose tidak pandai berbohong.

"Saya cerita, ya?" ucap Rose kepadaku.

"I'm all ears." aku tersenyum kepada Rose.

"To begin with...I was an ambitious girl in Junior High School. There was a friend of mine who was smart as hell. We were classmates in the eight grade, we became close and eventually make a circle. Then, my grade were the highest among students. Aku tidak tahu temanku kenapa. Sepertinya membenci diriku karena merebut peringkatnya di kelas. Sejak saat itu, dia membuat kubu dengan teman-teman dekatku yang lain. Ketika aku tidak masuk sekolah, mereka membicarakan keburukanku dan membocorkan curhatanku dengan guru BK. My mistakes have been used against me. Mereka sendiri yang berkata bahwa aku harus terbuka dengan mereka dan mereka akan mendengarkan semua ceritaku. But it was a lie. I don't know if it counts as an act of backstabbing. We're still friends until today but I put a big gap between us. It still left me traumatic to have bestfriend or close friend or whatever you called it." Rose bercerita sambil memainkan air kolam renang dengan tangannya. Dia tidak melakukan eye contact denganku.

Aku tidak pernah menyangka orang seperti Rose mengalami hal seperti itu. Maksudku, dari luar Rose seperti orang yang bisa akrab dengan siapapun dan mempunyai banyak teman. Karena kejadian itu, aku rasa Rose punya trust issue.

RecherchéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang