12

155 28 17
                                        

Berikut versi revisi Chapter 12 kamu, San—gue halusin suasana, emosi, dan dinamika hubungan mereka sambil tetap jaga pacing dan vibe yang lu bangun:

---

Chapter 12 - Jejak Langkah di Bawah Senja

Setelah selesai makan, aku dan Jimin berjalan berdampingan menuju asrama kampus. Matahari perlahan turun ke ufuk barat, menyiram langit dengan gradasi jingga keemasan yang hangat. Bayangan kami memanjang di trotoar, dan angin sore menyapu lembut rambutku—membawa aroma tanah, daun yang mengering, dan samar wangi bunga liar dari taman kecil yang kami lewati.

"Aku heran," kataku sambil mengayun tas kecil di tanganku. "Kau selalu terlihat sibuk, entah itu urusan kampus, teman-teman, atau kegiatan lain… tapi hari ini kau bisa meluangkan waktu seharian penuh untuk jalan-jalan."

Jimin melirikku. Senyum kecilnya muncul, tapi ada sesuatu yang tulus dalam tatapannya kali ini. "Aku cuma memilih untuk berhenti sebentar. Kalau aku terus-menerus sibuk, aku bisa kehilangan momen kayak gini."

Aku mengangguk, membiarkan ucapannya meresap. Kami berjalan santai, membahas banyak hal acak—dari makanan favorit, film yang kami tonton, sampai hal-hal remeh seperti gaya rambut yang pernah gagal total. Jimin sesekali melemparkan candaan ringan yang berhasil membuatku tertawa lepas. Hari ini dia terasa... ringan. Seperti beban yang biasanya tersembunyi di balik sikapnya, pelan-pelan memudar.

Namun, di tengah tawa kami, langkah Jimin tiba-tiba terhenti. Aku menoleh. Ia berdiri menatap langit yang mulai memudar, dengan sorot mata jauh… seakan sedang menarik kenangan yang terkubur dalam waktu.

"Aku nggak ingat kapan terakhir kali bisa ngobrol santai kayak gini sama seseorang," katanya pelan. Suaranya hampir tenggelam oleh angin sore.

Aku terdiam. Ada sesuatu dalam caranya bicara—jujur, mentah, dan… sepi. Dadaku terasa hangat, tapi juga nyeri. Aku ingin menggali lebih jauh, tapi ekspresi Jimin berkata bahwa mungkin hari ini cukup sampai di sini.

"Aku senang bisa jadi orang yang nemenin kamu hari ini," ucapku akhirnya, menatapnya lembut.

Dia menoleh, dan senyum tulus menghiasi wajahnya. "Aku juga."

Kami sampai di halte dekat gerbang asrama. Bus menuju apartemen Jimin sudah terlihat dari kejauhan. Tadi dia bersikeras ingin mengantarku sampai ke depan asrama, tapi aku menolak. Setidaknya biarkan aku yang mengantarnya kali ini, pikirku. Dia sudah cukup banyak melakukan hal untukku hari ini.

"Orang-orang di asrama bisa terlalu kreatif dengan gosip," kataku bercanda sambil menahan langkahnya.

Jimin tertawa, tapi aku bisa melihat sorot enggan di matanya sebelum akhirnya dia melangkah naik ke bus. Ia melambaikan tangan dari balik jendela kaca, dan aku membalasnya dengan senyum. Detik berikutnya, bus itu menjauh… membawa sosoknya bersamaku hanya dalam bayang.

Sesampainya di asrama, suasana cukup ramai seperti yang kuduga—akhir pekan selalu membuat lorong-lorong asrama hidup. Tetanggaku sempat bertanya aku habis dari mana, katanya aku terlihat bahagia. Aku hanya tersenyum kecil dan menjawab sekenanya sebelum masuk kamar.

Begitu pintu terkunci, aku melempar tubuhku ke kasur dan menatap langit-langit.

Tapi pikiranku masih tertinggal… bersamanya. Jimin.

Apa dia sudah sampai rumah? Aku tahu dia tinggal sendiri. Apartemennya jauh dari kampus, dan entah kenapa, aku merasa sedikit khawatir. Jari-jariku nyaris mengetik pesan, tapi aku ragu. Apa aku terlalu lebay?

Lalu ponselku bergetar.

Jimin :
Sudah sampai di kamar?

Aku membeku sebentar, lalu buru-buru membalas.

Yebin :
Baru saja. Kau sendiri?

Jimin :
Baru turun dari bus. Terima kasih sudah menemaniku hari ini.

Senyumku muncul begitu saja. Tanpa sadar, aku menggenggam ponsel lebih erat, seolah pesannya bisa menjalar langsung ke dadaku.

-----

Keesokan paginya, aku kembali sibuk dengan urusan kepanitiaan festival. Departemenku sedang mempersiapkan galeri seni, dan kami tengah berdiskusi bagaimana cara menyusun karya-karya lukisan agar terhubung secara visual dan emosional.

"Kita harus buat alurnya terasa hidup," ujar salah satu teman. "Supaya pengunjung bisa merasakan transisi dari satu karya ke karya lain."

"Aku setuju," sahutku. "Kita bisa tata berdasarkan palet warna atau emosi dominan. Misalnya dari karya yang tenang, menuju yang gelisah, lalu yang penuh harapan."

Diskusi berlangsung intens sampai salah satu panitia nyeletuk, "Eh, ngomong-ngomong, di puncak acara nanti, Departemen Seni dan Sastra masih kekurangan penari buat contemporary dance. Katanya bisa batal kalau nggak cukup orang."

Aku refleks menoleh. "Serius?"

"Iya, yang daftar lebih banyak ke modern dance. Contemporary tinggal sisa tiga orang doang."

Hatiku langsung nyut-nyutan. Aku koordinator untuk divisi itu. Kalau pertunjukan sampai batal, dampaknya bisa besar.

-----

Besoknya, aku duduk di taman kampus, membuka agenda festival dan mencoret-coret opsi alternatif. Tangan kiriku menopang dagu, sementara angin menerpa halaman kertas dan rambutku.

Tiba-tiba, suara familiar menyapaku dari belakang.

"Apa kau selalu secemas ini waktu mengurus sesuatu?"

Aku hampir menjatuhkan pulpennya. "Astaga, Jimin!"

Dia duduk di sebelahku dengan senyum geli. "Maaf. Aku cuma lewat dan lihat kau tampak seperti sedang memecahkan misteri dunia."

Aku menghela napas. "Aku lagi pusing mikirin contemporary dance. Pesertanya nggak cukup, dan bisa-bisa dibatalin."

"Contemporary dance?" Jimin mengambil agenda dari tanganku. Matanya bergerak cepat, membaca daftar acaram. Ketika pandangannya berhenti di bagian dance, dia menoleh.

"Jadi ini yang bikin kamu stres?"

Aku mengangguk lemah. "Aku belum nemu solusinya."

Jimin menatapku sesaat. Lalu dia berkata, "Aku belajar contemporary dance sejak kecil."

Aku terpaku. "...Apa?"

Dia nyengir. "Aku serius. Tapi nggak banyak yang tahu."

Aku masih belum bisa memprosesnya. "Aku kira kau lebih cocok untuk hip hop atau street dance..."

Dia tertawa. "Kebanyakan orang bilang gitu. Tapi begitu aku menari… mungkin kamu akan lihat sisi lainku."

Ada nada percaya diri dalam suaranya, tapi bukan sombong—lebih seperti seseorang yang akhirnya menemukan tempat di mana dirinya bisa bicara tanpa kata.

Tanpa sadar, bibirku bergerak

"Apa aku boleh melihatmu menari?"

Filter • pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang