BAGIAN 7

186 12 0
                                    

Rangga dan Dewi Palasari saling berpandangan.
"Hei? Mengapa kalian diam semuanya? Coba katakan! Apakah gadis yang bersamamu itu Dewi Palasari, Ketua Padepokan Merak Emas, Rangga...?" Peramal Tuna Netra mengulangi pertanyaannya.
"Benar, Ki...!" sahut Rangga.
"Korban berjatuhan sudah semakin banyak Tapi, kalian malah hanya berdua-duaan saja."
Wajah Dewi Palasari bersemu merah. "Maafkan kami, Kakek Peramal. Bukannya kami membawa maksud buruk. Pendekar Rajawali Sakti telah menolongku dari rasa malu, dan membebaskan dari kematian. Bukankah semua itu atas perintah Kakek..?" sahut Dewi Palasari dengan wajah bersemu merah dadu.
"Hahaha! Memang benar! Tapi, tindakan kalian terlalu lama untuk menghentikan manusia durjana itu!"
"Dia kebal terhadap senjata dan pukulan, Ki. Apakah sebagai seorang peramal, kau tidak dapat mengetahuinya?" Rangga membela diri.
"Tentu saja aku tahu! Untuk itulah aku menunggu kalian di sini," ujar Peramal Tuna Netra kalem.
"Menurutmu, apakah kekebalan Manusia Bangkai tidak ada titik kelemahannya, Ki...?"
Peramal Tuna Netra tertawa aneh. "Jika semua orang yang hidup ini mengalami mati, maka setiap kekebalan pasti ada titik kelemahannya. Menusia Bangkai memiliki sumber kekuatan di bagian matanya. Menurut penglihatanku, titik kelemahannya juga ada di situ," jelas Ki Kambaya.
"Jika dapat menghancurkan matanya, maka kita dapat membunuhnya, Ki...?" Rangga menduga-duga.
"Betul.... Betul sekali...! Sekarang jangan banyak tanya. Sudah saatnya kita berangkat!"
"Ki...!" Suara Rangga tertahan. Namun Peramal Tuna Netra telah berkelebat lenyap dari depan mereka. Pendekar Rajawali Sakti hanya menggeleng-gelengkan kepala saja.
"Sungguh orang tua aneh, tapi menakjubkan!" desah Dewi Palasari kagum.

***

Ketika Peramal Tuna Netra tiba, lereng Gunung Kelud telah dipenuhi para pendatang yang berasal dari berbagai padepokan di tanah Jawa. Sebuah arena yang cukup besar sebagaimana biasanya telah disediakan.
Ketua Padepokan Naga Merah yang selama empat tahun ini memimpin seluruh partai aliran putih di seluruh tanah Jawa, hadir bersama enam orang muridnya. Terlihat pula seorang laki-laki berbadan jangkung dengan baju warna hitam. Laki-laki setengah baya berkapala botak ini datang mewakili Partai Giling Wesi, bersama dua puluh orang muridnya. Di samping itu ada lagi enam partai kecil lainnya. Dan mereka semua datang sebagai peninjau.
Di antara mereka yang hadir, ada tiga padepokan lagi yang belum kelihatan batang hidungnya. Mereka adalah Padepokan Merak Emas, Padepokan Golok Perak, dan juga Padepokan Kapak Sakti.
Ketua Padepokan Naga Merah yang bernama Daeng Saka tampaknya menjadi resah ketika melihat ketidakhadiran mereka ini. Bagaimanapun, Ki Bagas Salaya, Ki Dananjaya, dan Dewi Palasari masih merupakan sahabat-sahabatnya. Jika mereka tidak hadir disitu, bisa diduga ada halangan yang sangat berarti.
"Kudengar-dengar manusia iblis Batu Kumbara telah berhasil meloloskan diri dari Lembah Batang. Ah...! Kuharap saja ketiga sahabatku itu tidak mengalami nasib celaka. Aku jadi khawatir, Manusia Bangkai itu mengacaukan suasana tempat ini...," desah Daeng Saka, cemas.
Karena waktu semakin mendesak dan para hadirin mulai berteriak-teriak pula, akhirnya Daeng Saka naik ke arena tempat mengadu kehebatan masing-masing. Dan kini, suasana disekelilingnya barubah menjadi tenang.
"Saudara-saudara sekalian!" Daeng Saka memulai ucapannya. "Sebagai mana biasa yang terjadi empat tahun sekali, maka disini kita selalu mengadakan pemilihan ketua partai aliran putih yang baru. Aku sebagai ketua yang lama, telah siap menerima pergantian. Hanya saja yang merisaukan hatiku, sampai acara ini dibuka, tiga padepokan terkuat yang seharusnya ikut ambil bagian penting masih belum hadir. Padahal, selama ini kejadian seperti itu belum pernah terjadi. Maka untuk menunggu kedatangan mereka, alangkah baiknya jika diadakan pertandingan selingan untuk mengisi acara yang kosong!"
Daeng Saka kemudian memberi isyarat kepada salah seorang muridnya, dan juga pada murid Partai Giling Wesi. Mendapat isyarat itu, kedua murid yang dimaksud segera melompat keatas arena. Dan mereka langsung menjura hormat pada Daeng Saka.
"Nah, Saudara-saudar sekalian. Kita mulai saja babak pemanasan ini antara muridku Somali, melawan murid Partai Giling Wesi yang bernama Barata...!"
Daeng Saka kemudian mempersilakan kedua pemuda gagah yang masing-masing berbaju hitam dan putih ini saling berhadapan. Sementara, dia sendiri segera meninggalkan arena dan mulai bergabung bersama Ketua Partai Giling Wesi.
Diatas arena, pertandingan pun dimulai Masing-masing murid padepokan mengerahkan jurus-jurus tangan kosong yang menjadi kebanggaan padepokannya. Dan sebagaimana peraturan yang telah ditetapkan, mereka tidak diperkenankan mempergunakan senjata. Jadi, mereka harus saling menyerang mempergunakan jurus-jurus tangan kosong.
"Hiyaaa...!"
"Heaaa...!"
Baik Barata maupun Somali sama-sama membentak. Kemudian tubuh mereka berkelebat, melancarkan serangan-serangan ganas ke arah bagian bagian terlemah. Somali tampaknya tidak mau kalah. Walau bukan murid tertua, namun Somali memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Tak heran kalau dengan gesit serangan-serangan gencar Barata baik yang berupa tendangan kaki maupun jotosan berisi tenaga dalam itu dapat dihindarinya.
Dan Barata sendiri tampaknya menjadi sangat penasaran. Tiba-tiba dia melompat kebelakang sejauh tiga batang tombak. Kaki kanannya terangkat ke atas. Sedangkan kedua tangannya menyilang di depan dada. Rupanya, Barata saat itu telah bersia-siap mengerahkan jurus Besi Baja Membentur Karang.
Somali dari Padepokan Naga Merah menyadari betapa berbahayanya jurus yang digunakan lawan tandingnya. Sehingga dia pun tidak mau bertindak gegabah. Seketika dipergunakannya jurus 'Mengusir Lalat Menggapai Matahari'.
Wut! Bet!
Kedua tangan Somali bergerak lincah. Kaki kanan bergerak menggeser-geser sedemikian rupa. Sampai kemudian, dia bersalto ke depan. Tangannya yang terpentang, menghantam ke bagian perut dengan kaki depan ditekuk.
"Uph...!" Barata berkelit. Serangan pertama dapat dihindarinya. Tapi karena kedua tangan Somali seakan mengejar terus, tepaksa dia menangkis.
Splak! Duk!
Kedua orang itu sama-sama jatuh terjengkang. Barata merasa dadanya seperti remuk. Sebaliknya, Somali juga sempat merasakan tangannya seperti membentur batu karang. Dengan cepat, mereka bangkit berdiri dan kembali saling serang tidak ubahnya bagai dua musuh bebuyutan.
Masih mempergunakan jurus yang sama, kedua pemuda itu memperhebat serangannya. Gerakan mereka sangat lincah dan gesit sekali. Sehingga para hadirin yang ikut menyaksikan pertarungan berdecak kagum.
Pada saat itu, Rangga dan Dewi Palasari yang baru saja sampai dipuncak Gunung Kelud segera menghampiri Peramal Tuna Netra yang tampak berdiri tegak tidak jauh dari arena laga.
"Kalian yang berkuda baru sampai rupanya. Aku sendiri yang hanya jalan kaki, sudah sampai disini sejak pagi. Bahkan sekarang sudah setengah bosan melihat pertarungan laga itu," desah Ki Kambaya sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
"Ah! Kakek ini ada-ada saja. Kenapa tidak segera memberitahu ketua Padepokan Naga Merah? Bukankah beliau yang mengatur acara di depan sana?" tanya Dewi Palasari, sambil memandang kearah deretan bangku panjang paling depan, di mana Daeng Saka dan Gempita Soka, Ketua Partai Giling Wesi sedang berbincang-bincang.
"Aku yang buta ini, mana dapat melihat di mana Daeng Saka berada. Lagi pula aku tidak dapat memastikan, apakah Daeng Saka orangnya berkepala botak seperti tuyul, atau tanpa kumis seperti banci!" dengus Ki Kambaya bersungut-sungut.
Pendekar Rajawali Sakti dan Dewi Palasari hanya mampu menahan tawa.
"Semestinya dengan tongkatmu itu, kau dapat menggebuk setiap orang, Ki. Jika orang yang kau gebuk menjerit dan menyebutkan namanya, nah! Berarti kau tidak keliru lagi. Itulah orangnya yang bernama Daeng Saka!"
"Kalau yang kugebuk mengeluarkan bunyi mencericit?" tanya Peramal Tuna Netra.
"Wah itu sih tikus kurapan," sahut Rangga sambil tertawa.
"Sudah..., sudah... Jangan bercanda lagi. Kita sekarang menghadapi persoalan yang sangat rumit. Lebih baik, kita bicarakan masalah ini dengan ketua partai yang lama, Dewi Palasari menengahi.
"Silakan kalian bicara. Tapi, aku tetap di sini saja," kata Peramal Tuna Netra bersikeras.
"Memang kenapa, Ki?" tanya Rangga dan Dewi Palasari saling berpandangan. Ada keheranan di mata mereka.
"Aku tidak ingin membicarakan apa-apa. Aku hanya menunggu kehadiran manusia gila itu...!"
"Baiklah, Kek. Kami tidak akan memaksa...." Dewi Palasari akhirnya mengalah. Tanpa bicara apa-apa lagi, Rangga dan Dewi Palasari berlalu meninggalkan Ki Kambaya.
Dewi Palasari diikuti Rangga, terus berjalan di tengah-tengah tepuk sorak orang-orang yang sedang menyaksikan pertarungan. Sebentar saja mereka sampai ditempat Daeng Saka berada.
"Ketua Padepokan Merak Emas?!" seru Daeng Saka dan Gempita Soka hampir bersamaan, begitu mereka melihat kehadiran Dewi Palasari yang ditemani Pendekar Rajawali Sakti. Tampak kegembiraan diwajah mereka. Lalu mereka memandang Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapakah Kisanak ini?" tanya Daeng Saka.
"Dia Pendekar Rajawali Sakti!" jawab Dewi Palasari.
Tampak keterkejutan di mata Daeng Saka dan Gempita Soka. Mereka sering mendengar sepak terjang pendekar gagah ini dalam membasmi golongan hitam. Tapi sungguh tidak disangka hari ini mereka bertemu pendekar sakti itu!
"Kami gembira bertemu denganmu, Pendekar...!"
"Rangga. Panggil saja namaku begitu!" ujar pemuda berompi putih ini sambil tersenyum ramah.
"Benar Kami sangat senang bertemu denganmu, Rangga. Tapi, ada apa pendekar kondang sepertimu sampai menyempatkan diri menghadiri pemilihan ketua partai aliran putih yang sangat kecil artinya ini?" tanya Gempita Soka, merendah.
"Bukan aku saja yang datang menyempatkan diri kemari. Tapi, juga seorang peramal dari Unggaran di daerah selatan telah hadir di sini!" tegas Rangga.
Daeng Saka dan Gempita Soka semakin terkejut. "Peramal Tuna Netra, maksudmu?"
"Benar, Paman Daeng Saka!" jawab Rangga.
Daeng Saka dan Gempita Soka berpaling pada Dewi Palasari, seakan menuntut penjelasan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewi Palasari segera menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Termasuk kematian Ki Bagas Salaya dan juga Ketua Padepokan Golok Perak beserta murid-muridnya.
"Keparat betul! Rupanya itulah sebabnya, mengapa Ki Bagas Salaya dan Ki Dananjaya tidak muncul kemari? Kiranya Manusia Bangkai telah membunuh mereka secara keji!" dengus Daeng Saka, tampak gusar bukan main.
"Aku bersumpah untuk mencincang Batu Kumbara jika sampai bertemu dengannya!" geram Gempita Soka, tidak kalah gusarnya.
"Sudahlah, Paman berdua. Aku dan Peramal Tuna Netra datang ke sini juga dengan maksud ingin menghentikan sepak terjang Manusia Bangkai Kuharap, Paman dapat menahan diri. Karena Batu Kumbara ternyata selain sangat sakti, juga kebal terhadap senjata tajam dan pukulan..."
"Eee.... Jadi, bagaimana kita dapat menghancurkannya jika tidak tahu titik kelemahannya?" Daeng Saka mulai merasa sangsi
"Peramal Tuna Netra sudah menjelaskan pada Pendekar Rajawah Sakti, di mana titik kelemahan Batu Kumbara. Untuk itu, Paman berdua diharap dapat menahan diri!" tegas Dewi Palasari pada sahabat-sahabatnya.
Baik Daeng Saka maupun Gempita Soka tampak sama-sama terdiam. Mereka maklum, siapa pemuda berompi putih yang berdiri tegak tidak jauh di samping Ketua Padepokan Merak Emas itu.
Pada saat yang sama, di atas arena laga pertarungan antara Barata dan Somali tampak berlangsung semakin sengit. Kedua-duanya sama-sama menderita luka dalam yang tidak ringan. Kenyataan ini, rupanya sempat dilihat Daeng Saka dan Gempita Soka. Sehingga, mereka sama-sama melambaikan kain putih ke udara.
Baik Barata maupun Somali sama-sama tahu, apa arti lambaian kain putih itu. Sebelum melompat turun dari arena, Somali sempat mendengus sinis.
"Sayang, guru memanggilku. Jika tidak, aku punya kesempatan besar untuk menjatuhkanmu!"
"Kita hanya bertanding! Bukan untuk saling membunuh, tapi untuk mempererat persaudaraan!" desis Barata tidak mau kalah.
"Oh, iya! Aku lupa...!" kata Somali sambil menepuk keningnya beberapa kali. Keduanya lalu melompat turun.
Dari bagian bawah panggung arena, tampak melesat dua sosok tubuh menggantikan Somali dan Barata. Daeng Saka yang sudah mendapat penjelasan dari Pendekar Rajawali Sakti, segera naik pula ke arena. Maka tepuk sorak terdengar riuh kembali.
"Saudara-saudara sekalian. Sekarang sudah tiba waktunya mempertemukan dua murid utama. Yang satu Partai Giling Wesi, sedangkan yang lainnya dari Padepokan Naga Merah!" kata Daeng Saka dengan suara keras.
"Tiga partai lainnya sudah mati. Masa mereka bisa bangkit ikut ambil bagian dalam pertandingan konyol ini. Semua ini pasti akal Pendekar Rajawali Sakti!" celetuk Peramal Tuna Netra yang berdiri pada deretan paling belakang.
"Inilah Kala Demit dari Partai Giling Wesi dan Surya Praga dari Padepokan Naga Merah!" teriak Daeng Saka yang segera disambui tepuk tangan hadirin.
"Ingat! Ini hanya untuk menunjukkan keahlian masing-masing. Bukan untuk saling membunuh!" ujar Kala Demit.
"Beres! Aku sudah tahu peraruran ini sejak kecil!" Surya Praga menimpali.
"Sialan...!" maki pemuda berwajah muram itu, sambil bersiap-siap melakukan serangan.
Surya Praga segera mengerahkan jurus Mengusir Lalat Menggapai Matahari pada tingkat lebih tinggi. Sedangkan Kala Demit mengerahkan jurus Di bawah Pancuran Menghantam Setan. Inilah jurus yang paling berbahaya dari Partai Giling Wesi. Sehingga Surya Praga tidak dapat bersikap gegabah dalam menghadapi serangan-serangan gencar lawannya.
"Hiyaaa...!" Surya Praga menendang ke depan. Satu tendangan menyilang dilancarkannya. Tapi, serangan itu dapat mudah dihindari Kala Demit. Malah setelah menggeser langkahnya kesamping kiri, Kala Demit menghantamkan kaki dan tangannya ke bagian dada dan perut Surya Praga secara beruntun dan cepat bukan main.
Surya Praga mencoba berkelit dengan melompat mundur sejauh satu batang tombak. Maka serangan kaki Kala Demit luput. Tapi tangan kanannya terus bergerak menjangkau ke depan. Dan....
Buk! "Wuagkh...!"
Surya Praga berteriak kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah kentat. Semua orang yang menyaksikan pertarungan terkesiap. Tapi tidak seorang pun yang hadir menghentikan pertarungan. Karena, mereka menilai masih dalam batas-batas yang wajar.
Dengan langkah terhuyung-huyung, Surya Praga bangkit berdiri. Kedua rahangnya tampak menggembung. Dia sendiri sesungguhnya merasa heran terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya.
Terpukul atau sampai roboh dalam satu pertandingan adalah yang sangat biasa. Tapi sekarang, dia menjadi marah? Surya Praga tidak sempat lagi memikirkan keanehan yang terjadi pada dirinya. Satu-satunya yang terlintas dalam pikirannya adalah, bagaimana membunuh lawan tandingnya secepat mungkin!
Sebaliknya, yang terjadi terhadap Kala Demit juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Surya Praga. Dia merasa pemuda yang berdiri tegak di depannya bukan lagi sebagai lawan tanding. Tapi, merupakan musuh bebuyutan yang harus dibunuh! Bedanya, Kala Demit masih berusaha menghilangkan pengaruh bisikan-bisikan seseorang yang terus mengacaukan pikirannya.
Kala Demit menggelengkan kepala berulang-ulang. Tapi pengaruh bisikan yang menganjurkan agar mereka saling bunuh, tak juga hilang dari telinganya.
"Keparat! Siapa yang mengacaukan semua ini!" desis Kala Demit.
Rupanya, Surya Praga mendengar makian Kala Demit yang disangka ditujukan pada dirinya. Maka, pemuda ini pun mendengus geram. "Bangsat! Kau memakiku! Rasakan pembalasanku!"
Baru selesai Surya Praga berkata seperti itu, tubuhnya telah melesat kedepan menerjang Kala Demit dengan gencarnya.

***

149. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Manusia BangkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang