BAGIAN 2

220 13 0
                                    

Murid-murid Padepokan Merak Emas kini telah mengepung laki-laki bertampang mengerikan berbau busuk yang tak lain dari Batu Kumbara. Mereka telah mencabut senjata, dan bersiap-siap melakukan serangan.
Sementara Dewi Palasari memberi isyarat pada mereka agar menahan diri. Sedangkan dia sendiri kemudian langsung berhadapan dengan Batu Kumbara dengan kemarahan tertahan-tahan.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Dewi Palasari penuh wibawa.
"Aku...? Hahaha...!"
Laki-laki bertelanjang dada yang di sekujur tubuhnya terdapat banyak luka yang belum mengering itu tertawa mengejek. Diperhatikannya Dewi Palasari yang cantik menggiurkan dengan tatapan menyiratkan nafsu berkobar. Sambil berdecak penuh kekaguman, matanya menjilati wajah, dada, dan perut Dewi Palasari. Pandangan kurang ajar itu tentu saja membuat Dewi Palasari menjadi berang.
"Manusia Bangkai! Kuharap kau mau menjawab pertanyaanku, sebelum aku membunuhmu!" bentak wanita itu dengan wajah bersemu merah karena malu bercampur geram.
"Aku Manusia Bangkai?! Mungkin itulah nama yang pantas buatku!" jawab Batu Kumbara. "Apakah Nisanak Ketua Padepokan Merak Emas...?"
"Kalau benar, kau mau apa?!" jawab Dewi Palasari sengit.
"Hahaha... Pucuk dicinta ulam tiba! Tidak kusangka Ketua Padepokan Merak Emas masih begini muda dan sangat cantik. Mimpi apa aku semalam? Sungguh kalian bidadari-bidadari cantik yang menyenangkan."
"Bangsat! Manusia ini terlalu kurang ajar, Guru! Biarkan aku yang membunuhnya!" teriak Seruni yang berdiri tegak di samping gurunya.
"Ah! Kau juga rupanya sangat cantik. Kalian berdua memang pantas menjadi pendampingku!" celetuk Batu Kumbara, sebelum Ketua Padepokan Merak Emas berkata apa-apa.
"Rupanya, mulut laki-laki ini sama busuknya dengan tubuhnya! Serang dan bunuh dia...!" teriak Dewi Palasari tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, murid-murid Padepokan Merak Emas langsung menyerang Batu Kumbara dari delapan penjuru. Hanya dalam waktu sangat singkat pedang di tangan mereka menderu menimbulkan suara angin bersiuran.
Sedangkan Batu Kumbara hanya tertawa sambil menghindari serangan maupun tusukan pedang yang datang menggebu-gebu. Disadari betul, betapa berbahayanya jurus-jurus pedang lawan-lawannya. Tapi dia tidak merasa khawatir karena memiliki jurus-jurus simpanan yang diturunkan Makhluk Kegelapan.
Untuk beberapa jurus, Batu Kumbara sengaja menghindari seriap serangan yang datang. Tapi dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya, dia melakukan serangan balik. Maka caci maki dan sumpah serapah mulai terdengar di sana sini, ketika tangan manusia bangkai ini secara kurang ajar meremas buah dada lawan-lawannya.
"Manusia kotor! Mampuslah...!" teriak salah seorang murid Padepokan Merak Emas yang ikut ambil bagian dalam serangan.
"Huuup!"
Batu Kumbara melompat ke belakang sejauh tiga tombak. Matanya yang berkilat-kilat seketika berubah merah menggidikkan ketika tenaga dalamnya dikerahkan. Semua langkah lawannya tersurut. Mereka tampak sama-sama terkejut. Tidak terkecuali, Dewi Palasari yang terus mengawasi jalannya pertempuran.
Belum lagi rasa terkejut hilang, Batu Kumbara telah mengedipkan matanya. Maka dua leret sinar merah menghanguskan langsung menderu dan menghantam tubuh dua murid Padepokan Merak Emas.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Jerit kematian terdengar, ketika mata manusia iblis itu secara terus-menerus berkedip-kedip. Hingga dalam waktu singkat belasan gadis malang itu tergelimpang roboh dengan keadaan tubuh hangus dan jiwa melayang.
Murka Dewi Palasari bukan alang kepalang. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu, Batu Kumbara laksana setan telah bergerak ke arahnya. Langsung ditotoknya tubuh Dewi Palasari dan Seruni. Seketika kedua tokoh Padepokan Merak Emas itu lemas tak berdaya lagi. Mereka ambruk tanpa mampu menggerakkan tubuhnya lagi.
"Kurang ajar! Bangsat pengecut! Lepaskan totokan ini! Mari kita bertarung sampai seribu jurus!" teriak Dewi Palasari marah bukan main.
Tanpa menghiraukan jeritan Dewi Palasari dan Seruni, laki-laki bermental bejad ini langsung membopong keduanya. Kemudian dia membawa pergi dengan kecepatan sangat sulit dipercaya.
"Guru...!." teriak beberapa orang murid padepokan yang masih tersisa.
Tapi teriakan mereka hanya sia-sia saja. Karena Batu Kumbara yang melarikan gurunya dan saudara seperguruan tertua itu sudah menghilang di kegelapan malam.

***

Seekor kuda berbulu hitam lebat dipacu cepat ke arah selatan laksana terbang. Sesekali terdengar suara ringkikan keras yang disertai teriakan teriakan penunggangnya, seorang pemuda gagah berompi putih. Di punggung pemuda itu tersandang sebilah pedang bergagang kepala burung rajawali. Tidak salah lagi. Dialah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti yang mengendarai kuda tunggangannya, Dewa Bayu.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, Rangga tiba di daerah selatan. Pemuda tampan yang selalu mengenakan baju rompi putih ini tiba-tiba menarik tali kekang, membuat kuda tunggangan itu berhenti seketika. Rangga segera memperhatikan sekelilingnya. Sejauh mata memandang, hanya hutan-hutan yang menghijau saja yang terlihat.
"Hm.... Dalam mimpiku, aku seharusnya bertemu seorang tokoh sakti yang bernama Ki Kambaya. Tapi, di mana aku harus menemuinya? Di dalam mimpi itu, aku seperti melihat sebuah pohon beringin putih yang sangat besar. Tapi pohon beringin itu tak terlihat ada di sini!" kata Rangga dalam hati.
Tanpa berpikir panjang lagi Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya menuju bukit yang terletak tidak jauh di sebelahnya. Matanya kembali berputar putar memperhatikan tempat di sekelilingnya.
"Eeeh! Itu dia pohon yang kulihat dalam mimpi!" kata Rangga, pelan. Kemudian Dewa Bayu diarahkan pada pohon beringin putih yang terdapat di samping kiri.
"Huuup...!" Rangga dengan gerakan ringan melompat turun. Lalu, ditepuknya punggung kuda berbulu hitam yang terus meringkik-ringkik seperti mengkhawatirkan sesuatu.
"Ada apa, Dewa Bayu? Tenanglah. Kau dalam keadaan aman disini! Tunggulah aku kembali. Jangan ke mana-mana. Kalau ada apa-apa, meringkiklah sekeras-kerasnya," pesan Rangga.
Dewa Bayu menganggukkan kepala, seakan mengerti apa yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagus. Sekarang kau kutinggal dulu!" kata Rangga sambil tersenyum.
Sejenak kemudian, tubuh Pendekar RajawaliSakti telah berkelebat mempergunakan ilmu meringankan tubuh mendekati pohon beringin putih berjarak seratus batang tombak di depannya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti, hingga sebentar saja telah tiba di bawah pohon beringin putih itu. Rangga mulai mencari-cari. Sesekali diperhatikannya akar-akar gantung yang bergoyang-goyang ditiup angin. Tapi sampai mengelilingi pohon beringin yang sebesar lima pelukan orang dewasa, juga tidak terlihat seorang pun.
Rangga menarik napas dalam-dalam. Hatinya mulai merasa ragu dengan mimpi-mimpinya. "Mungkinkah yang kualami hanya sekadar mimpi belaka? Rasanya sangat sulit dipercaya? Padepokan Merak Emas seperti yang pernah kudengar, memang berada dilereng Gunung Kelud. Dan pohon beringin putih seperti yang kulihat dalam mimpi, memang benar-benar ada. Tapi, ke mana perginya orang buta yang kujumpai dalam mimpi?"
Keraguan di hati Rangga belum juga sirna, ketika terdengar suara menderu di belakangnya. Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Dan seketika itu juga, badannya berbalik. Maka dilihatnya beberapa benda hitam berbentuk ular meluncur deras ke arahnya. Tanpa berpikir panjang lagi dilepaskannya pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang mengeluarkan sinar kemerahan. Begitu panasnya pukulan Rangga itu sehingga udara di sekelilingnya menjadi panas luar biasa.
Glarrr...!
Terdengar satu ledakan dahsyat ketika sinar merah dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' menghantam ular-ular yang menyerbu kearah Pendekar Rajawali Sakti. Kontan saja, binatang-binatang yang sangat berbisa itu hancur berkeping-keping.
"Hm...!" gumam Rangga tidak jelas.
"Hahaha...! 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' memang sungguh hebat! Tidak salah! Pasti kaulah orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...!"
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar disertai pujian. Suara itu selain terdengar serak, juga disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Sehingga, Rangga sendiri merasakan gendang telinganya sakit bukan main. Maka dengan cepat dikerahkannya tenaga dalam untuk menahan pengaruh tawa orang itu.
Suara tawa tiba-tiba terhenti. Suasana di sekeliling Pendekar Rajawali Sakti berubah sepi. Tanpa menoleh-noleh lagi, Rangga sudah tahu keberadaan orang yang tertawa barusan.
"Alangkah baiknya menyambut tamu dengan cara seperti itu. Terlambat sedikit, nyawaku pasti melayang!" desis Rangga.
"Hm, Anak Muda! Untuk membuktikan agar aku tidak bicara pada orang yang salah, bukankah jalan satu-satunya harus menguji kemampuan?!" sahut sebuah suara yang berasal dari atas salah satu cabang pohon beringin. Rupanya orang itu adalah laki-laki tua berpakaian serba putih.
"Apakah aku sedang berhadapan dengan Peramal Tuna Netra, Kisanak?" tanya Rangga langsung.
Laki-laki tua di atas pohon tidak menjawab. Malah tanpa diduga-duga, dengan gerakan ringan sekali tubuhnya melayang turun. Kemudian kakinya yang hanya sebelah menjejak tanah, tepat di depan Rangga.
"Astaga? Selain buta, kau juga hanya mempunyai sebelah kaki dan sebelah tangan. Sungguh mengenaskan keadaanmu, Ki!" kata Rangga, dalam hati.
"Apa yang kau pikirkan, Pendekar Rajawali Sakti? Memikirkan tentang keadaanku yang cacat?" tanya kakek berjuluk Peramal Tuna Netra, seperti mampu membaca pikiran Rangga.
"Eeeh...!" Rangga terkejut dibuatnya. Sama sekali tidak disangka kalau laki-laki berbaju putih tambal-tambalan ini, mengetahui apa yang ada dalam benaknya.
"Tidak! Aku hanya tidak mengerti, bagaimana cara kau menghubungiku? Padahal, sebelumnya kita belum pernah bertemu!" kilah Rangga jadi tak enak hati. Keterkejutannya langsung disimpan dalam perutnya.
"Hahaha...! Hatiku seputih rompimu," sahut kakek itu.
Untuk yang kedua kalinya, Rangga dibuat terkejut. Laki-laki tua di depannya yang berjalan mengandalkan bantuan tongkat hitam, jelas dalam keadaan buta matanya. Bagaimana dia bisa tahu kalau dirinya memakai rompi putih?
"Sudah kukatakan, jangan mengherankan sesuatu yang kumiliki. Karena, semua itu hanya pemberian dan titipan Tuhan semata. Aku telah mempergunakan kekuatan batinku, untuk menghubungi seorang pendekar yang benar-benar dapat menolong. Mata hatiku mengatakan, kaulah orangnya yang paling tepat untuk mengemban satu tugas yang cukup berat, tapi mulia," jelas Ki Kambaya alias peramal Tuna Netra.
Kening Rangga berkerut dalam. Sama sekali tidak dimengerti, ke mana arah ucapan kakek yang berdiri tegak dihadapannya. "Apa maksudmu dengan tugas berat itu, Ki?" tanya Rangga langsung pada pokok persoalan.
Peramal Tuna Netra terdiam sejenak. Bibirnya yang hampir tertutup kumis berwarna putih, tampak menggerimit seperti orang mengigau.
"Begini!" kata Ki Kambaya kemudian sambil menarik napas dalam dalam. "Tidak sampai satu purnama didepan, dipuncak Gunung Kelud akan diadakan pemilihan ketua baru untuk menggantikan ketua, maupun pimpinan lama dari seluruh aliran putih yang tergabung di tanah Jawa. Mungkin kau pernah mendengar kebiasaan semacam itu."
"Aku memang pernah mendengamya. Dan bukankah semua ini dalam keadaan yang wajar-wajar saja?" ujar Rangga, tenang.
"Memang! Tapi menurut penglihatan hatiku, ada satu ketidakberesan yang bakal terjadi dalam pemilihan pimpinan seluruh partai aliran putih yang akan berlangsung sekali ini!" tukas Ki Kambaya.
Dada Rangga tiba-tiba berdegup keras mendengar penjelasan Peramal Tuna Netra. "Apa maksudmu, Ki? Apakah di antara mereka akan ada yang berlaku curang?" tanya Rangga, pelan.
Kakek buta itu menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak! Rupanya kau belum tahu satu rahasia besar yang bakal menjadi duri dalam rimba persilatan, jika tidak secepatnya turun tangan!"
"Sama sekali aku belum tahu."
"Begini, Rangga!" jelas Peramal Tuna Netra, memulai sambil menarik napas dalam-dalam. "Tiga tahun yang lalu, ada gembong perampok yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Karena kepandaiannya dia berani membunuhi orang-orang rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Tak heran kalau dia dimusuhi hampir semua padepokan silat yang di tanah Jawa ini. Setelah bertahun-tahun merajalela, akhirnya seluruh padepokan ada baik yang beraliran hitam maupun yang beraliran lurus saling bahu membahu untuk menangkap Batu Kumbara hidup-hidup. Tindakan kaum persilatan itu, rupanya mendatangkan hasil. Batu Kumbara berhasil diringkus, kemudian menjalani hukuman yang sangat berat di Lembah Batang. Di sekujur tubuhnya dibuat cacat dan rusak. Tangan dan kakinya terantai di atas batu. Bertahun-tahun Batu Kumbara menjalani hukuman berat itu. Namun di luar pengetahuan seluruh pimpinan partai yang ikut memutuskan dalam penjatuhan hukuman terhadap Batu Kumbara, rupanya dia berguru pada Makhluk Kegelapan! Tahukah kau, siapa Makhluk Kegelapan itu, Rangga?"
Rangga menggeleng perlahan. "Makhluk penghuni kegelapan itu adalah sosok yang memiliki wujud setengah manusia dan setengah iblis!" Ki Kambaya menjawab sendiri pertanyaannya.
"Hm, aku mengerti!" sahut Rangga, sambil menatap kakek buta didepannya.
"Bagus kalau kau sudah mengerti!" Peramal Tuna Netra mengusap-usap jenggotnya yang juga sudah berwarna putih.
"Sekarang yang menjadi tugasmu adalah, mencari Batu Kumbara alias Manusia Bangkai yang telah mencelakai beberapa murid Padepokan Merak Emas. Malah dia juga menculik ketua dan murid tertua padepokan itu," tambah Ki Kambaya.
"Bagaimana kau dapat tahu bahwa Ketua Padepokan Merak Emas telah diculik manusia iblis itu? Padahal, rimba persilatan sama sekali belum kau ketahui?"
"Kau kira, karena mataku buta, aku tidak tahu? Pendekar Rajawali Sakti! Sudah kukatakan, bahwa mata hatiku dapat melihat ke depan dengan baik. Nasib ketua dan murid tertua Padepokan Merak Emas sekarang ini tidak jauh bedanya dengan telur diujung tanduk! Terlambat sedikit, maka mereka akan menerima penghinaan yang sangat memalukan?!"
"Ah, malang sekali nasib mereka..." Rangga merasa hatinya tersentuh. Dia pernah mendengar, betapa Ketua Padepokan Merak Emas merupakan seorang gadis yang memiliki kecantikan seperti bidadari. Batu Kumbara tidak jauh bedanya mendapatkan durian runtuh. Kurang ajar sekali manusia busuk itu!
"Rangga...!" panggil Ki Kambaya.
"Ada apa, Ki...?" sahut pemuda berompi putih itu.
"Jika kau bertemu manusia yang satu itu, harap bertindak hati-hati. Aku bukan meremehkan kepandaianmu. Tapi, ketahuilah. Manusia Bangkai yang satu ini benar-benar sangat berbahaya. Sepasang mata iblisnya dapat menghancurkan dan menghanguskan benda apa saja yang dikehendakinya...!"
Untuk pertama kalinya, pemuda tampan berompi putih ini tercengang. Ada seorang tokoh dapat mempergunakan kedua matanya untuk menghanguskan lawan-lawannya? Selama malang melintang di rimba persilatan, baru kali ini Rangga mendengarnya. Kalau tidak memiliki kepandaian setara dengan kepandaian iblis, mana mungkin orang itu dapat melakukannya.
"Ki Kambaya... Kalau boleh tahu, di mana kira-kira Batu Kumbara sekarang ini berada?"
Peramal Tuna Netra terdiam. Tongkat hitamnya diketuk-ketuk di atas tanah sebanyak tiga kali. Secara aneh, tiba-tiba tongkat hitam itu bergerak dan menunjuk ke satu arah.
"Hahaha...! Matahari terbit! Tidak salah! Dia sekarang telah berada searah dengan matahari terbit! Tepatnya, disebelah selatan Padepokan Merak Emas."
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. "Baiklah, Ki Kambaya. Jika sudah tidak ada lagi yang akan disampaikan, aku mohon pamit," kata Rangga, pelan. Baru saja pemuda ini memutar langkahnya....
"Tunggu...!"
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya begitu mendengar seruan Ki Kambaya. Kemudian, ditatapnya Peramal Tuna Netra.
"Ada apa, Ki?"
"Hahaha...! Begini, Rangga. Jika urusanmu dalam membebaskan Ketua Padepokan Merak Emas telah selesai, jangan lupa datang pula ke Partai Giling Wesi, Padepokan Naga Merah, dan juga Padepokan Kapak Sakti. Kabarkan tentang berita buruk ini pada mereka. Agar, orang-orang itu bersikap waspada," pesan Peramal Tuna Netra.
"Hanya itu saja?" tanya Rangga sudah tidak sabar untuk melakukan pengejaran.
Kakek buta menggaruk kepalanya berulang-ulang. "Oh...! Ada..., ada.... Jika umurmu panjang, menjelang akhir purnama hendaknya kau pergi ke Gunung Kelud. Karena, di sana kita akan sama-sama melihat, apakah ramalanku akan menjadi kenyataan atau tidak," kata Ki Kambaya mengucek-ngucek matanya yang buta.
Setelah itu, tanpa menunggu lebih lama lagi, Rangga segera berlari mendapatkan kuda tunggangannya Dewa Bayu. Sebentar saja, terdengar ringkikan keras disusul derap langkah kaki kuda yang semakin lama semakin menjauh.
Peramal Tuna Netra menggelengkan kepala berulang-ulang. "Sungguh Pendekar Rajawali Sakti bukan nama kosong belaka!" gumam laki-laki buta itu, langsung melesat ke atas cabang pohon kembali.

***

149. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Manusia BangkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang