1. Central Dogma

13.8K 881 72
                                    

"Terus kalau kamu sekolah lagi, kapan nikahnya?" tanya Ibu dari sambungan telepon. Ibu langsung menelepon Dysa setelah mendapat kabar bahwa Dysa mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah S2.

"Dysa udah bilang nggak mau nikah lagi, Bu. Pengin fokus aja sama karir."

"Umur kamu udah 25 tahun."

"Emang kenapa sih kalau umur Dysa udah 25 tahun? Ibu mau jodohin Dysa kayak di sinetron yang sering Ibu tonton? Tolong, Bu. Ini dunia nyata. Bukan sinetron." Terdengar suara helaan napas dari telepon. "Maaf, Bu. Dysa ngerti Ibu pengin lihat Dysa berumah tangga lagi, tapi Dysa nggak bisa beneran. Udah kapok nikah. Toh, tanpa nikah Dysa bisa menghidupi diri sendiri. Malah bisa ngirim uang tiap bulan ke Ibu. Sekarang Dysa mau fokus sama karir dan pendidikan aja."

"Ya, udah. Terserah kamu, tapi kalau ada yang deketin kamu ... sebaiknya dijalanin dulu aja."

"Hmm, tapi nggak bisa janji." Setelah jawaban itu sambungan telepon terputus. Sepertinya Ibu sudah lelah berdebat dengan Dysa.

Menikah mungkin menjadi impian semua wanita dewasa di planet bernama bumi ini. Tentu saja, karena pernikahan membawa kebahagian tersendiri bagi seorang wanita. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Wendysa Sonya. Perempuan yang biasa dipanggil Dysa itu tidak ingin menikah lagi setelah mengalami kegagalan pada pernikahannya dulu. Ya, tidak semua pernikahan membawa kebahagiaan. Dysa mengalami hal sebaliknya. Kebahagiaan pernikahannya hanya terasa semu setelah terlalu banyak kenangan buruk yang membuatnya enggan untuk menikah lagi.

Dysa menikah di usia 22 tahun, dan ia bercerai di usia 22 tahun juga. Pernikahannya dengan sang mantan hanya berjalan selama enam bulan. Sangat singkat. Apalagi usia 22 tahun terbilang usia yang sangat muda untuk menjadi seorang janda. Ya, Dysa memang menikah mudah tepat setelah wisuda S1. Ia sempat menjadi ibu rumah tangga yang tinggal di rumah mertuanya dan terpaksa membuang impiannya untuk menjadi ilmuan hebat. Namun, usai perceraiannya dengan sang mantan, Dysa langsung melebarkan sayapnya di dunia penelitian sains. Ia diterima bekerja sebagai peneliti di sebuah lembaga penelitian ternama. Sekarang ia dibebastugaskan dari lembaga tersebut karena mendapat beasiswa untuk kuliah lagi. Jadi, ia bisa fokus dengan pendidikannya.

"Mbak, gue mau order pisang nuget. Lo mau order juga nggak? Biar ongkirnya lebih murah," tawar Tarissa—teman satu kontrakannya.

"Boleh. Yang topping cokelat, ya."

"Oke, Mbak." Tarissa mendaratkan pantatnya di karpet berbulu ruang tengah, sedangkan Dysa masih duduk di sofa dengan kaki bersila.

"Mbak Karin kapan pulang, Mbak?"

Dysa menggedikkan bahu. "Nggak tahu. Dia kan masih sibuk sama nasabahnya di luar kota."

Di kontrakan ini Dysa tinggal bersama Tarissa dan Karin. Tarissa bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan, sedangkan Karin bekerja sebagai banker yang super sibuk. Karin yang lebih dulu tinggal di kontrakan ini sebelum Dysa dan Tarissa ikut bergabung.

"Mbak, berarti kalau kuliah lagi lo bakal bebas tugas dari lembaga?" tanya Tarissa.

"Iya, Tar. Udah gitu masih digaji lagi. Meski nggak full, tapi tetap lumayan kalau digabung sama duit beasiswa."

"Banyak duit dong lo, Mbak."

"Iya, dong. Entar pisang nuget lo biar gue yang bayarin."

"Makasih, Mbak. Mentang-mentang banyak duit."

"Iya, dong. Gue tuh udah pernah ngalamin jadi orang miskin dan dikucilkan, Tar. Lo aja yang kagak tahu."

Tarissa membelalakkan matanya. "Masa sih, Mbak?"

Dear, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang