6. Janji Itu

7.6K 717 64
                                    

"Mbak, udah nyampe," ujar Bara.

Dysa langsung tersentak, suara Bara menyadarkan lamunannya. Tadi ia meminta Jevano untuk melupakannya, dan pria itu tidak menyanggupi. Cinta Jevano ternyata masih sama seperti yang dulu. Dysa tahu itu. Sayangnya, mereka tak mungkin bersama lagi.

"Makasih ya, Bar." Dysa akhirnya turun dari motor Bara. Lantas berjalan menuju pintu rumah kontrakannya.

"Mbak, tunggu! Helm gue jangan dibawa. Besok gue harus nganterin Mbak Amara ke TK anaknya," ujar Bara kemudian. Ia memang sudah disewa menjadi tukang ojek Amaraㅡteman kantornya.

"Oh, iya." Amara melepas helm itu, lalu menyerahkannya pada Bara.

"Mbak, jangan terlalu dipikirin. Mungkin mantan mertua Mbak emang belum dapat hidayah aja. Yang sabar ya, Mbak."

"Iya, Bar."

"Gue cuma bisa doain semoga lo bahagia selalu."

"Makasih, Bar. Tolong jangan kasih tahu Ibu kalau gue abis ketemu Mas Jevano dan mantan mertua gue. Ibu pasti bakal mikir. Gue nggak mau tensinya naik lagi."

"Iya, Mbak. Gue nggak bakal bilang ke Budhe. Ya udah, gue balik sekarang. Kalau lo butuh sesuatu telepon gue. Gue selalu ada buat lo, Mbak. Lo suruh gue buat beli pembalut aja gue mau. Sampai masih inget pembalut lo merk Laurier yang super maxi wings."

Sungguh demi apa pun, Dysa ingin menampol mulut Bara dengan sepatunya, atau menyiram otak Bara dengan air deterjen agar bersih dari pikiran-pikiran kotor.

"Bercanda, Mbak. Nggak usah manyun gitu bibirnya. Tambah serem tahu."

"Lo sih, Bar."

"Gue niatnya cuma mau menghibur lo padahal. Ya udah lah, gue cabut aja sekarang. Bye, Mbak.

Dysa langsung masuk ke kontrakannya usai Bara berlalu. Suasana kontrakan sudah sepi. Mungkin Tarissa dan Karin sudah tidur. Dysa membanting tubuhnya di kasur empuknya. Pikirannya melayang ke beberapa tahun yang lalu saat dirinya masih menjadi istri dari seorang Jevano. Dulu ia berusaha melewati hari-hari terberatnya selama tinggal di rumah orang tua Jevano. Terlebih setelah menikah Jevano harus kembali ke Amerika untuk mengerjakan disertasinya. Sehingga tidak ada yang melindungi Dysa saat ia mendapat hinaan dan caci maki di rumah mertuanya itu.

Dysa membuka kembali album foto pernikahannya dengan Jevano. Dulu ia terlalu mencintai Jevano, tapi semakin ia mencintai Jevano, rasa sakit di hatinya semakin meradang. Kesabaran yang terus ditanamkan selama tinggal di rumah Jevano perlahan layu. Ketidakmampuan Dysa untuk bertahan lebih lama membuatnya harus melepas Jevano di saat cintanya semakin menggila.

"Dysa lo bodoh banget sih dulu bisa jatuh cinta ke Jevano. Harusnya lo nggak boleh jatuh cinta ke dia," gumam Dysa merutuki dirinya sendiri.

Dysa memejamkan matanya, berharap pikiran tentang Jevano luruh dari otaknya ketika ia bangun. Semoga ia tidak memimpikan Jevano dalam tidurnya seperti malam-malam sebelumnya.

***

"Mama nggak seharusnya ngomong gitu," ucap Jevano.

"Apa yang salah dari omongan Mama, Jev? Betul kan dia nggak lebih baik daripada Avrilla."

"Ma, tolong! Jangan bandingkan Dysa dengan Avrilla."

Mama mendecih, bagaimana pun Avrilla adalah satu-satunya wanita yang pantas untuk Jevano. Tidak ada yang lain.

"Jev, kamu nggak ingat? Kamu yang udah bikin Avrilla kehilangan segalanya. Kamu yang bilang sendiri mau bertanggungjawab dan membahagiakan Avrilla. Mana janji kamu, Jev?" tukas Mama dengan nada sedikit ditekan.

Dear, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang