3. Awkward Moment

9.2K 743 54
                                    

Dysa mengerjap beberapa kali saat kesadarannya telah terkumpul. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit putih poliklinik kampus. Ia memegangi kepalanya saat sensasi pening masih terasa di kepalanya. Ia berusaha merangkai satu per satu kejadian sebelum ia terbaring di tempat ini. Dan ... ya, ia mengingatnya. Tadi ia jatuh dari tangga. Untung saja ia jatuhnya di tiga anak tangga terakhir. Jadi, tulang-tulangnya masih utuh semuanya. Ia terkapar setelah kepalanya terbentur lantai. Tunggu ... sebelum pingsan sepenuhnya ia melihat Jevano menggendongnya. Ah, kenapa harus Jevano yang menolongnya tadi?

"Udah sadar?" tanya seseorang yang duduk di sebelah ranjang tempat Dysa terbaring. Sontak saja Dysa menelengkan kepalanya. Betapa kagetnya Dysa saat menemukan sosok Jevano berada persis di sebelahnya.

Dysa langsung menegakkan tubuhnya tanpa mempedulikan rasa pening yang masih tersisa di kepalanya. Ia menepuk-nepuk pipinya pelan. Sial, ini bukan mimpi. Pria yang kini ada di depannya benar-benar Jevano. "Ma-Mas Jevano?" seru Dysa terbata.

"Iya, ini aku. Jevano Wirayudha," balas Jevano dengan senyum tipis di bibirnya.

Seperti disiram air dingin, tubuh Dysa rasanya membeku saat bertatap muka dengan mantan suaminya yang sekarang menjadi dosennya. Rasanya ia ingin pura-pura amnesia saja sekarang. Demi Tuhan, Dysa tidak pernah menyangka ia akan bertemu Jevano lagi dalam jarak sedekat ini. Gila! Ini sangat gila.

"Mau ke mana?" tanya Jevano ketika melihat Dysa menyibak selimut dan hendak turun dari ranjang.

"Mau kuliah. Ada jam kuliah metodologi penelitian kualitatif."

"Kelasnya udah selesai. Tadi Edgar udah bilang ke Prof. Mira kalau kamu pingsan. Beliau pun ngasih izin karena tahu kamu pingsan."

Dysa menghela napas. Ia menepuk jidatnya pelan. "Berarti aku pingsannya lama?"

Jevano mengangguk. "Lumayan, sekitar 3 jam."

Dysa ingin merutuki dirinya sendiri. Pingsan selama tiga jam? Itu pingsan apa tidur? Ia pun menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Tadi sewaktu bertemu Jevano di kelas filsafat sains dan bioetika ia sudah dibuat canggung. Sekarang kecanggungannya meningkat dua kali lipat.

"Kamu masih pusing? Mau aku anterin ke rumah sakit? Takutnya ada apa-apa sama kamu."

Dysa menggeleng. "Nggak usah. Aku baik-baik aja."

Detik selanjutnya Dysa turun dari ranjang. Disambarnya tas miliknya yang ada di meja ruangan itu. Ia harus segera enyah dari tempat ini. Tentu saja ia tak ingin berlama-lama berduaan di dalam satu ruangan dengan mantan suaminya. Dysa takut mati gaya saking canggungnya. Dan tentu saja ia takut baper. Ini yang lebih bahaya. Pasalnya saat bercerai dengan Jevano, Dysa masih mencintai Jevano. Perceraian itu bukan atas kehendaknya. Bukan atas kemauan Jevano juga, tapi perceraian itu karena keadaan yang tidak mendukung.

"Mau aku anterin pulang?" tawar Jevano.

Dysa menggeleng. Bahkan untuk menggelengkan kepalanya saja tulang dan persendian lehernya terasa beku. "Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri."

Dysa turun sungguhan dari ranjang. Untung saja rasa pusing di kepalanya berangsur mereda. Ia pun mengambil ponselnya di dalam tas. Ada notifikasi beberapa pesan, salah satunya dari Edgar.

(Edgar)
Mbak, motor gue bannya bocor. Terus gue minjem motor lo. Tadi waktu lo pingsan, gue ambil kuncinya di tas lo. Nanti lo pulangnya dianter Pak Jevano. Orangnya udah bilang tadi.

Dysa mendengus pelan. Ini bukan pertama kalinya Edgar meminjam motornya seenak jidatnya. Menyebalkan sekali. Lihat saja pasti besok Edgar akan jadi korban omelan Dysa.

"Dys? Yakin nggak mau aku anterin? Motor kamu dibawa Edgar, lho."

Dysa menghela napas panjang. "Aku naik taksi online aja."

Dear, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang