2. Dia Masa Lalu

9.9K 811 48
                                    

Dysa bernapas lega setelah keluar dari ruangan. Gila! Sepertinya ia banyak menahan napas saat berhadapan Jevano Wirayudha tadi. Bagaimana mungkin ia bisa bertemu dengan Jevano lagi setelah sekian tahun ia berusaha menghapus nama Jevano dari memori otaknya. Kenapa pria itu harus menjadi dosennya?

"Mbak?" panggil Edgar saat keduanya akan masuk ke dalam lift.

"Apa?"

"Dari tadi ngelamun aja perasaan. Semenjak masuk kelas tadi. Gara-gara tugas?"

"Enggak. Gue udah resisten sama yang namanya tugas banyak."

"Lagi PMS?" tebak Edgar seraya berjalan memasuki lift.

"Cuma ngantuk aja gue," jawab Dysa sambil memencet tombol lift menuju lantai 1.

"Oh," sahut Edgar. "Gue mau sarapan di kantin. Lo mau iku nggak, Mbak?"

Dysa menggeleng. "Enggak. Udah sarapan tadi."

"Oke, Mbak. Jangan kangen sama gue, ya."

"Idihh! Jijik banget gue kangen sama lo."

"Bercanda kali, Mbak. Lagian gue lebih suka yang perawan daripada janda kayak lo," ujar Edgar tanpa filter. Beberapa orang di dalam lift yang satu kelas dengan mereka membelalakkan mata. Seolah tidak percaya perempuan semuda dan secantik Dysa sudah menjadi janda.

"Mulut lo, Gar!" semprot Dysa. Edgar langsung nyengir. Rasanya Dysa ingin menyumpal mulut Edgar dengan sepatunya.

"Ampun, Mbak. Gue keceplosan," bisik Edgar pelan.

Sekeluarnya dari lift, Edgar mengajak Dysa ke kantin fakultas sekali lagi. Namun, Dysa tetap menolak dengan alasan ia sudah kenyang. Padahal ia memang tidak nafsu makan setelah bertemu dengan Jevano. Pria itu mungkin akan menjadi momok untuk hari ini dan mungkin sampai Dysa lulus.

"Entar kalau mau nitip camilan atau minuman WA gue aja, Mbak." Edgar menawarkan. Pria yang umurnya setahun lebih muda daripada Dysa itu memang sudah menganggap Dysa seperti kakaknya sendiri.

"Iya. Udah lo ke kantin aja sana. Gue mau nemuin teman gue."

"Lo punya teman di sini, Mbak?"

Dysa mengangguk. "Iya. Teman kuliah S1 gue ada yang kuliah S2 juga di sini. Sekarang dia lagi sibuk tesis."

Edgar mengangguk-angguk. "Cewek apa cowok, Mbak?"

"Cewek. Seumuran gue, tapi sayangnya dia nggak suka brondong macam lo." Dysa sudah tahu modus Edgar. Pasti ia akan melancarkan aksi mencari gebetan cantik. "Udah lo buruan ke kantin sana. Nggak usah kebanyakan ngoceh. Pusing gue dengerin suara lo yang ngebas banget."

Edgar terkekeh, lalu berjalan meninggalkan Dysa yang masih berdiri di depan gedung laboratorium sentral. Langkah Dysa kini menuju gedung jurusan yang berada di sebelah gedung laboratorium sentral. Saat tiba di lobi, ia berhenti sebentar di depan meja resepsionis gedung jurusan. Diambilnya ponsel di dalam tasnya. Lalu dengan cekatan diketiknya kata demi kata di layar ponselnya. Ia akan mengirim pesan untuk Melisa--temannya yang tadi sempat dibahas dengan Edgar.

Agak lama Dysa menunggu balasan pesan dari Melisa. Sekitar sepuluh menit pesannya baru dibalas oleh sahabatnya itu. Di pesan itu Melisa mengatakan bahwa ia sedang berada di laboratorium fisiologi hewan. Dysa pun disuruh menyusul ke sana. Ponsel Dysa dimasukkan kembali ke dalam tas, tapi entah mengapa ia ingin mengambil KRS (kartu rencana studi) miliknya semester ini. Sebelumnya ia memang hanya membaca sekilas KRS itu. Bahkan hanya membaca matakuliah apa saja yang ia akan tempuh tanpa membaca berapa SKS, berapa JS dan dosen pengajarnya. Matanya menelisik pengajar matakuliah filsafat sains dan bioetika. Jelas di lembar KRS itu tertulis nama dan gelar sang pengajar 'Dr. Jevano Wirayudha, S.Si., M.Sc.'

Dear, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang